PWMU.CO – Tugas Masyarakat Beli Kapal Selam Putih, Bukan yang Hitam disampaikan Prof Hilman Latief MA PhD, Ketua Badan Pengurus Lazismu Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Dia menyampaikannya pada kajian Ramadhan Aman dan Sehat, Jumat (30/4/21).
Kajian virtual spesial Ramadhan bersama PP Muhammadiyah ini persembahan Muhammadiyah Covid-19 Command Center (MCCC), Lazismu, dan Wardah. Temanya, Zakat Infak Shadaqah (ZIS) untuk Kebangkitan Indonesia.
“Tahun ini Indonesia masuk 10 negara paling dermawan berdasarkan World Giving Index. Sejauh mana data ini menunjukkan kekuatan ZIS untuk menyejahterakan Indonesia?”
Demikian pemandu acara Ghifari Yuristiadi melontarkan pertanyaan pembukanya sore ini.
Prof Hilman Latief mengakui Indonesia patut berbangga. Karena pada tahun 2018 termasuk negara paling dermawan dibanding negara lain yang lebih maju. Hal ini, menurutnya, bisa menjadi modal yang kuat untuk ZIS.
“Ada tradisi gotong-royong dan kebersamaan yang dipupuk terus oleh masyarakat, termasuk tradisi dari konsep keagamaan sehingga semakin kuat tradisi itu,” terang Hilman.
Apalagi, tambahnya, Indonesia termasuk negara dengan potensi bencana tinggi. Seperti di kelilingi ring of fire (gunung berapi aktif), gempa bumi, longsor, dan lainnya. “Bencana-bencana ini mempertahankan tradisi masyarakat untuk berkontribusi membantu orang lain,” ujarnya.
Perluas Definisi Filantropis
Hilman mengimbau untuk mendefinisikan ulang konteks filantropi (kedermawanan). Sebab, tantangan masa pandemi ini semakin berat. Misal, secara ekonomi masih minus, kegiatan ekonomi masyarakat semakin pelan atau berhenti. Selain itu, produktivitas masyarakat juga menurun.
Melihat kondisi ini, Hilman mengajak refleksi, bagaimana tetap mendorong tradisi filantropi di tengah tantangan ini. Menurutnya, yang perlu dipahami, tradisi filantropi bukan hanya dengan memberi dana kepada orang lain, tapi juga tentang bagaimana cara melibatkan diri menyelesaikan berbagai persoalan.
“Jangan sampai masyarakat melihat orang dermawan hanya yang menolong secara ekonomi semata,” tegasnya.
Keterlibatan diri atau engagement yang dimaksud adalah bersedia meluangkan waktu dan pikirannya untuk membantu orang lain. “Dalam situasi pandemi, kita tahu orang butuh bantuan kita, dukungan atau bantuan itu tidak selalu berbentuk fisik, uang, atau sembako,” jelas Hilman.
Formula Kerelawanan
Hilman menyatakan, Sustainable Development Goals (SDG)—di bidang kesehatan, ekonomi, dan pangan, kemiskinan, edukasi, air bersih, dan sebagainya—adalah tujuan pembangunan yang bisa diukur.
“Artinya, sudah ada patokan-patokan yang perlu kita dorong dan rujuk. Tapi dalam pelaksanaannya kita harus bisa memformulasikan cara melibatkan orang lebih banyak dan lebih peduli,” terangnya.
Menurut dia, saat ini perlu memfasilitasi banyak anak muda yang sudah mau terlibat. Hal ini jadi bagian upaya menjaga tradisi volunteerism (kerelawanan) yang penting dalam filantropisme.
“Mereka tidak punya uang, tapi punya banyak tenaga, waktu, dan dedikasi. (Sehingga bisa) menjadi volunteer aktif,” tuturnya.
Filantropis Cilik, Bangun Mentalitas
Menurut Hilman, membangun jiwa volunteerism pada generasi muda masih menjadi PR. ” Volunteerism itu mentalitas, perilaku, yang kemudian jadi tradisi. Tapi juga butuh proses untuk mengedukasi,” terang dia.
Untuk itu, lanjut Hilman, di Lazismu ada program Filanropis Cilik. Program ini untuk menggugah kepedulian maupun kebersamaan di kalangan pelajar. “Perasaan-perasaan ini perlu diasah,” tuturnya.
Tidak hanya itu, wujud kerelawanan bisa berupa aktif menyukseskan kegiatan kemanusiaan dalam organisasi. Berdasarkan hasil pengamatannya, “Di kalangan generasi muda sudah tumbuh (kerelawanan), kami tidak sulit mencari volunteer,” ungkapnya.
Bahkan, generasi muda saat ini mau terlibat di tempat terpencil, tidak hanya di kantor yang nyaman. Di satu sisi, menurut pandangan Hilman, inilah cara anak muda berkontribusi dengan tenaga dan pikiran mereka.
Dorongan Tradisi Agama
Hilman mengatakan, agama juga mendorong ber-taawun atau saling membantu dan menopang. Konsep dalam al-Quran yang luar biasa ini. Menurutnya, sudah saatnya untuk menerjemahkan lebih sistematis, konseptual, dan praktikal.
