Kajian KH Ahmad Dahlan dan Hamka tentang Jihad, ditulis oleh M. Anwar Djaelani, peminat biografi tokoh dan masalah sosial-kemasyarakatan.
PWMU.CO – RH Hadjid, salah seorang murid pertama KH Ahmad Dahlan, punya kesaksian menarik. Bahwa Surat Ali Imran 142 termasuk ayat al-Quran yang kerap kali diungkap oleh sang guru. Pesannya, perlu usaha yang bersungguh-sungguh untuk mendapatkan semua jenis kebahagiaan dan apalagi jika untuk meraih surga.
Mari kita resapi ayat tersebut: “Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum nyata bagi Allah orang-orang yang berjihad di antaramu dan belum nyata orang-orang yang sabar.”
Tampak, secara sederhana dapat kita katakan, kelak di akhirat, surga akan bisa menjadi ‘tempat tinggal’ kita, jika saat di dunia telah melakukan jihad dan bersikap sabar.
Jika begitu, apa saja yang tergolong sebagai jihad? Jihad, seperti ditulis di Al-Qur’an dan Terjemahnya terbitan Kementerian Agama, punya makna: 1) Berperang untuk menegakkan Islam dan melindungi orang-orang Islam; 2) Memerangi hawa nafsu; 3) Mendermakan harta benda untuk kebaikan Islam dan umat Islam; 4) Memberantas yang batil dan menegakkan yang hak.
Dalam hal pengamalan ayat itu, Ahmad Dahlan benar-benar mewanti-wanti kita. Beliau berkata, “Cobalah kamu pikirkan dengan sungguh-sungguh, apakah orang yang mempunyai keinginan mendapatkan kebahagiaan dan kemuliaan dunia bisa berhasil maksudnya dengan tidak bekerja yang sungguh-sungguh?
Sudah tentu tidak akan berhasil. (Perhatikan), juga sudah ada yang merasa bekerja sungguh-sungguh (tapi) akhirnya tidak berhasil. Apalagi tidak bekerja, sedangkan yang bekerja saja belum tentu berhasil” (RH Hadjid, 2013: 118-119).
Terkait ini, kita semakin mudah memahami maksud peringatan Ahmad Dahlan dalam hal pelaksanaan ayat itu lewat beberapa contoh, sebagai ilustrasi, sebagai berikut ini. Misal, seorang pelajar apabila tidak belajar dengan sungguh-sungguh tentu tidak akan lulus.
Demikian pula seorang pedagang yang mencari uang, apabila tidak bekerja dengan sungguh-sungguh tidak akan berhasil. Bangsa kita, juga tidak akan mendapat kemerdekaan apabila tidak berjuang dengan sungguh-sungguh dan berani mengorbankan jiwa-raganya untuk melawan penjajah.
Artinya, benar kata para ulama, bahwa apabila yang dicari itu barang yang besar dan mulia maka sukar dan jauh perjalanannya. Akan banyak rintangannya.
Jika pada kutipan di atas, Ahmad Dahlan masih membawa pemahaman kita bahwa, “Terwujudnya kebahagiaan hidup di dunia mensyaratkan adanya usaha yang sungguh-sungguh”, maka berikut ini kutipan untuk meraih surga di akhirat.
Berkata Ahmad Dahlan: “Orang yang hendak mencari keduniaan tidak akan berhasil jika tidak dengan sungguh-sungguh. Maka demikian pula orang yang hendak mencari surga, tentu tidak akan berhasil masuk surga apabila tidak berani jihad yaitu bersungguh-sungguh dalam membela agama Allah dengan penuh pengorbanan jiwa raga dan harta benda” (Hadjid, 2013: h. 119).
Mari, terus kita simak. Masih kata Ahmad Dahlan, “Apakah kita akan dapat masuk surga hanya dengan shalat dua rakaat, puasa Senin-Kamis, membaca bacaan di bibir, berderma, dan datang mengaji sepekan sekali?” (Hadjid, 2013: h. 120).
