Sesat Pikir Benci Produk Asing oleh Heppy Trenggono, pengusaha, Presiden Indonesian Islamic Business Forum.
PWMU.CO– Untuk kesekian kalinya Presiden Jokowi menyampaikan agar digaungkan cinta produk Indonesia. Menariknya, pernyataan presiden kali ini juga dilengkapi dengan permintaan agar digaungkan benci produk asing. Menurut saya ini pernyataan penting dan perlu dipahami lebih lanjut.
Sebagai sebuah negara dengan jumlah penduduk terbesar ke-4 di dunia, Indonesia menjadi incaran berbagai bangsa di dunia untuk memasarkan produk-produk mereka. Ternyata kita kedodoran dalam menghadapi persoalan ini.
Tahun 1980-an, Indonesia swasembada pangan tapi sekarang justru tergantung impor. Dulu banyak sentra-sentra ekonomi pertanian dan industri, sekarang justru meredup hingga tutup. Jadi dalam perspektif ini pembangunan kita sebenarnya sedang bergerak mundur.
Persoalan produk sangat fundamental dalam ekonomi. Sederhananya produk asing itu ekonomi asing, produk Indonesia itu ekonomi Indonesia. Di balik sebuah produk banyak hal yang telah dan akan terjadi.
Disampaikan Presiden Habibie di balik sebuah produk itu ada jam kerja. Artinya, angka pengangguran juga ditentukan di situ. Belum lagi berbicara tentang ke mana uang akan diinvestasikan lagi setelah produk itu terjual.
Jika uang pemerintah dan uang masyarakat terlalu banyak digunakan untuk membeli produk asing maka yang akan bertumbuh bangsa lain, bukan bangsa sendiri.
Pola Pikir Sesat
Berbagai kampanye tentang produk Indonesia telah kita dengar sejak lama, namun hingga saat ini masih saja kita jumpai pola pikir yang sesat.
Sesat pertama, disebut produk Indonesia jika kandungan lokalnya lebih dari sekian persen. Nah, VOC menjual produk Indonesia, tapi bikin miskin bangsa kita. Kita perlu definisikan ulang, produk Indonesia yaitu produk yang dibuat di Indonesia dan dimiliki bangsa Indonesia.
Definisi ini menjadi penting karena yang kita bicarakan adalah pembangunan ekonomi nasional. Artinya, mau nggak mau menyangkut nasionalisme. Dari mana nasionalisme ini kita harapkan jika bukan dari anak bangsa sendiri?
Di Australia selalu kita jumpai berbagai produk yang dengan bangganya menulis Owned by Australian. Pemiliknya orang Australia. Itu yang mereka sampaikan, tidak cukup bicara tentang asal produk, tapi siapa pemilik produk itu.
Margareth Thatcher ketika menghadapi kesulitan ekonomi di masa awal pemerintahannya menyerukan gerakan Buy British!. British yang dimaksud adalah orang, bukan sekadar barang.
Sesat Kedua
Sesat kedua, menganggap produk Indonesia tidak dibeli karena kalah kualitas. Masalah sebenarnya bukan pada kualitas tapi karena tidak adanya pembelaan dari para pemimpin dan dari masyarakat terhadap produk anak bangsa sendiri.
Coba kita lihat. Produk air minum dalam kemasan. Kenapa tetap saja yang mendominasi produk asing? Apakah ini persoalan kualitas? Kualitas yang mana? Air juga juga bentuknya. Tapi tetap saja produk anak-anak kita tidak dibeli oleh masyarakat.
Pesawat terbang buatan Indonesia. Korea Selatan bahkan menggunakannya sebagai pesawat kepresidenan setelah pesawat CN235 kualitasnya teruji sangat andal ketika secara tidak sengaja pilot Korsel mendaratkannya tanpa roda. Tapi di dalam negeri BUMN Merpati justru memilih membeli pesawat MA60 dari Cina yang kualitasnya jauh di bawah CN235.
