Puasa dan Maiyyatullah, Upaya Hamba Membersamai Allah, ditulis oleh Dr H Syamsudin MAg, Dosen Universitas Islam Negeri Sunan Ampel (UINSA) Surabaya; Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (Jatim).
PWMU.CO – Pada Kajian Ramadhan Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur yang diselenggarakan pada Ahad (18/4/2021), Prof Din Syamsuddin MA PhD mengatakan, dalam menghadapi musibah Covid-19 sudah seharusnya kita menampilkan maiyatullah, kebersamaan dengan Allah, atau membersamai Allah.
Dalam paramasastra Arab, maiyatullah merupakan tarkib idhofi, atau semacam kata majemuk. Yaitu dua isim yang digabung jadi satu dan memiliki satu kesatuan makna. Ma’a merupakan isim dhorof makan, atau kata keterangan tempat yang memiliki arti “bersama”.
Demikianlah kata maiyatullah, diartikan sebagai “kebersamaan dengan Allah”, atau “membersamai Allah”. Dengan arti tersebut, konsep maiyatullah tidak jauh beda dengan konsep muraqabah yang terdapat dalam ilmu akhlak, yaitu upaya diri untuk senantiasa merasa terawasi oleh Allah.
Dan dengan muraqabah manusia akan aktif mengawasi dan mengontrol dirinya karena ia sadar senantiasa berada dalam pengawasan Allah SWT.
Terkait muraqabah, oleh ulama akhlak dibagi ke dalam tiga macam. Yaitu pertama, muraqabah al-qalbi. yaitu kewaspadaan dan peringatan terhadap hati, agar tidak keluar dari kehadirannya di haribaan Allah.
Kedua, muraqabah ar-ruhi, yaitu kewaspadaan dan peringatan terhadap ruh, agar selalu merasa dalam pengawasan Allah.
Ketiga, muraqabah as-sirri, yaitu kewaspadaan untuk selalu meningkatkan kualitas amal ibadahnya dan memperbaiki adabnya.
Tentang muraqabah ini terdapat ungkapan ulama yang cukup terkenal :
من رقب الله فى خواطره عصم الله تعالى جوارحه
“Barangsiapa yang muraqabah dengan Allah dalam hatinya, maka Allah akan me melihara semua anggota tubuhnya dari berbuat dosa.”
Maiyyatullah dalam Al-Quran
Ayat-ayat maiyatullah adalah ayat-ayat yang memiliki makna kebersamaan Allah dengan hamba-hamba-Nya. Ayat yang dimaksud adalah yang di dalamnya terdapat kata ma’a, dengan redaksi yang bermacam-macam. Ada huwa ma’akum, huwa ma’ahum, innallaha ma’alladzina, dan innallaha ma’ana.
Berdasarkan konteks kalimat atau siyaqul kalam-nya, ma’iyyatullah dalam al-Quran memiliki tiga tujuan. Pertama, menunjukkan kesempurnaan ilmu dan kuasa Allah atas makhluk-Nya. Sebagaimana terdapat dalam al-Hadid 4, wahuwa ma’akum ainamaa kuntum (Ia bersama kalian di mana saja kalian berada). Demikian pula dalam al-Mujadalah: 7.
أَلَمْ تَرَ أَنَّ اللَّهَ يَعْلَمُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ مَا يَكُونُ مِنْ نَجْوَى ثَلَاثَةٍ إِلَّا هُوَ رَابِعُهُمْ وَلَا خَمْسَةٍ إِلَّا هُوَ سَادِسُهُمْ وَلَا أَدْنَى مِنْ ذَلِكَ وَلَا أَكْثَرَ إِلَّا هُوَ مَعَهُمْ أَيْنَ مَا كَانُوا
“Tidakkah kamu perhatikan, bahwa sesungguhnya Allah mengetahui apa yang ada di langit dan di bumi? tiada pembicaraan rahasia antara tiga orang, melainkan Dia-lah keempatnya. Dan tiada (pembicaraan antara) lima orang, melainkan Dia-lah keenamnya. Dan tiada (pula) pembicaraan antara jumlah yang kurang dari itu atau lebih banyak, melainkan Dia berada bersama mereka di manapun mereka berada.
