Inilah Sebaik-baik Bidah ditulis oleh Ustadz Muhammad Hidayatulloh, Pengasuh Kajian Tafsir al-Quran Yayasan Ma’had Islami (Yamais), Masjid al-Huda Berbek, Waru, Sidoarjo.
PWMU.CO – Kajian Inilah Sebaik-baik Bidah ini berangkat dari hadits riwayat Bukhari.
عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَبْدٍ الْقَارِيِّ أَنَّهُ قَالَ خَرَجْتُ مَعَ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ لَيْلَةً فِي رَمَضَانَ إِلَى الْمَسْجِدِ فَإِذَا النَّاسُ أَوْزَاعٌ مُتَفَرِّقُونَ يُصَلِّي الرَّجُلُ لِنَفْسِهِ وَيُصَلِّي الرَّجُلُ فَيُصَلِّي بِصَلَاتِهِ الرَّهْطُ فَقَالَ عُمَرُ إِنِّي أَرَى لَوْ جَمَعْتُ هَؤُلَاءِ عَلَى قَارِئٍ وَاحِدٍ لَكَانَ أَمْثَلَ ثُمَّ عَزَمَ فَجَمَعَهُمْ عَلَى أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ ثُمَّ خَرَجْتُ مَعَهُ لَيْلَةً أُخْرَى وَالنَّاسُ يُصَلُّونَ بِصَلَاةِ قَارِئِهِمْ قَالَ عُمَرُ نِعْمَ الْبِدْعَةُ هَذِهِ وَالَّتِي يَنَامُونَ عَنْهَا أَفْضَلُ مِنْ الَّتِي يَقُومُونَ يُرِيدُ آخِرَ اللَّيْلِ وَكَانَ النَّاسُ يَقُومُونَ أَوَّلَهُ. رواه البخاري
“Dari Abdurrahman bin ‘bdul Qariy bahwa dia berkata: “Aku keluar bersama ‘Umar bin Al Khaththob radliallahu ‘anhu pada malam Ramadhan menuju masjid, ternyata orang-orang shalat berkelompok-kelompok secara terpisah-pisah. Ada yang shalat sendiri dan ada seorang yang shalat diikuti oleh makmum yang jumlahnya kurang dari sepuluh orang.
Maka Umar berkata: “Aku pikir seandainya mereka semuanya shalat berjama’ah dengan dipimpin satu orang imam, itu lebih baik”. Kemudian Umar memantapkan keinginannya itu lalu mengumpulkan mereka dalam satu jama’ah yang dipimpin oleh Ubbay bin Ka’ab.
Kemudian aku keluar lagi bersamanya pada malam yang lain dan ternyata orang-orang shalat dalam satu jama’ah dengan dipimpin seorang imam.
Lalu Umar berkata: “Sebaik-baiknya bidah adalah ini. Dan mereka yang tidur terlebih dahulu adalah lebih baik daripada yang shalat awal malam. Yang ia maksudkan untuk mendirikan shalat di akhir malam, sedangkan orang-orang secara umum melakukan shalat pada awal malam.”
Shalat Tarawih
Tarawih seakar dengan kata istirahah atau dalam bahasa kita adalah istirahat. Hal ini dilakukan di sela-sela di antara shalat yang dilakukan oleh para jamaah. Sedangkan istilah shalat tarawih saat ini adalah shalat yang dikerjakan oleh kaum Muslimin secara berjamaah setelah shalat Isya atau ada juga yang menyebutnya sebagai qiyamu Ramadhan.
