Sudut Pandang Polisi dan Zakiah Aini oleh Nurbani Yusuf, pengasuh Komunitas Padhang Makhsyar Kota Batu.
PWMU.CO– Zakiah Aini menganut teologi nekat mati. Densus 88 menganut teologi takut mati. Ini memang kebalikan. Beda sudut pandang.
Sama-sama berharap imbalan. Zakiah Aini berharap imbalan surga. Pak polisi berharap imbalan gaji bulanan. Jadi heroik yang mana?
Bagi Zakiah Aini, surga sudah di pelupuk mata. Ia sudah selesai dengan urusan dunia bahkan mungkin saja sudah tak punya urusan lagi. Sebuah cara pandang mulia. Melihat jauh ke depan berorientasi akhirat. Berbeda dengan saya yang masih banyak urusan. Dari cicilan bulanan hingga urusan istri yang menuntut belanja naik tiap hari.
Zakiah Aini perempuan paro baya bukan saja pemberani, tapi seorang yang kuat memegang prinsip. Teologi akhirat lebih kekal ini begitu kuat terasa di kalangan muslimin termasuk saya. Berpikir dengan cara apa mengakhiri hidup: kanker, jantung, stroke, tertabrak mobil atau mati di pucuk laras bedil Densus 88 sambil bertakbir.
Sayangnya, saya tak punya keberanian bahkan bicara mati saja takut. Jangankan laras bedil atau bom, dengan jarum suntik vaksin pun takut dan sejauh mungkin menghindar dengan berbagai alasan untuk tidak disuntik. Jadi jangan harap dapat imbalan kawin dengan 72 bidadari surga yang selalu perawan bila masih takut disuntik.
Berbeda dengan Zakiah Aini yang lantang berdiri menerobos Mabes Polri. Bertemu polisi tilang saja saya nderedheg. Jadi teroris bukan hanya soal perspektif atau teologi hakimiah yang legendaris itu tapi juga nyali besar. Ini yang mungkin luput dari perhatian. Bukankah kita baca ayat dan kitab yang sama tapi kenapa aplikasinya jauh berbeda.
Seperti halnya polisi yang paranoid melihat orang berjenggot dan perempuan bercadar, kemudian bertindak main keroyok terhadap perempuan bersejata pistol angin dengan peluru plastik. Tapi bisa juga tak berlebihan sebab siapa tahu di balik gamis hitam itu ada bom yang bakal meledakkan Mabes.
Ibarat Bunuh Tikus
Ini hanya soal jaga-jaga dan standar perang sipil. Tapi jadi lucu. Seperti membunuh tikus dengan mengerahkan panser atau pesawat perang legendaris F16 bikinan Amerika dan sekutunya.
Meski sendirian Zakiah Aini selaksa pasukan tempur dengan ribuan mesiu mematikan. Sosoknya yang lembut itu tampak besar dan menakutkan. Tidak tahu apa yang ditakutkan pak polisi. Apakah gamis, kerudung, atau warna hitam pakaiannya? Ini juga misteri. Seperti diri saya takut jarum suntik atau ibu dokter yang pelit senyum yang bikin saya nderedheg.
Tapi kenapa Zakiah Aini mudah masuk tanpa pengawalan di markas besar polisi yang angker dengan pengamanan berlapis itu? Kemudian bikin kaget pak polisi karena dari gamisnya itu ada pistol angin dan peluru plastik. Padahal Mbak Zakiah mau benahi BHnya yang melorot dan dikira mau ambil pistol atau bom yang ketinggalan di rumah. Tapi keburu ditembak mati dengan peluru beneran. Adegan berakhir tanpa ending.
Atau ada pandangan lain. Bahwa peluru plastik bisa sangat mematikan di tangan para jihadis karena lebih bertuah. Adegan teror kian seru seperti adegan dalam telenovela. Atau film India yang riuh dengan adu jotos tapi tak ada yang beneran.
Bagi sebagian orang, perang adalah wasilah. Perang bukan tujuan tapi menempati posisi penting dan satu-satunya yang dianggap efektif mencapai syahid sebagai jalan mudah menuju surga. Tapi bisa saja ini teori ketinggian. Wong Mbak Zakiah Aini jangan-jangan hanya mau benahin BH-nya yang melorot, tapi keburu ditembak dengan peluru beneran karena nya bikin kaget dan takut para pemburu teroris. Salam sehat.
Editor Sugeng Purwanto