Sehingga, harapnya, generasi muda lebih paham yang mereka lakukan punya justifikasi keislaman, sosial, dan kemanusiaan. Selain itu, generasi muda juga punya keinginan mentradisikan filantropisme itu.
Menurut Hilman, hal ini sudah sesuai dengan karakter generasi milenial dan Z yang suka berbagi dan bekerja sama. “Tidak lagi melihat orang lain sebagai saingan, tapi selalu positif melihat orang lain sebagai calon mitra baru,” jelasnya.
Hilman juga menanggapi fenomena munculnya filantropi pada gerakan mengumpulkan sumbangan untuk membeli kapal selam atas tragedi KRI Nanggala 402.
Menurut dia, inilah wujud ekspresi mengingatkan para pengambil kebijakan bahwa masih banyak PR yang perlu dikerjakan. “Ada (alutsista) yang perlu kita bangun, kembangkan, dan perlihara,” ungkapnya.
Mungkin, lanjutnya, sebagian masyarakat ada yang kecewa ada pejuang yang gugur karena menggunakan alutsista yang tua dan perlu pembaharuan. Jadi menurutnya, fenomena filantropi tadi wujud reaksi spontanitas saja. “Karena sebenarnya (itu) tugas negara,” ucapnya.
Tugas masyarakat bukan mengadakan kapal selam, ia tidak yakin apakah gerakan pengumpulan sumbangan untuk mengadakan kapal selam tadi bisa terwujud. Ia belajar dari bagaimana kelanjutan masyarakat berupaya menyumbang bersama untuk pesawat Habibie.
“Itu bukan prioritas masyarakat buat (mengumpulkan dana pengadaan) kapal selam yang hitam itu,” tegasnya.
Tapi, lanjutnya, kalau “kapal selam yang putih”: berbagi dengan sesama untuk ketahanan pangan atau keluarga dengan dana filantropi menurutnya sangat memungkinkan.
Dana Abadi Umat
Merespon pertanyaan bagaimana penggunaan dana pribadi umat untuk kepentingan negara yang lebih besar, Hilman berharap semangat zakat infak shadaqah (ZIS) punya dimensi yang lebih besar, jadi gelombang yang lebih kuat.
Untuk itu, Lazismu punya program Zakat Bangkitkan Indonesia sebagai respon dari dampak pandemi. “Karena kita baru saja bangun dari keterpurukan, kevakuman, dan serba ketakutan secara ekonomi, sosial, dan mental,” urainya.
Maka, dia berharap melalui program ini bisa membangkitkan semangat masyarakat dan mental yang sempat melemah dalam pandemi ini.
Selain itu, dia berharap, ada kebangkitan pada dimensi ekstrinsik: bangkit secara ekonomi, sosial, meningkatkan kualitas hidup masyarakat lain. Sumbernya, dari potensi zakat yang bisa dihimpun di Indonesia yang jumlahnya mencapai ratusan triliyun.
“Katakanlah ada Rp 15 triliun yang tahun ini bisa terhimpun, kita jadikan sebagai satu modal menjadikan semnagat baru,” ungkap Hilman.
Enam Pilar Lazismu
Hilman menceritakan Lazismu tetap fokus dengan enam pilarnya yang penting dalam perumusan kebijakan. Yaitu, pilar pendidikan, kesehatan, ekonomi, sosial dakwah, kemanusiaan, dan lingkungan.
Untuk tahun ini, lanjutnya, ada program tersendiri untuk pilar lingkungan. Sebelumnya, pilar ini menyatu dengan pilar kemanusiaan. Tahun ini dipisah, karena banyak kemiskinan dan masalah lain muncul karena tidak ada perhatian terhadap lingkungan.
Di bidang pendidikan, Hilman menyatakan orientasinya tetap mendorong masyarakat kurang mampu dapat menunaikan dan menuntaskan pendidikan mereka.
“Ada beasiswa yang sifatnya penuh dan parsial, yang terpenting adik-adik bisa lanjut sekolah di tingkat SD atau SMP, namanya beasiswa Mentari,” terang dia.
Ada juga beasiswa Sang Surya untuk kuliah. Selain itu ada santunan guru honorer yang belum dapat insentif sewajarnya.
Di bidang kesehatan, ada stunting, peningkatan gizi masyarakat di daerah tertentu. Begitu pula untuk sosial dakwah, mencakup daerah terpencil yang butuh dukungan moral dan sosial.
Dukungan masyarakat kini luas, bahkan dengan menyebutkan nama programnya. Misal, menyebutkan “Kami memilih program beasiswa” karena memang ingin memfokuskan dananya untuk beasiswa.
Hilman menyadari pentingnya penguatan dan integrasi antarpilar. “Pada waktu Covid19, isunya kesehatan tapi dampaknya semua lini,” ungkap Hilman.
Akhirnya, Hilman mengajak masyarakat untuk mewujudkan rasa bersyukurnya kepada Tuhan dengan menjadi seorang pembayar zakat yang baik, disiplin, dan lebih dermawan. (*)
Penulis Sayyidah Nuriyah Editor Mohammad Nurfatoni