Pada awal mula Nabi Shallallahu alaihi wa Sallam memberikan contoh memulai qiyamu Ramadhan dan selanjutnya diikuti oleh para sahabat. Akan tetapi setelah tiga atau empa hari Nabi tidak keluar lagi karena di khawatirkan shalat ini menjadi wajib:
عَنْ عَائِشَةَ أُمِّ الْمُؤْمِنِينَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى ذَاتَ لَيْلَةٍ فِي الْمَسْجِدِ فَصَلَّى بِصَلَاتِهِ نَاسٌ ثُمَّ صَلَّى مِنْ الْقَابِلَةِ فَكَثُرَ النَّاسُ ثُمَّ اجْتَمَعُوا مِنْ اللَّيْلَةِ الثَّالِثَةِ أَوْ الرَّابِعَةِ فَلَمْ يَخْرُجْ إِلَيْهِمْ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمَّا أَصْبَحَ قَالَ قَدْ رَأَيْتُ الَّذِي صَنَعْتُمْ وَلَمْ يَمْنَعْنِي مِنْ الْخُرُوجِ إِلَيْكُمْ إِلَّا أَنِّي خَشِيتُ أَنْ تُفْرَضَ عَلَيْكُمْ وَذَلِكَ فِي رَمَضَانَ.
“Dari Aisyah Ummul Mu’minin radliallahu ‘anha berkata; ‘Pada suatu malam Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melaksanakan shalat di masjid, maka orang-oang mengikuti shalat beliau. Pada malam berikutnya beliau kembali melaksanakan shalat di masjid dan orang-orang yang mengikuti bertambah banyak.
Pada malam ketiga atau keempat, orang-orang banyak sudah berkumpul namun Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak keluar untuk shalat bersama mereka. Ketika pagi harinya, Beliau bersabda: “Sungguh aku mengetahui apa yang kalian lakukan tadi malam dan tidak ada yang menghalangi aku untuk keluar shalat bersama kalian. Hanya saja aku khawatir nanti diwajibkan atas kalian”. Kejadian ini di bulan Ramadhan.'” (HR Bukhari)
Pun demikian Rasulullah tetap memberikan motivasi kepada kaum mukminin untuk tetap melaksanakan shalat Tarawih ini, dan tiada lain panggilan shalat Tarawih ini adalah iman dan keikhlasan dalam menjalankannya, hikmahnya adalah dosa-dosa yang telah lalu akan diampuni.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُرَغِّبُ فِي قِيَامِ رَمَضَانَ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَأْمُرَهُمْ فِيهِ بِعَزِيمَةٍ فَيَقُولُ مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ. متفق عليه
“Dari Abu Hurairah ia berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memberikan motivasi untuk mengerjakan (shalat pada malam) Ramadlan dengan tidak mewajibkannya. Beliau bersabda: “Barangsiapa yang menunaikan (shalat pada malam) Ramadlan dengan penuh keimanan dan mengharap (pahala dari Allah), maka dosa-dosanya yang telah berlalu akan diampuni.” (HR Bukhari dan Muslim)
Bidah Hasanah
Pada masa Khalifah Umar bin Khaththab, beliau mendapati orang-orang yang shalat ada yang sendirian, ada yang berjamaah dengan 10 orang dan lain sebagainya yang tersebar. Sebagaimana dalam pembahasan hadits di atas.
Maka kemudian khalifah Umar berijtihad agar shalatnya menjadi satu imam yaitu pada saat itu sahabat Ubay bin Ka’ab dan yang lain menjadi makmumnya. Dalam keadaan demikian umar berkata: “Nikmal bidati hadzihi” Sebaik-baik bidah adalah ini.
Hal ini merupakan pelajaran dari beliau sebagai sunnah sahabah dan beliau termasuk al khulafaurrasyidin. Bidah yang dimaksudkan oleh beliau bukanlah bidah secara syar’i (bidah syar’iyyah), akan tetapi yang beliau maksud hanya secara bahasa (bidah lughawiyyah). Hal ini juga yang di antara para ulama menyebutnya sebagai bidah hasanah.
Ijtihad beliau ini dibiarkan begitu saja oleh para sahabat senior yang lainnya baik dari kalangan shahabat Muhajirin maupun shahabat Anshar. Di antaranya Ali bin Abi Thalib, Ustman bin Affan, Thalhah, Zubair, Mu’adz bin Jabal, Abdullah bin Abbas. Dengan demikian ijtihad khalifah Umar ini dapat diterima oleh para sahabat yang lainnya, tanpa ada yang mempersoalkannya.