Menutup kajian tentang Ali Imran 142, Ahmad Dahlan seperti menggugat kita atas dua hal. Secara umum tentang keberislaman kita dan secara khusus tentang penghayatan atas shalat yang kita kerjakan.
Berkata Ahmad Dahlan, “Apakah arti Islam yang sesungguhnya? Apakah arti bacaan-bacaan shalat itu?” (Hadjid, 2013: h. 123).
Telaah Hamka
Akan menarik jika perhatian besar KH Ahmad Dahlan atas kandungan Ali Imran 142 kita hubungkan dengan penjelasan Prof Dr Hamka atas ayat yang sama. Kita buka Tafsir Al-Azhar (20013: h. 937-939), sebuah karya dari ulama yang juga aktif di Muhammadiyah itu.
Kata Hamka, pertanyaan di ayat itu bermaksud sebagai bantahan. Tegasnya, janganlah kita menyangka bahwa akan mudah masuk surga sebelum Allah buktikan dengan jelas: siapa pejuang yang bersungguh-sungguh dan siapa yang sabar, siapa yang tahan dan siapa yang tabah.
Surga tidaklah semudah yang kita sangka. Surga meminta kesungguh-sungguhan, semangat, antusiasme, dan kesabaran. Benar, surga meminta pengorbanan kita.
Jihad, kesungguhan, kerja keras, itulah syarat pertama perjuangan. Syarat kedua ialah sabar, tahan menderita dan tabah. Demikian, kata Hamka.
Banyak orang yang menjadikan ayat tersebut sebagai salah satu ayat favorit. Memang, betapa tidak menarik, dengan ‘kunci’ jihad dan sabar kita bisa masuk ke surga. Mereka beranggapan syarat jihad dan sabar mudah untuk dikerjakan. Padahal, dari berbagai kejadian, kita dapat mengambil pelajaran bahwa jihad dan sabar adalah dua hal berat yang harus diperjuangkan secara bersungguh-sungguh pengamalannya.
Banyak manusia, kata Hamka, sebelum malapetaka menimpa merasa akan kuat. Tetapi setelah malapetaka itu datang, barulah kita sadar bahwa kita lemah. Di situ Allah membuktikan, bahwa kita ini sesungguhnya lemah.
Di titik ini, Hamka tak segan mencontohkan dirinya sendiri saat ditahan oleh rezim Orde Lama. “Seorang guru Islam yang banyak muridnya, selalu memberi fatwa kepada murid-muridnya itu supaya berjuang sungguh-sungguh dan supaya sabar.
Tiba-tiba, pada suatu waktu dia sendiri ditimpa malapetaka. Dia difitnah lalu ditahan polisi, karena suatu tuduhan yang sekali-kali tidak diperbuatnya. Maka suatu hari seketika salah seorang muridnya sempat menjenguknya dalam tahanan, dia berkata:
‘Dahulu saya memberikan fatwa kepada Saudara-saudara supaya sabar ditimpa cobaan. Sekarang diri saya sendirilah yang saya beri fatwa setiap hari supaya sabar dan sekarang saya sudah dapat membuktikan kelemahan atau kekurangan saya’,” demikian pengakuan Hamka (2013: 938).
Mari kita lanjutkan. Ayat itu, kata Hamka, membuktikan bahwa surga yang begitu tinggi, mulia, dan begitu mahal tidak dapat dibeli kalau hanya dengan mulut. Orang yang berbudi tinggi dan berpikir cerdas jika masuk ke dalam toko besar, malu akan menawar barang yang mahal.
Mulutnya tidak akan terbuka, kalau dia tahu bahwa uang di dompetnya kosong atau tidak seimbang isinya dengan nilai barang yang ditawarkan. Demikianlah, Hamka memberi tamsil.
