PWMU.CO – Berpikir kritis dalam dua versi asal-usul zebra berwarna belang mengemuka dalam Workshop Guru KB/TK yang digelar secara virtual oleh SD Muhammadiyah Manyar (SDMM) Gresik, Sabtu (20/3/21).
Yang menyampaikan adalah Co-Founder and Executive Director PeaceGeneration Indonesia Irfan Amalee. Dia memaparkan rumus 4B untuk melatihkan critical thinking (berpikir kritis).
Irfan Amalee mengawali paparannya dengan cerita Tahukah Kamu Asal-usul Mengapa Zebra Berwarna Belang? Cerita tersebut dikemas dalam dua versi berbeda.
Versi pertama dia menceritakan kepada anak-anak keompok 1:
Dulu zebra itu berwarna hitam pekat. Jika malam tiba ibu zebra sulit mencari anaknya yang sedang bermain. Akhirnya ayah zebra punya ide. Idenya apa? Kulit anak zebra dicat putih sehingga menjadi belang putih hitam.
Sekarang mereka mudah terlihat. Akhirnya ibu zebra bisa menemukan anak zebra di kegelapan malam. Nah jadi zebra itu kuda hitam yang dicat putih
Versi kedua dia menceritakan kepada anak-anak kelompok 2:
Dulu zebra itu berwarna putih. Banyak sekali zebra diterkam singa. Karena warnanya, singa dengan mudah melihatnya. Ayah zebra punya ide. Mereka mengecat tubuh mereka.
Ayah zebra mengecat tubuh mereka dengan warna hitam. Singa pun kesulitan menemukan zebra. Kini zebra dengan mudah bersembunyi di balik semak. Nah jadi zebra itu kuda putih yang dicat hitam.
Ekspresi Dua Kelompok
Usai mendengar cerita, lanjut Irfan Amalee, anak-anak mendapat tugas menggambar zebra. Guru telah menyiapkan kertas hitam dan kapur putih, serta kertas putih dan spidol hitam.
“Kira-kira anak kelompok pertama mengambil yang mana?” tanya Irfan Amalee.
“Kertas hitam, kapur putih,” jawab peserta serentak.
“Bagaimana dengan kelompok kedua?” tanya Irfan Amalee.
“Kertas putih, spidol hitam,” jawab para peserta.
Dari jawaban tersebut, Irfan Amalee menegaskan, ternyata action kita itu ditentukan oleh informasi yang diterima. “Kenapa kita pilih make up ini, bedak ini, lipstik ini, semua yang kita lakukan, kita pilih, kita ajarkan, berdasarkan informasi yang kita terima,” tegasnya.
Jadi, kata dia, setiap apa yang anak-anak lakukan sebenarnya berdasarkan informasi yang kita berikan.
Kisah zebra berbeda versi tersebut dapat menjadi pembelajaran yang melatihkan berpikir kritis, yaitu saat dua kelompok siswa tadi dipertemukan. “Jadi zebra itu kuda hitam garis putih atau kuda putih garis hitam?” kata Irfan Amalee.
Dengan begitu, lanjutnya, anak-anak akan mempertahankan pendapat sesuai dengan informasi yang mereka terima. Mungkin di awal mereka saling menyalahkan karena hanya mendengar satu versi. Namun setelah mendengar keduanya, pembelajaran memganalisis akan terjadi dan berakhir dengan penerimaan.
Irfan Amalee menyampaikan, ternyata sekarang anak-anak mendapat tantangan informasi yang begitu banyak. “Dan salah satu keterampilan di abad 21 yang paling penting itu berpikir kritis,” ungkapnya.
Project Based Learning
Ia menjelaskan, critical thinking sebenarnya adalah information and discovery. “Jadi bagaimana menemukan sebanyak mungkin informasi dari berbagai versi,” ujarnya.
Selain itu, ada interpretation and analysis. Kalau informasinya salah, terjemahannya ikut salah. “Pokoknya zebra itu kuda hitam garis putih, yang lain salah. Beda lagi kalau dia punya kedua informasi itu. Cara interpretasinya pasti beda,” jelasnya.
Irfan Amalee lalu mengajak para peserta menganalisis, mengapa orang Eropa menganggap zebra itu kuda putih garis hitam dan orang Afrika menganggap kuda hitam garis putih.
“Berdasarkan warna kulit tubuhnya,” jawab beberapa peserta baik secara langsung maupun di ruang chat.
Irfan Amalee membenarkan jawaban tersebut. Menurutnya, kita sering menilai berdasarkan cara pandang diri kita, lalu memproyeksikannya kepada orang lain.
