PWMU.CO – Manajemen peserta didik butuh tiga hal ini: penyelenggaraan layanan khusus, pengelompokan gaya belayar, evaluasi berbasis life skill.
Kata manajemen berasal dari bahasa Inggris yaitu manage atau to manage yang berarti mengatur, melaksanakan, mengurus, dan menata atau mengelola. Manajemen secara luas dapat dimaknai sebagai suatu bentuk aktivitas yang dilakukan bersama-sama oleh beberapa orang dengan sebuah tujuan yang ingin dicapai.
Dari pengertian di atas, dapat dikatakan segala aktivitas atau kegiatan butuh sebuah manajemen yang bagus agar tujuan atau visi yang dicita-citakan terwujud. Oleh karena itu, manajemen sudah tentu bermanfaat di seluruh sektor, baik sektor pariwisata, industri, perdagangan, pertanian, pedidikan, dan sektor lain.
Pada sektor pendidikan, khususnya sekolah, apabila diparsialkan banyak sekali komponen yang terlibat, di antaranya ada kurikulum, sarana prasarana, kepala sekolah, wali murid, guru, pembiayaan, komite, peserta didik, dan komponen lainnya. Masing-masing komponen ini saling bersinergi agar visi dan misi yang dicita-citakan tercapai.
Sebut saja komponen peserta didik. Komponen ini menjadi tidak efektif bila tidak ada sebuah manajemen yang matang. Manajemen peserta didik dapat dimaknai sebuah usaha untuk mengelola dan mengontrol peserta didik mulai masuk sekolah/daftar menjadi murid baru hingga mereka lulus.
Amanat Menteri
Bentuk kontrol ini juga harus bersinergi dengan amanat Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Republik Indonesia Nadiem Anwar Makarim. Dalam kuliah umumnya di laman YouTube Kemendikbud RI, Nadiem menyebutkan bahwa masih banyak dijumpai kasus kekerasan, perundungan/bullying, dan intoleransi pada peserta didik kita.
Dari beberapa kasus di atas, seluruh stakeholder atau pemangku kepentingan harus ikut andil dalam mengontrol peserta didik agar kasus seperti di sebutkan di atas tidak terjadi. Oleh karena itu, saya menawarkan tiga pilar penopang agar manajemen peserta didik berjalan sesuai visi atau cita-cita yang diharapankan pemerintah, khususnya sekolah.
Ketiga pilar tersebut adalah penyelenggaraan layanan khusus, pengelompokan peserta didik sesuai gaya belajar VAK (visual, auditori, kinestetik) saat pembelajaran, serta evaluasi hasil belajar peserta didik berbasis life skill.
Penyelenggaraan Layanan Khusus
Penyelenggaraan layanan khusus dapat berupa kegiatan yang menyinergikan pendidikan karakter dengan life skill (bakat, minat, dan kemampuan).
Caranya adalah mengadakan kunjungan ke salah satu tempat bersejarah, tempat wisata, sanggar, bengkel, atau tempat lain yang dapat mengedukasi dan memberikan pengalaman kecakapan hidup peserta didik. Bentuk sinergi dari dua komponen ini dapat dikemas dalam sebuah layanan khusus dalam bentuk layanan karya wisata.
Layanan karya wisata memberikan bekal peserta didik untuk mengimplementasikan nilai-nilai karakter, misalnya nilai karakter bersahabat/komunikatif atau nilai karakter lain. Hal ini dapat dibuktikan saat siswa sedang melaksanakan kunjungan di sebuah tempat sejarah.
Siswa akan melakukan komunikasi, tukar ide, dan pengetahuan dengan teman yang lain. Selain itu, pada saat melakukan kunjungan wisata, tentunya siswa akan bertanya kepada penjaga tempat sejarah/tour guide dari sesuatu yang tidak ia ketahui.