Kedua, ma’iyyatullah menunjukkan pesan peringatan dan ancaman bagi manusia, sebagaimana terdapat dalam an-Nisa’ 108:
يَسْتَخْفُونَ مِنَ النَّاسِ وَلَا يَسْتَخْفُونَ مِنَ اللَّهِ وَهُوَ مَعَهُمْ إِذْ يُبَيِّتُونَ مَا لَا يَرْضَى
مِنَ الْقَوْلِ وَكَانَ اللَّهُ بِمَا يَعْمَلُونَ مُحِيطًا
“Mereka bersembunyi dari manusia, tetapi mereka tidak bersembunyi dari Allah, padahal Allah bersama mereka, ketika pada suatu malam mereka menetapkan keputusan rahasia yang Allah tidak ridlai. dan adalah Allah maha meliputi (ilmu-Nya) terhadap apa yang mereka kerjakan.”
Peringatan dan ancaman pada ayat ini adalah bagi mereka yang mengadakan rapat rahasia di malam hari untuk sesuatu tujuan yang tidak diridhai oleh Allah. Mereka berusaha menyembunyikan rencana jahatnya dari manusia, namun mereka tidak bisa menyembunyikannya dari Allah SWT, karena Allah membersamai mereka.
Ketiga, ma’iyyatullah menunjukkan pesan pertolongan dan dukungan penuh dari Allah. Misalnya yang terdapat pada an-Nahl 128:
إِنَّ اللَّهَ مَعَ الَّذِينَ اتَّقَوْا وَالَّذِينَ هُمْ مُحْسِنُونَ
“Sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang bertakwa dan orang-orang yang berbuat ihsan.”
Kata ma’iyyatullah dalam al-Qur’an ada yang penyandarannya pada sifat seseorang, ada pula yang pada personal. Adapun yang terdapat pada an-Nahl 128 di atas adalah contoh ma’iyyatullah yang disandarkan kepada sifat ketakwaan dan kebaikan.
Sehingga siapapun orangnya asal ia memiliki dua sifat utama tersebut, yakni takwa dan ihsan, maka Allah akan bersama dengannya.
Penyandaran Personal
Sementara yang penyandarannya kepada personal, paling tidak terdapat pada dua tempat. Yaitu pada at-Taubah 40:
إِلَّا تَنْصُرُوهُ فَقَدْ نَصَرَهُ اللَّهُ إِذْ أَخْرَجَهُ الَّذِينَ كَفَرُوا ثَانِيَ اثْنَيْنِ إِذْ هُمَا فِي الْغَارِ إِذْ يَقُولُ لِصَاحِبِهِ لَا تَحْزَنْ إِنَّ اللَّهَ مَعَنَا
“Jikalau kalian tidak menolongnya (Muhammad), maka sesungguhnya Allah telah menolongnya (yaitu) ketika orang-orang kafir (musyrikin Mekah) mengusirnya (dari Mekah) sedang ia salah seorang dari dua orang ketika keduanya berada dalam gua, di waktu ia berkata kepada temannya: “Janganlah kamu bersedih, sesungguhnya Allah bersama kita.”
Juga dalam Surat Thaha 45-46.
قَالَا رَبَّنَا إِنَّنَا نَخَافُ أَنْ يَفْرُطَ عَلَيْنَا أَوْ أَنْ يَطْغَى(45) قَالَ لَا تَخَافَا إِنَّنِي مَعَكُمَا أَسْمَعُ وَأَرَى (46)
“Berkatalah mereka berdua: ‘Duhai Tuhan kami, sesungguhnya kami kuatir bahwa ia segera menyiksa kami atau akan bertambah melampaui batas.'” (46) Allah berfirman: ‘Janganlah kalian berdua kuatir, sesungguhnya aku bersama kalian berdua, aku mendengar dan melihat.’ (46)
Pada at-Taubah 40, adalah ma’iyyatullah yang dialami oleh Nabi Muhammad SAW dan Abu Bakar, saat keduanya bersembunyi di dalam gua Tsur. Abu Bakar mencemaskan keselamatan Rasulullah SAW, karena bersembunyi di suatu tempat yang tidak terlalu aman. Yakni dalam sebuah gua yang bagian dalamnya bisa terlihat dari bagian atasnya.
Saat itu Abu Bakar bilang, “Duhai Rasul Allah seandainya para pengancam itu melihat ke arah dua telapak kakinya, niscaya mereka melihat kita.” Kecemasan Abu bakar wajar, mengingat orang-orang kafir Quraisy mengejar Nabi SAW, dengan mengerahkan segenap daya upayanya. Ibaratnya semua gunung didaki, semua lembah dan ngarai dituruni, semua sudut sahara diawasi.
Hasrat mereka tersihir oleh sayembara yang telah disebar, bahwa barang siapa bisa membunuh Muhammad hadiahnya 200 ekor onta, dan barang siapa yang bisa membunuh Abu Bakar hadiahnya 100 ekor onta. Jadi 300 ekor onta adalah hadiah yang sangat menggiurkan, karena bisa menyulap orang miskin berubah menjadi kaya mendadak.