“Betul gak kita itu sering menilai orang itu menurut standar kita. Ada bias. Kita melihat bagaimana orang yang berbeda itu dengan standar kita,” tegasnya.
Dalam critical thinking, lanjut Irfan Amalee, ada reasoning (alasan), kemudian construsting (argumen). Kemudian problem solving (pemecahan masalah). “Kalau kita bisa menganalisis masalahnya, informasinya lengkap, maka kita bisa memecahkan masalah. Kalau informasinya tidak lengkap, bagaimana bisa bikin solusi,” jelasnya.
Terakhir, system thinking, yang harus diajarkan sejak awal dengan kadar yang sesuai. Irfan mengatakan, anak-anak harus belajar sejak kecil diberikan masalah dan memecahkan masalahnya sendiri.
Pertama, feel. Anak-anak diajak merasakan masalah di sekolahnya. Misalnya, masih ada sampah. “Nanti dilihat, oh ternyata tong sampahnya tidak cukup, atau belum dipilah,” ungkapnya.
Kedua, imagine, bagaimana idealnya. “Oh semua sampah dipilah dan semua bekal itu gak ada sampahnya,” kata dia.
Ketiga, do. Membuat poster, membuat tong sampah dicat indah. Keempat, share, dibagikan.
Irfan Amalee mengatakan, hal sederhana dengan cara yang simpel bisa menjadi project based learning. “Jadi belajar bukan untuk ujian tapi untuk menjawab masalah keseharian,” ujarnya.
Apa Itu Critical Thinking
Critical thinking merupakan kemampuan untuk melihat sesuatu dari sudut pandang yang berbeda. Dalam Islam, kata Irfan Amalee, kita sudah biasa belajar critical thinking. Misalnya kalau belajar ilmu hadits, ada analisis sanad dan matannya. “Kalau di Muhammadiyah itu dipastikan sanad-nya shahih, matan-nya juga shahih,” ungkapnya.
Irfan Amalee menegaskan, ujung pembelajaran critical thinking adalah menciptakan anak-anak menjadi creator, problem solver. Hal ini sama dengan tujuan pendidikan Kiai Ahmad Dahlan, membuat Muhammadiyah menjadi solusi. “Al-Maun aja jadi Muhammadiyah segedhe gini, apalagi kalau ditambah al-Ashr, dan lain-lain,” ungkapnya.
Saat ini, kata dia, semua sudah remember (mengingat/menghafal), tetapi apakah sudah apply, create, bahkan evaluation. Irfan Amalee mengingatkan, kita harus menjadi pencipta, bukan pengingat saja.
“Jangan puas jadi penghafal. Hafal itu alat untuk memahami. Karena kita hafal maka kita bisa memahaminya. Kemudian kita bisa menerapkannya, mengaanalisisnya, mengevaluasinya,” tegasnya.
Mengajarkan sesuatu itu, lanjut Irfan Amalee, prinsipnya kalau sudah paham, anak bisa membuat apa. Ia kemudian menceritakan perdaban Islam dulu yang maju dengan banyak pencipta dari kaum muslim. Ilmuwan muslim bukan hanya banyak hafalannya, tapi juga ciptaannya.
Asah dengan 4B
Seorang creator harus berpikir kritis. Irfan Amalee menyebut rumus 4B dapat melatihkan critical thinking.
Pertama, banyak bertemu orang yang beragam. “Ajak anak-anak bertemu dengan orang yang beda suku, beda agama, beda profesi, beda perspektif,” ungkapnya.
Kedua, banyak piknik ke tempat beragam. “Jangan ke pantai lagi, ke mall lagi. Coba ke tempat budaya, rehabilitasi, dan lain-lain,” kata dia.
Ketiga, banyak baca referensi yang beragam. “Jangan mimpi anak-anak akan luas bacaannya, kalau gurunya, orangtuanya kurang luas bacaannya,” sindir Irfan Amalee.
Keempat, banyak aktivitas beragam. “Buat aktivitas yang keren, yang itu meluaskan cakrawala. Ada yg hand, heart, head, health,” kata dia.
Menurutnya, kalau berharap anak-anak menjadi tak terbatas, maka kita harus menyajikan mereka kegiatan yang tanpa batas. “Yang luas perspektifnya, bacaannya, aktivitasnya. Jangan berikan yang biasa-biasa,” tegasnya. (*)
Penulis Zaki Abdul Wahid Editor Mohammad Nurfatoni