Hamka meminta kita untuk benar-benar kuat dalam mengamalkan Ali Imran 142. Sekali lagi beliau menegaskan, bahwa “Pada waktu aman tidak ada cobaan, banyak yang berani bersuara lantang, berfatwa menyuruh orang berjuang, menyuruh orang sabar. Mudah semua orang berkata demikian, sebelum mereka menyaksikan sendiri betapa payahnya berjuang dan betapa pahitnya sabar” (2013: 938).
Belajar dari Uhud
Surat Ali Imran 142 tentu tak terpisah dengan ayat ayat 143 sebagai berikut: “Sesungguhnya kamu mengharapkan mati (syahid) sebelum kamu menghadapinya; (sekarang) sungguh kamu telah melihatnya dan kamu menyaksikannya.”
Lihatlah, kata Hamka, membayangkan betapa bersemangatnya orang sebelum tampil ke medan perang. Mereka bersuara lantang, bahwa berani menghadapi maut. Setengahnya benar-benar berani karena menginginkan mati di medan perang sebagai seorang mujahid, pahlawan agama. Tetapi setengahnya lagi, bisa berkata lantang karena belum mengalami.
Boleh kita ambil pelajaran dari Perang Uhud. Ada sekitar 700 sahabat Rasulullah Saw yang pergi ke medan perang. Banyak di antara mereka yang menyatakan berani, karena berkaca bahwa dalam Perang Badar umat Islam menang. Mereka sangka di Perang Uhud akan begitu juga, sehingga pemuda-pemuda berkeras minta turut ke Uhud, di luar kota. Mereka tidak mau bertahan di dalam kota, karena ingin bertempur.
Pada gilirannya, mereka menyaksikan sendiri peperangan hebat itu. Mereka saksikan apa mati itu. Mereka saksikan pahlawan-pahlawan mereka gugur satu demi satu, di antaranya orang yang gagah berani yang selama ini mereka banggakan yaitu Hamzah bin Abdul Muthalib Ra. Mereka tahu, Hamzah Ra selama ini tiap bertempur selalu menang, sampai dia diberi gelar Singa Islam.
Di Perang Uhud Hamzah gugur. Tak hanya itu, kematiannya mengenaskan sebab dadanya dirobek dan jantungnya dikeluarkan lalu digigit oleh Hindun binti Uthbah, istri Abu Sufyan. Bersama Hamzah gugur pula di hadapan mereka 69 mujahid yang lain.
Nabi Muhammad SAW pun nyaris gugur terperosok kakinya pada lubang yang sengaja telah digali oleh seorang pengkhianat yaitu Abu Amir. Lalu tersebar berita bahwa Rasulullah Saw telah wafat.
Ada di antara mereka yang goncang imannya mendengar berita tersebut. Pasukan Islam ribut, goyah. Maka, datanglah ayat selanjutnya bahwa kalau mereka beriman teguh, seyogyanya berita yang tersebar itu tidaklah akan menggoncangkan hati.
Demikianlah, KH Ahmad Dahlan telah meminta kita untuk benar-benar bisa mengamalkan Ali Imran 142 dengan sungguh-sungguh. Kesungguhan memang sangat kita perlukan, terlebih dengan beratnya cobaan atas siapapun yang berusaha memenuhi panggilan ‘jihad’ dan ‘sabar’ dalam usaha meraih surga.
Maka, semoga kajian KH Ahmad Dahlan dan yang kemudian ‘dilengkapi’ dengan kajian Hamka ini bisa tetap merawat ghirah kita dalam menjaga Islam. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni
Artikel Kajian KH Ahmad Dahlan dan Hamka tentang Jihad adalah versi online Buletin Jumat Hanif Edisi 27 Tahun XXV, 26 Maret 2021/12 Sya’ban 1442.
Hanif versi cetak sejak 17 April 2020 tidak terbit karena pandemi Covid-19 masih membahayakan mobilitas fisik.