Enam Hikmah Puasa oleh Dr H Syamsudin MAg, Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur; Dosen UINSA Surabaya.
PWMU.CO – Puasa merupakan salah satu pilar di antara lima pilar agama Islam. Puasa disyariatkan pada tahun ke- 2 Hijriah. Secara lughawi puasa adalah menahan diri segala hal tanpa batasan.
Orang yang bertekad tidak mau bertutur kata disebut dengan puasa bicara, sebagaimana pernah dilakukan Maryam binti Imran, (Maryam 26). Kuda yang tidak mau bergerak saat diperintahan tuannya untuk bergerak (ngambek), juga disebut kuda puasa atau al-khail ash-sha’imah.
Dalam Istilah syariat Islam puasa didefinisikan sebagai perbuatan menahan diri dari makan, minum, dan hubungan intim suami istri pada siang hari yang disertai dengan niat.
Hikmah Ibadah
Semua aspek dalam ajaran Islam mengandung hikmah dalam jumlah tidak terbatas, yang semuanya bermuara pada satu terminal, yaitu kemaslahatan manusia. Sebagaimana firman Allah SWT dalam al-Anam 124.
اللَّهُ أَعْلَمُ حَيْثُ يَجْعَلُ رِسَالَتَهُ
“Allah Maha Tahu ketika ia menciptakan risalahnya.”
Sementara penulusuran akal manusia atas hikmah-hikmah tersebut adalah terbatas, sejalan dengaan keterbatasan akal pikirannya, sebagaimana firman Allah SWT, “Jika kalian menghitung nikmat Allah niscaya kalian tidak mampu menghitungnya.” (Ibrahim 34).
Demikianlah hikmah puasa yang digali manusia, akan terus dinamis dan berkembang sejalan dengan kemajuan peradaban manusia, lewat pena para sasterawan, pikiran para ulama, dan perenungan para filosof. Namun demikian tetap saja ia terbatas.
Hikmah pertama, puasa merupakan manifestasi dari syukur kepada Allah atas nikmat-nikmat yang tidak terbilang banyaknya. Asy-syukru atau bersyukur muncul sebagai respon atas hadirnya nikmat, yang bentuknya bisa melewati tiga elemen komunikasi pada diri manusia, yatitu hati, lisan, dan anggota badan.
Puasa merupakan manifestasi syukur kepada Allah dengan cara menahan hati, lisan, dan anggota badan dari segala bentuk pelanggaran ajaran agama, (Rawa’i al-Bayan, I/23). Di dalam al-Quran terdapat tiga macam ketataatan yang oleh para ulama ahli tafsir dikatakan memiliki kaitan erat dengan puasa.
Pertama, kata as-sa’ichuun, dalam at-Taubah 112, yang secara harfiah bermakna “orang yang keluar dari kampung halamannya, melanglang buana berjuang pada jalan Allah”. Maksudnya adalah mereka yang berpuasa, mengingat orang berpuasa adalah mereka yang keluar dari kebiasaan hidup sehari hari, selanjutnya masuk ke dalam kebiasaan baru yang menanggung kepayahan, lapar, dan dahaga.
Kedua, kata ash-shabirun, dalam az-Zumar 10, yang secara harfiah bermakna orang-orang yang sabar, maksudnya adalah orang-orang yang berpuasa, mengingat puasa identik dengan kesabaran.
Ketiga, as-sajdah17, “ Tidak seorangpun mengetahui berbagai nikmat yang menanti, yang indah dipandang sebagai balasan bagi mereka, atas apa yang mereka kerjakan.” Ayat ini ditujukan kepada orang-orang yang berpuasa, (Syaraf al-Ummah al-Muhammadiyah, 1404 H/139).
Tunaikan Amanah
Hikmah kedua, puasa mengajarkan kepada manusia cara menunaikan amanah secara ideal, tidak lebih dan tidak kurang. Perintah menahan diri dari makan, minum, dan hubungan intim suami istri pada siang hari, sejatinya titipan Allah yang dipikulkan di atas pundak manusia.
Amanah ini wajib dijaga dengan segenap kekuatannya, sehingga manusia merasakan payah jiwa dan raganya. Saat seseorang menyendiri di suatu tempat yang sepi tanpa penjaga, sementara ia merasa lapar dan haus, sebenarnya ia leluasa untuk makan dan minum, atau melakukan apa saja sesuai dorongan nafsunya. Seandainya hal tersebut ia lakukan, maka ia telah menghianati amanat Allah. Dan tentunya azab Allah siap menanti para penghianat.
Hikmah ketiga, alam manusia tidak sama dengan alam binatang. Binatang memiliki kehidupan yang khas, melulu bergairah kepada makan, minum serta berkembang biak. Jika manusia mampu mengendalikan jiwanya dari berburu kelezatan jasmani yang berupa makan, minum, dan hubungan seksual, maka pikirannya menjadi jernih, dan ruhnya terbebas dari sifat-sifat kebinatangan, menuju kemanusiaan murni yang dekat kepada sifat kemalaikatan.
Pengalaman batin sebab puasa akan berpengaruh pada pelaksanaan ibadah-ibadah yang lain, yaitu seseorang akan melaksanakan semua ibadahnya dengan rasa ikhlas, semata-mata mengharap ridha Allah.
