PWMU.CO – Agar Akidah Warga Muhammadiyah Tidak Berbelok Arah menjadi intisari kajian Ketua Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) Kabupaten Gresik Dr Taufiqulloh MPd.
“Kalau sudah bicara pelurusan akidah, sepertinya ada asumsi bahwa akidah yang berkembang itu bisa jadi akidah yang tidak lurus,” buka Taufiqulloh saat memberikan pengajian iftitah dalam kegiatan Penguatan Ideologi Muhammadiyah (PIM) bertema “Straightening Moslems’ Aqidah in Global Era”, Sabtu (27/3/2021).
Kegiatan yang diinisiasi oleh Mugeb Islamic Center (MIC) Majelis Pendidikan Dasar dan Menengah Pimpinan Cabang Muhammadiyah (PCM) GKB Gresik ini dilaksanakan secara virtual melalui Zoom Clouds Meeting dan streaming YouTube SD Muhammadiyah 1 GKB Gresik Channel. PIM yang kelima ini diikuti oleh seluruh guru dan karyawan, ortom, dan sekolah mitra Muhammadiyah GKB
Pada kesempatan itu,Taufiqulloh meminta kepada semua peserta untuk tetap menjaga akidah agar diamalkan di Persyarikatan Muhammadiyah sehingga tetap lurus dan tidak berbelok ke kanan dan ke kiri.
Menurut Ustadz Taufiq—apaan akrabnya—pelurusan akidah ini sudah dibahas Rasulullah dalam masanya. Ketika itu Rasulullah SAW membuat garis di atas pasir sambil mengatakan, “Hadzihi sabili (inilah jalanku).” Kemudian Rasul membuat garis-garis lagi dengan arah berbelok ke kanan dan ke kiri kemudian beliau mengatakan, “Dan ini adalah jalan-jalan yang menyimpang, jangan kalian menyimpang ke kanan maupun ke kiri nanti kamu akan bercerai berai.”
“Jika kita ingin menguatkan soliditas organisasi, pimpinan, dan jamaah, untuk menjaga akidah yang disepakati, dipahami, dan diamalkan bersama ini tetap dalam keadaan lurus, maka menurutnya tema kegiatan kali ini sangatlah penting.” ujarnya.
Alam Pemikian Islam
Ayah lima anak ini menjelaskan, di dalam pelajaran Kemuhammadiyahan tingkat SMA dan perguruan tinggi ada materi Alam Pikiran Islam yang membahas tentang hasil bentuk-bentuk pemahaman umat Islam terhadap ajaran al-Quran dan hadits. “Di sanalah kemudian melahirkan beberapa cabang-cabang aliran dalam teologi dan madzhab dalam bidang fikih,” terangnya.
Dalam teologi, lanjut Ustdaz Taufiq, muncul istilah Khawarij, Mu’tazilah, Qadariyah, Ahlussunnah wal Jamaah, dan lain sebagainya. Begitu juga dalam fikih terbentuk imam-imam madzhab fiqih seperti Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hambali.
Dia menerangkan d idalam pelajaran Kemuhammadiyahan itu, Muhammadiyah tidak terikat dengan cabang-cabang aliran teologi dan madzhab fikih apapun. “Muhammadiyah menegaskan tidak bermadzhab, Muhammadiyah mengajak kembali kepada al-Quran dan hadits,” jelasnya.
Atas dasar ini, kita tidak akan menemui rumusan ideologi Muhammadiyah yang berbunyi, misalnya, ‘Muhammadiyah berakidah Ahlussunnah wal Jamaah’, atau ‘Muhammadiyah berakidah pada aliran Mu’tazilah’, dan lain sebagainya. Karena akidah Muhammadiyah selalu merujuk pada al-Quran dan hadits.