Seorang pejabat mengatakan pada saat itu,”Apa salahnya beli dari Cina?”. Kita melihat MA60 yang dibeli berjatuhan satu persatu bersama jatuhnya BUMN Merpati. Kembali pertanyaannya, apakah benar persoalannya ada pada kualitas produk?
Jadi membangun ekonomi dalam negeri bukan terletak pada produknya, tetapi pada pembelaannya.
Apakah mengutamakan produk anak bangsa menjadi pembelaan pemerintah setiap mengeluarkan anggaran? Jangan-jangan kita tidak peduli apakah yang dibeli produk anak bangsa atau produk asing.
Apakah ekonomi kerakyatan menjadi pembelaan pemerintah dalam membangun? Jangan-jangan kita juga tidak peduli apakah itu ekonomi kerakyatan, ataukah kapitalisme atau liberalisme. Sehingga tidak mempermasalahkan mana yang harus didorong dan mana yang harus dilindungi.
Produk Indonesia hanya akan berjaya jika terjadi pembelaan dari bangsa Indonesia. Pembelaan dari pemerintah dan masyarakat. Menumbuhkan sikap pembelaan ini bagian dari pembangunan karakter bangsa. Dulu Presiden menyampaikan tentang revolusi mental, sayang kita tidak pernah mendengarnya lagi. Padahal disitulah PR terbesar bangsa kita.
Sesat Ketiga
Maka tentang ajakan presiden agar membenci produk asing, ini penting karena ada produk asing yang berwujud manusia. Ciri-cirinya pencapaiannya hebat tetapi sesungguhnya sedang bekerja untuk agenda negara lain. Dia diberi kehormatan tetapi diam-diam menjual kehormatannya untuk kepentingan bangsa lain. Ini produk asing yang patut dibenci. Manusia jenis ini sangat berbahaya bagi nasib bangsa.
Sesat ketiga, ini sesat yang terbesar. Yaitu ketika kita meyakini untuk membangun ekonomi kuncinya ada pada negara lain. Pertanyaan tentang apakah kita lebih baik ikut Cina atau ikut Amerika adalah pertanyaan tersesat yang pernah ada.
Sebuah hikayat menceritakan, seseorang sedang mencari kunci di luar rumahnya. Seorang pejalan kaki yang lewat ikut membantunya tapi tidak ketemu juga kunci yang dicari. Pejalan kaki bertanya, ”Kamu yakin kuncinya jatuh disini?”
Orang itu menjawab, ”Oh tidak. Jatuhnya di dalam rumah. Tapi di sini kan ada lampu terang. Jadi saya cari di sini.”
Beli Indonesia
Tahun 2011 saya dihadiri Walikota Solo sekarang presiden saat mendeklarasikan Gerakan Beli Indonesia bersama lebih dari 50.000 pengusaha dan masyarakat. Gerakan ini selanjutnya dilakukan di berbagai kampus, di berbagai pesantren, di berbagai Ormas, di berbagai Pemda.
Salah satu Pemda yang melakukannya adalah Kulonprogo dengan nama turunan Gerakan Beli Kulonprogo. Dengan gerakan ini Bupati Kulonprogo Dr (HC) dr. Hasto Wardoyo bisa menurunkan angka kemiskinan hingga 8 persen dalam 3 tahun.
Saat ini, di tengah kesulitan ekonomi yang sedang kita hadapi, memprioritaskan penggunaan produk anak bangsa dampaknya akan sangat dahsyat bagi perekonomian jika kita lakukan secara besar-besaran.
Kalau Inggris di bawah Margaret Thatcher bisa bangkit dengan seruan Buy British. Kalau ekonomi Amerika bisa digerakkan dengan seruan Buy American, mengapa kita tidak bisa bangkit dengan seruan Beli Indonesia?
Ingatlah bahwa pengeluaran seseorang adalah penghasilan bagi orang lain. Maka setiap pengeluaran yang kita lakukan sesungguhnya kita sedang ditanya, siapa yang kamu pilih untuk memperoleh penghasilan, saudaramu atau orang lain? Siapa yang kamu pilih untuk bertumbuh, bangsamu atau bangsa lain? (*)
Editor Sugeng Purwanto