Menzalimi Habib Rizieq oleh M Rizal Fadillah, pemerhati politik dan kebangsaan.
PWMU.CO– Pengadilan online tanpa menghadirkan terdakwa dengan kondisi teknis jaringan internet buruk sehingga Habib Rizieq Shihab (HRS) perlu menulis ”Tidak Terdengar” adalah kezaliman.
Ketika covid-19 dijadikan alasan, maka kezaliman pun terbukti lagi. Rekan setahanan, Irjen Pol Napoleon Bonaparte, dalam kasus yang lain dapat menjalani sidang dengan hadir langsung. Bahkan berjoged tiktok.
Berteriak lantang saat HRS walk out dan gaungnya kemana-mana: ”Saya tidak mau sidang online walau kalian tembak kepala saya.”
HRS mempersilakan proses berjalan dengan tuntutan jaksa dan vonis hakim apa pun, hukuman seumur hidup ataupun mati.
Sidang online adalah pelanggaran HAM karena majelis hakim, jaksa, maupun pembela dapat hadir offline. Begitu juga dengan pengunjung yang turut masuk dalam sidang terbuka untuk umum. Mengapa terdakwa tidak bisa? Ini memang kekacauan dalam hukum prosedural yang berlindung di balik pandemi.
Untuk HRS sepertinya sejak dini secara politik sudah ada vonis mati. Diperlakukan seolah menjadi musuh negara nomor satu. Inilah persepsi keliru dan berlebihan. Ketakutan, kejengkelan, bahkan kebencian yang secara subjektif telah diperlihatkan pemegang kekuasaan. Aturan hukum dioperasikan dalam rangka mewujudkan kemauan politik. Figur HRS sedemikian rupa diposisikan melebihi bahaya PKI dan komunisme.
Mencari Kesalahan
Hijrah ke Mekkah adalah pilihan untuk keluar dari tekanan, fitnah, dan tembakan hukum yang tak berdasar. Terbukti dengan SP3 yang dikeluarkan. Selama di Mekkah gangguan kepentingan politik dalam negeri tidak berhenti, akan tetapi pemerintah Saudi memproteksi. Saat merencanakan pulang, upaya menghambat juga masif, hingga menjelang HRS terbang.
Sambutan besar dan bersejarah di Bandara Soekarno Hatta, menambah dengki penguasa. Acara hari-hari berikut menjadi momen untuk merealisasikan kezaliman politik dan hukum.
Kriminalisasi kerumunan acara pernikahan putri HRS di Petamburan, pengajian peringatan Maulid Nabi di Mega Mendung, mengotak-atik dan mencari-cari celah hukum test SWAB di RS Ummi Bogor, serta pembunuhan di luar batas atas enam anggota laskar FPI. Semuanya merupakan bentuk kezaliman lanjutan untuk pengadilan HRS.
Terakhir penggagalan gugatan pra-peradilan dan kekacauan teknis di sidang pertama Pengadilan Negeri Jakarta Timur yang menggambarkan diskriminasi hukum tersebut. Tayangan menzalimi HRS di kancah politik kontemporer tampaknya tidak mampu mengubur HRS sebagai figur kuat, aktivis, ulama, dan pendakwah fenomenal. Sesuatu dari bagian keragaman dan kekayaan bangsa yang semestinya dihargai.
Tidak ada kejahatan yang dilakukan. Semua hanya dicari-cari. Bacaan publik adalah bahwa HRS dengan gaya khas dan berani selalu konsisten untuk membela kebenaran dan melawan kemungkaran. Suatu prinsip yang semakin berat untuk dijalankan di masa kini di tengah rezim yang berperilaku aneh. Rezim yang all out menzalimi Habib Rizieq Shihab. (*)
Bandung, 18 Maret 2021
Editor Sugeng Purwanto