Oleh karena itu Ustadz Taufiq berpesan agar kita tidak perlu risau jika ada orang yang memandang bahwa jamaah Muhammadiyah itu corak pemikirannya Mu’tazilah. “Yang terpenting adalah bisa mengeksiskan diri sebagai pengikut Nabi Muhammad, bisa memperdalam pemahamannya terhadap sunnah-sunnah Rasulullah, bisa mengikuti dan menelafani cara hidup seperti yang dicontohkan oleh Rasulullah,” tegasnya.
Akidah dalam Al-Quran, Hadits, dan Kitab-kitab
Tafiqulloh menegaskan, di dalam al-Quran dan hadits tidak ditemui kata akidah untuk menjelaskan sebuah urusan yang berhubungan dengan keyakinan. “Tapi yang diulang-ulang adalah kata iman,” ujarnya.
Menurutnya, kata iman kalau diartikan menurut kitab adalah membenarkan ajara-ajaran Islam dalam aspek apa saja, termasuk akidah, ibadah, akhlak, muamalah, dan lain lain.
“Selagi kita mau membenarkan seluruh aspek ajaran Islam yang dibawa oleh Rasulullah, itu tandanya kita ini adalah orang yang beriman,” terangnya.
Di sisi lain, sambungnya, Rasulullah SAW juga mengatakan, iman itu bisa bertambah dan bisa berkurang. Bisa bertambah kalau iman kita implementasikan dengan ketaatan, dan bisa hilang kalau kita terseret dalam arus kemaksiatan.
“Istilah akidah baru kita temukan dalam kitab-kitab tauhid dan teologi,” jelasnya. Akidah, lanjutnya, diartikan sebagai membenarkan ajaran-ajaran islam tanpa keraguan.
“Iman dikatakan sudah meningkat menjadi akidah jika seseorang sudah membenarkan aspek ajaran Islam dalam keadaan dia tidak punya keraguan sedikitpun terhadap apa yang dia percayai,” jelas dia.
Dalam bab lain, akidah dapat diartikan sebagai tali pengikat. Analoginya, keimanan seseorang diikat dengan akidah, sehingga iman itu tidak akan pernah lepas.
“Supaya kita mempunyai akidah yang bisa menguatkan keimana kita, maka kita harus tahu dalil-dalil ajaran yang kita benarkan itu,” kata dia mencuplik kalimat dalam sebuah kitab.
Menjadi Orang Muhammadiyah
Jadi, tegas Ustadz Taufiq, menjadi orang Muhammadiyah kalau sudah menjadikan Islam sebagai pedoman hidup, sudah memahami dan mengamalkan aspek-aspek ajarannya, maka yang bisa menguatkan keimanan kita adalah pengetahuan tentang dalil-dalilnya.
“Karena itu, ngaji itu penting. Ikut pengajian itu penting. Di sanalah kita dijelaskan dalil-dalil tentang ajaran Islam yang berhubungan dengan aspek tauhid keimanan, ibadah, akhlal, dan muamalah,” terang dia.
Namun, dari dalil-dalil yang ada pasti menghasilkan pemahaman yang berbeda-beda. Ada pemahaman versi Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama, HTI, Salafi, dan lain sebagainya.
Orang Muhammadiyah harus dikuatkan berdasarkan pemahaman yang dimiliki Muhammadiyah. “Jangan sampai ada orang di Muhammadiyah yang dipahami dan yang diimplementasikan adalah pemahaman yang dimiliki oleh orang luar,” tegas pria yang suka berkopiah hitam ini.
Pemahaman orang-orang di luar Muhammadiyah itu kita harus menghormati, menghargai, tetapi di Muhammadiyah yang kita implementasikan adalah pemahaman yang sudah di khittahkan (dirumuskan) di Muhammadiyah.
“Kita di Muhammadiyah di doktrin, kamu jangan mengikuti sesuatu yang kamu tidak tahu dasar ilmunya. Mengikuti tanpa tahu dasarnya itu dinamakan taklid, dan taklid itu harus dijauhi. Supaya tidak jadi orang yang taklid, harus tahu dasar dalil-dalilnya,” kata Ustadz Taufiq. (*)
Penulis Ahmad Nasafi Editor Mohammad Nurfatoni