Dalam sejarah agama dan keyakinan dijelaskan bahwa para ahli hikmah, filosof, para asketik, dan ahli ibadah, jika mereka ingin mengarang kitab, atau menyusun sesuatu ilmu, maka mereka melakukan laku tirakat, yaitu membatasi diri dari makan, minum, dan tidur, agar memiliki kemampuan dan kekuatan untuk mewujudkan semua keinginan dan cita-citanya, (al-Jurjawi, I/134).
Di antara penelitian tentang orang yang berpuasa adalah tentang pikiran dan cara pandang mereka. Terdapat penelitian yang mengamati sekelompok orang yang berpuasa. Setelah beberapa hari puasa, tiba-tiba saja terjadi sesuatu yang aneh. Pikiran mereka lebih filosofis layaknya para filosof, mereka mulai memikirkan hal-hal yang abstrak semacam hak asasi manusia, kebahagiaan, kedamaian, toleransi, keadilan, dan lainnya. Pikiran mereka tidak terbatas pada hal-hal yang kongkrit saja.
Ada ulama ahli tafsir yang menghubungkan kelompok ayat puasa, yaitu al-Baqarah ayat 183 -187, dengan ayat sesudahnya, yaitu al-Baqarah ayat 188. “Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui”.
Munasabah dari dua kelompok ayat di atas, adalah terdapatnya hubungan kuat antara puasa dan kemampuan seseorang menahan diri dari makan barang haram. Di antara efek yang ditimbulkan oleh puasa adalah munculnya kemampuan batin untuk menjauhkan diri dari praktik bisnis yang curang, terutama praktik suap menyuap di lembaga peradilan, mengingat hal tersebut disebut secara eksplisit.
Jauh dari Penyakit Kronis
Hikmah keempat, para dokter sepakat, jika seseorang makan dengan rakus atau makan tanpa kendali, maka ia bisa terkena penyakit lambung yang akut. Sebagaimana kata-kata hikmah dari al-Haris bin Kaldah, dokter Arab yang masyhur, “Lambung adalah gudang penyakit, diet adalah obatnya yang utama, dan berikanlah hak pada badan untuk memulihkan dirinya.”
Para ahli hikmah mengatakan, “Barang siapa yang makannya banyak maka minumnya juga banyak, barang siapa yang minumnya banyak maka bawaannya ngantuk, dan barang siapa banyak tidur maka ia menyia-nyiakan umurnya.”
Dalam tafsir an-Nasafi diceritakan, Khalifah Harun ar-Rasyid punya dokter pribadi yang pintar beragama Nasrani. Ia berkata kepada ulama penasehat khalifah yang bernama Syaikh Ali bin Husin bin Waqid. Ilmu itu ada dua, ilmu agama dan ilmu kedokteran, namun dalam kitab suci anda sama sekali tidak mengandung ilmu kedokteran.
Syaikh Ali bin Husin menjawab, Allah SWT, telah menghimpun seluruh ilmu tentang kesehatan hanya dalam setengah ayat, yaitu, “Kuluu wasyarabuu walaa tusrifuu”, makan dan minumlah asal jangan berlebihan, al-A’raf: 31.
Dokter Nasrani itu menjawab, berarti ajaran yang dibawa oleh nabi Anda telah mencakup semua ilmu yang diajarkan Galinus (galen, pakar kedokteran yunani kuno, yang punya pengaruh besar pada ilmu kedokteran Eropa). Dari sinilah asal mula keharusan puasa sebelum seseorang operasi, puasa sebagai prosedur tetap kedokteran.
Hikmah kelima, puasa adalah cara mengingatkan orang kaya kepada penderitaan yang dialami fakir miskin. Dengan puasa diharapkan hati orang- orang kaya terasah tajam, lembut dan beraroma wangi.
Bagi para elite penguasa, puasa merupakan pengalaman batin yang berharga guna menyelami perasaan kaum tertindas yang terpinggirkan kehidupannya. Menggugah mereka untuk ikut merasakan pahit getirnya rasa lapar dan dahaga. Sehingga semakin kuat kedermawanan, serta semangatnya untuk ikut serta meningkatkan kehidupan golongan fakir miskin menuju tingkatan yang lebih baik.
Hikmah keenam, melemahkan nafsu syahwat. Manusia maupun binatang memiliki nafsu syahwat yang sama, yaitu ingin melampiaskan hasrat seksualnya. Manusia pun dengan segala perbedaan status sosial dan ekonominya juga memiliki hasrat seksual yang sama.
Namun ada saatnya manusia terhalang untuk melaksanakan hajat tersebut. Halangan, bisa disebabkan oleh macam-macam faktor. Misalnya belum mampu menikah, atau sudah menikah namun pasangannya terkena halangan syar’iy, misalnya haid dan nifas.
Puasa adalah cara untuk menjinakkan mafsu syahwatnya, agar jangan sampai manusia beriman terjerumus ke dalam jurang perzinahan. Nabi Muhammad SAW bersabda:
“Wahai pemuda, siapa di antara kamu yang telah mampu menikah, maka menikahlah. sebab sesungguhnya nikah lebih mampu menahan pandangan dan lebih menjaga kemaluan. Barang siapa yang belum mampu menikah maka hendaklah ia berpuasa karena sesungguhnya puasa sebagai wija’ (pengebirii) baginya.” (al-Bukhari).
Editor Mohammad Nurfatoni