Bilangan Rakaat Shalat Tarawih
Secara umum para ulama berpendapat bahwa shalat Tarawih ini tidak ditentukan jumlahnya, sebagaimana isyarat Nabi.
عَنْ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ رَجُلًا سَأَلَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ صَلَاةِ اللَّيْلِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَاةُ اللَّيْلِ مَثْنَى مَثْنَى فَإِذَا خَشِيَ أَحَدُكُمْ الصُّبْحَ صَلَّى رَكْعَةً وَاحِدَةً تُوتِرُ لَهُ مَا قَدْ صَلَّى
“Dari Ibnu Umar, bahwa seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tentang shalat malam, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: ‘Shalat malam dua-dua, jika salah seorang diantara kalian khawatir tibanya waktu shalat subuh, maka shalat witirlah satu raka’at.'” (Muttafaqun alaih)
Hadits di atas menjelaskan tentang pelaksanaannya yang dua rakaat dua rakaat. Menegenai jumlahnya tidak disebutkan batasannya, walaupun kebiasaan Rasulullah adalah 11 rakaat tetapi jangan tanya bagusnya shalat beliau.
عَنْ أَبِي سَلَمَةَ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ أَنَّهُ سَأَلَ عَائِشَةَ كَيْفَ كَانَتْ صَلَاةُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي رَمَضَانَ قَالَتْ مَا كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَزِيدُ فِي رَمَضَانَ وَلَا فِي غَيْرِهِ عَلَى إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً يُصَلِّي أَرْبَعًا فَلَا تَسْأَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ ثُمَّ يُصَلِّي أَرْبَعًا فَلَا تَسْأَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ ثُمَّ يُصَلِّي ثَلَاثًا فَقَالَتْ عَائِشَةُ فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَتَنَامُ قَبْلَ أَنْ تُوتِرَ فَقَالَ يَا عَائِشَةُ إِنَّ عَيْنَيَّ تَنَامَانِ وَلَا يَنَامُ قَلْبِي.
“Dari Abu Salamah bin Abdurrahman bahwa dia pernah bertanya kepada ‘Aisyah, ‘Bagaimanakah shalat (sunnah) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pada bulan Ramadhan?’
Aisyah menjawab: “‘asulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengerjakan shalat sunnah baik ketika Ramadhan atau di luar Ramadhan tak lebih dari sebelas rakaat, beliau mengerjakan empat rakaat. Kamu tidak usah menanyakan kualitas dan panjangnya shalat beliau. Setelah itu beliau mengerjakan empat rakaat, kamu tidak usah menanyakan kualitas dan panjangnya shalat beliau, kemudian beliau shalat tiga rakaat.’
Aisyah berkat:; lalu aku bertanya: ‘Wahai Rasulullah, apakah Anda tidur sebelum witir? “Beliau menjawab: ‘Wahai ‘isyah, kedua mataku memang tidur, namun hatiku tidak.'” (HR Bukhari Muslim)
Syekh Bin Baz menyampaikan bahwa yang dimaksud empat rakaat dalam hadits di atas bukanlah empa rakaat sekali salam, tetapi tetap sebagaimana semula yaitu dua rakaat salam, hanya jeda waktu setelah dua rakaat dua kali dengan rakaat berikutnya jedahnya agak lama. Wallahu a’lam.
Dalam Riwayat yang lain bahkan kadang 13 rakaat. Di antara para ulama madzhab ada yang berpendapat 20 rakaat selain witir, dan Imam Malik bahkan 36 rakaat.
Dengan demikian mengenai jumlah rakaat memang tidak menjadi persoalan yang perlu diperdebatkan. Akan tetapi bagaimana kita dapat menjaga kualitas dari ibadah itu hal yang terpenting. (*)
Inilah Sebaik-baik Bidah: Editor Mohammad Nurfaoni