Di sinilah, siswa dapat mengembangkan kemampuan berbicara, kemampaun bertanya, dan kemampuan lain. Dengan demikian, bentuk sinergi pendidikan karakter dengan life skill (bakat, minat, dan kemampuan) dapat diwujudkan dalam sebuah layanan khusus karya wisata untuk peserta didik.
Pengelompokan Berdasarkan Gaya Belajar
Pengelompokan peserta didik yang didasarkan pada gaya belajar VAK saat pembelajaran bukan untuk mencari siswa yang pintar atau tidak. Juga bukan mencari siswa yang berprestasi atau tidak.
Akan tetapi, pengelompokan ini bertujuan untuk mempermudah guru mengetahui kemampuan masing-masing siswa saat menerima materi. Skema pengelompokan ini akan membantu siswa yang lemah di salah satu keterampilan, dan memberikan kesempatan berbagi materi bagi siswa yang kuat.
Skema pengelompokkan peserta didik berdasarkan gaya belajar dapat disimulasikan pada kegiatan berikut. Misal, pada pembelajaran bahasa Indonesia ada materi “menemukan unsur 5W dan 1H dari berita yang didengar”.
Jika dalam satu kelas ada siswa dengan gaya belajar visual, siswa tersebut tidak suka dengan aktivitas mendengarkan atau menyimak. Maka, siswa tersebut kurang bisa menerima materi hari ini. Akan tetapi, siswa dengan gaya belajar auditori dapat menerima materi dengan baik.
Jika kondisi ini tidak diketahui guru sejak awal. Maka, guru akan menemukan masalah baru terkait ketuntasan pembelajaran secara klasikal. Simulasi ini mengajak guru mengetahui sejak dini gaya belajar masing-masing peserta didik melalui pengelompokan berdasarkan gaya belajar VAK (Visual, Auditori, dan Kinestetik).
Evaluasi Hasil Belajar Berbasis Life Skill
Evaluasi hasil belajar peserta didik dapat dikatakan sebagai bentuk kegiatan untuk mengukur kemampuan peserta didik berdasarkan standardisasi atau ketuntasan kelas yang sudah ditetapkan melalui KKM (Kriteria Ketuntasan Minimal). Evaluasi bisa dilakukan setelah akhir bab, Penilaian Tengah Semester (PTS), dan Penilaian Akhir Semester (PAS).
Bentuk-bentuk evaluasi hasil belajar peserta didik seiring perkembangann zaman dan berbagai tantangan dalam kehidupan. Maka, pemerintah atau stakeholder terkait, khususnya guru memiliki andil untuk mengubah bentuk evaluasi. Bentuk evaluasi yang dapat diimplementasikan adalah membuat evaluasi hasil belajar berbasis life skill.
Bentuk evaluasi hasil belajar berbasis life skill tidak hanya mengukur kemampuan kognitif, tetapi dapat menumbuhkan bakat, minat, dan kemampuan siswa dalam menguasai setiap mata pelajaran. Misal pada mata pelajaran bahasa Indonesia, bentuk evaluasi dapat berupa membuat cerita pendek dari kisah sendiri. Maka, dari hasil evaluasi siswa dapat membuat cerita pendek.
Pada evaluasi ini siswa mencapai level tertinggi dari Taksonomi Bloom yaitu siswa mampu mencipta (create). Pencapain level tertinggi ini dapat dimaknai, peserta didik dapat mengembangkan bakat dan kemampuan menulis cerpen melalui evalusi yang dilakukan guru. Bentuk evalusi ini jelas menyinergikan berbagai komponen terkhusus kecakapan hidup peserta didik sebagai bekal di masa yang akan datang.
Ketiga pilar ini dapat mengurangi bentuk-bentuk kasus kekerasan, perundungan/bullying, dan intoleransi, selama semua stakeholder dapat mengelola dengan baik. Pada akhirnya, ketiga pilar ini dapat dijadikan sebagi pilar dalam manajemen peserta didik. (*)
Penulis Cahyo Hasanudin. Editor Darul Setiawan.