PWMU.CO– Covid itu seperti wasilah Tuhan untuk mereka yang selama ini tidak percaya agama dan atheis untuk kembali bahwa ada kekuatan lain di luar manusia dan alam semesta.
Demikian pemikiran Ketua Umum PP Muhammadiyah Prof Dr Haedar Nashir yang disampaikan di Kajian Ramadhan 1442 H PWM Jawa Timur, Sabtu (17/4/2021).
Menurut Haedar Nashir, ada pandemi, ada kerusakan ekosistem di berbagai negara dan berbagai hal. Lalu muncul pandangan post humanisme di dalam alam semesta. Mulailah mereka percaya pada kehadiran Zat Yang Maha Kuasa.
Dunia modern, kata dia, akhirnya kembali ke pangkalnya untuk mengakui keberadaan Tuhan, keberadaan agama. Mereka mengakui dalam makna spiritualisme.
Dia mengatakan, ilmu dan teknologi punya keterbatasan, dunia epidemiologi sekalipun juga ada batasnya. ”Inilah pelajaran penting sebenarnya, kita kembali menemukan wawasan teosentrisme Barat untuk kembali kepada pangkuanNya dengan teosentrisme,” kata Haedar Nashir.
Tetapi, sambung dia, kita tidak tahu bahwa resultannya, bagaimana sintesis antara teosentrisme yang mereka hindari dan antroposentris yang mereka punya sedang krisis. Kegagalan itu menemukan titik baru di dalam pandangan kosmologi hidup masyarakat modern.
”Bagi kita kaum beragama, lebih-lebih di Indonesia sebagai masyarakat muslim terbesar, maka kita perlu mengambil i’tibar atau mengambil ibrah bagaimana menemukan dan mengaktualisasikan Islam yang satu dimensi, tetap berpangkal pada tauhid yang menjalin relasi hablumminallah yang multi dimensi baik dimensinya itu syariat, hakikat, makrifat,” tandas guru besar sosiologi Islam Universitas Muhammadiyah Yogyakarta ini.
”Atau dimensi pemahaman yang bayani, burhani, dan irfani, sampai pada dimensi yang terkait dengan hablumminannas bagaimana proyeksi nilai ketuhanan kita itu juga bersambung dengan nilai-nilai kemanusiaan dan nilai-nilai kehidupan yang bersifat semesta,” tandasnya.
Semangat Tauhid dan Syariah
Haedar menjelaskan, sebagian di antara kita kaum muslimin ketika menghadapi pandemi covid ingin teosentrisme berbasis tauhid tetapi cara pandangnya literal atau bayani, maka ketika Majelis Tarjih atau Majelis Ulama menerapkan ijtihad beribadah di kala darurat pandemi sebagian tidak mau mengikuti. Semangatnya adalah semangat tauhid.
”Kenapa sih kita takut kepada pandemi covid? Kenapa tidak takut kepada Allah? Kenapa kita harus keluar dari masjid ? Justru ketika musibah kita harus berada di masjid,” tutur Haedar mengutip pernyataan orang-orang bersemangat tauhid.
Menurut Haedar, elementer kelihatannya, pas dengan pandangan tauhid yang ingin lekat dengan hablumminallah dan ibadah yang maksurah. ”Tetapi lupa bahwa ada pandangan dan cara pandang lain yang justru juga terkait dengan tauhid dan terkait dengan syariat ibadah,” tandasnya.
Haedar melanjutkan, ketika kita mencari cara yang bersifat ijtihadi, beribadah di kala darurat, yang Ustadz Saad sering mengutip kaidah fiqh bahwa yang haram pun menjadi halal, di mata sebagian kita pandangan seperti itu dianggap keluar dari din, maka terjadi kontras antara hifzhuddin dan hifzhun nafs padahal sebenarnya dalam kontruksi tauhid, syariat yang multi dimensi. Hifzhuddin menjadi satu kesatuan dengan Hifzhun nafs, Hifzhul maal (memelihara harta), hifzhun nasl (memelihara keturunan), dan hifzhul aql (memelihara akal).
”Bagi kita di Muhammadiyah i’tibar di masa pandemi ini bagaimana merekonstruksi kembali pandangan tauhid kita, keimanan kita, dan ketaatan kita , bahkan cara atau pandangan falsafah ibadah kita itu memiliki integratif atau interkoneksi antara hablumminallah hablumminannas bahkan hablumminal alam secara keseluruhan,” jelas Haedar.
Qalb Menuntun Kebenaran
Munculnya Fatwa Tarjih tentang tuntunan ibadah dalam kondisi darurat pandemi Covid, Haedar menegaskan, bukan sekadar agenda yang bersifat konsep tetapi juga sikap hidup kita. Ketika kita menjauhi dan menghindari musibah kita bukan sedang takut pada pandemi dan tidak takut kepada Allah, justru itu menjadi bagian dari ketaatan kepada Allah.
Sebagaimana Umar yang tidak jadi ke suatu tempat dalam peperangan saat itu untuk menghindari Thaun (wabah), menghindari musibah, meskipun dikritik dikatakan menjauhi takdir Allah.
”Umar menjawab saya lari dari satu takdir Allah kepada takdir Allah yang lain. Itu cara berpikir yang integratif. Bagaimana tauhid, iman dan takwa serta ibadah kita candra di dalam perspektif yang integratif,” tuturnya.
Konsep integratif ini, sambung dia, penting di dalam kehidupan kita. Di dalam diri kita ini ada elemen bayyani, burhaninya dalam bentuk akal pikiran, tetapi juga ada elemen irfani dan ihsan dalam bentuk qalb, entah itu fuad, atau juga lub. Juga aspek rasa yang kita tidak bisa terhindar dari semua itu.
”Manusia semodern apa pun, serasional siapa pun, dia tidak akan menghilangkan fitrah yang bernama rasa, qalbu, atau hati,” tandasnya. (*)
Penulis Syahroni Nur Wachid Editor Sugeng Purwanto