Saat itulah Nabi SAW, menenangkan kecemasan Abu Bakar, “Jangan bersedih sesungguhnya Allah bersama kita. Kita tidak berdua, karena ada Allah sebagai pihak yang ketiga.” Demikianlah ma’iyyatullah menyelamatkan Nabi Muhammad SAW dan Abu Bakar ash-shiddiq.
Adapun Thaha: 45-46, adalah ma’iyyatullah yang dialami oleh Nabi Musa dan Nabi Harun, ketika keduanya diperintahkan berdakwah kepada Firaun. Nabi Musa dan Nabi Harun, cemas dan gentar katika harus berhadapan dengan sosok power full yaitu Firaun. Sebab ma’iyyatulllah, maka keduannya menang melawan Firaun dan bala tentaranya.
Puasa sebagai Ikhtiar Ma’iyyatulllah
Terdapat sebuah hadis qudsi yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dari Abu Hurairah, Nabi SAW meriwayatkan dari Rabb-nya, bahwa Dia berfirman:
كل عمل ابن آدم له إلا الصوم فإنه لي وأنا أجزي به
“Setiap amalan manusia adalah untuknya kecuali puasa, sebab ia hanyalah untukku dan hanya Akulah yang akan memberikan ganjaran padanya.”
Ini merupakan salah satu hadits yang menegaskan keistimewaan puasa Ramadhan, yaitu bahwa Allah SWT, mengkhususkan ibadah puasa ini sebagai rahasia antara dirinya-Nya dengan hamba-hamba-Nya. Para ulama telah memberikan penjelasan makna redaksi hadits, “Ia hanyalah untukku dan hanya Akulah yang akan memberikan ganjaran pada-Nya” dengan beberapa makna, di antaranya:
Pertama, bahwa semua amal anak Adam bisa dijadikan sebagai tebusan atau pembayaran atas kezalimannya yang dia lakukan kepada orang lain. Orang-orang yang terzalimi akan menuntutnya kelak di hari kiamat, dengan cara mengambil pahalanya.
Sebagaimana yang disebutkan dalam sebuah hadits, bahwa seseorang pada hari kiamat kelak datang dengan membawa pahala amal shalih laksana gunung, namun demikian, karena saat di dunia ia pernah mencela orang, atau menyiksanya, atau memakan hartanya secara tidak sah, sehingga pahala-pahalanya diambil darinya. selanjutnya diberikan pada orang-orang yang pernah ia zalimi.
Bila pahalanya telah habis dibagi-bagi, dan masih ada korban yang belum mendapat bagian dari pahalanya, maka dosa-dosa mereka dipindahkan kepadanya, selanjutnya ia bangkrut dan dijerumuskan kedalam neraka. (HR Muslim, dari Abu Hurairah).
Semua pahala amal bisa dijadikan tebusan kecuali puasa yang tidak bisa, sebab Allah sendirilah yang menabung, dan memberikan pada yang bersangkutannya.
Kedua, hadits di atas juga memberi pengertian bahwa puasa merupakan ibadah batiniah yang hakikatnya hanya diketahui oleh Allah SWT, dan para pelakunya. Karena puasa adalah ibadah batiniah maka ia adalah amalan hati, yang indikator-indikatornya tidak terlihat oleh indera manusia.
Berbeda dengan ibadah lainnya yang sifatnya jasmani atau lahiriah, sehingga bisa dilihat oleh mata sesamanya. Inilah makna puasa sebagai ibadah yang bersifat rahasia antara hamba dan Rabb-nya.
Dalam riwayat lain disebutkan:
الصوم لي وأنا أجزي به ، إنه ترك شهوته وطعامه وشرابه من أجلي
“Puasa hanyalah untuk-Ku dan Akulah yang akan memberikan ganjaran pada-Nya, sebab ia telah meninggalkan hawa nafsu, makan, dan minumnya karena diri-Ku.”
Ketiga, para ulama juga menjelaskan, puasa tidaklah dirusak oleh riya’ atau syiri kecil, sebagaimana ibadah yang lainnya. Orang bisa saja pamer dan membanggakan shalatnya, hajinya, zakat dan shadaqahnya di hadapan orang lain untuk memperoleh sanjungan dan pujian dari sesama manusia.
Namun mereka tidak bisa pamer dan membanggakan puasanya, mengingat puasa adalah amalan hati yang tidak bisa dimunculkan dalam lahiriah dirinya. Wallaahu a’lam. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni