PWMU.CO – Pendidikan berkemajuan itu mestinya menerapkan dua teologi. Yaitu teologi al-Maun dan al-Ashr yang diajarkan oleh KH Ahmad Dahlan.
Hal itu disampaikan oleh Sekretaris Pimpinan Daerah Muhammadiyah Gresik Sarwo Edy saat acara pembinaan guru dan buka puasa bersama yang diikuti pengurus, guru dan karyawan Perguruan Muhammadiyah Banyutengah Panceng, Gresik, Ahad (2/5/21).
Dia menjelaskan, teologi al-Maun harus diterapkan oleh lembaga pendidikan berkemajuan. Hal ini sebagaimana yang dilakukan oleh KH Ahmad Dahlan ketika pertama kali mendirikan lembaga pendidikan berupa Madrasah Diniyah al-Islamiyah pada tahun 1911.
”Teologi Al Maun berarti mengedepankan menolong masyarakat tidak mampu. Mereka yang terbelakang, tidak mempunyai biaya untuk membayar operasional pendidikan,” ujar Sarwo Edy yang pernah menjabat Rektor Universitas Muhammadiyah Gresik.
Jadi, sambung dia, inti dari teologi al-Maun adalah menolong dan membantu kaum miskin. Mereka yang berkekurangan menjadi lahan garap dan target bagi lembaga pendidikan berkemajuan.
Kedua adalah teologi al-Ashr. Lembaga pendidikan yang berkemajuan syaratnya menerapkan teologi al-Ashr. Lembaga ini harus menekankan pada pentingnya waktu yang terus bergerak. Seiring bergeraknya waktu, maka perubahan mesti dilakukan.
”Lembaga pendidikan yang berkemajuan, sebagaimana teologi al-Ashr harus terus melakukan inovasi dan kreasi dalam menawarkan program bagi pelanggannya yaitu siswa dan orangtua guna memenuhi tuntutan dan tantangan perkembangan zaman,” kata asesor Badan Akreditasi Nasional Ssekolah/Madrasah Jawa Timur.
Hardiknas
Dia juga mengkritisi dasar penetapan peringatan Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) tanggal 2 Mei yang merujuk tanggal lahir Ki Hadjar Dewantoro pendiri sekolah Taman Siswa.
Mestinya, kata dia, peringatan Hardiknas lebih tepat bila merujuk pendirian Madrasah Ibtidaiyah Diniyah Islamiyah oleh KH Ahmad Dahlan di kampung Kauman Yogyakarta pada 11 Desember 1911.
”Beberapa argumentasi yang bisa dimunculkan adalah gerak langkah Kiai Dahlan lebih awal dibanding Tawan Siswa. Di sisi lain, sekolah yang didirikan Kiai Dahlan tetap bertahan hingga sekarang bahkan jumlah dan persebaran sekolah Muhammadiyah sekarang lebih banyak dan meluas di seluruh Indonesia dibandingkan Taman Siswa,” ujarnya.
Persoalan ini, katanya, menjadi pekerjaan rumah dan perjuangan warga Muhammadiyah secara umum untuk mengubah pandangan dan pemahaman terkait waktu peringatan Hardiknas sesuai sejarah yang benar.
Pada acara itu, Sarwo Edy membagikan buku karyanya berjudul Mengelola Sekolah kepada beberapa peserta. Buku ini cocok untuk pengelola lembaga pendidikan. (*)
Penulis Anshori Editor Sugeng Purwanto