PWMU.CO – Din Syamsuddin: Tafhimul Quran, Bukan Sekadar Tahfidhul Quran, Din Syamsuddin membahasnya pada Silaturrahim Ramadhan 1442, bertema Mengantarkan Generasi Islam Sukses Dunia-Akhirat, Ahad (9/5/21) pagi.
Forum Komunikasi Kepala Sekolah Muhammadiyah (Foskam) SD-MI Jatim menggelar acara itu secara virtual melalui Zoom Clouds Meeting dan kanal Youtube SD Mugeb. Pesertanya, wali siswa kelas VI SD/MI Muhammadiyah se-Jawa Timur.
Pada sesi diskusi, Prof M Din Syamsuddin MA PhD memohon para pendidik untuk memperhatikan sekaligus menjadikan pendidikan menurut al-Quran sebagai dasar pendidikan di sekolah Muhammadiyah.
Memahami, Bukan Sekadar Membaca dan Menghafal
Prof Din merujuk pada dua surat tentang tujuan pengutusan Rasul pada umat manusia: al-Jumuah dan al-Baqarah. Din menerangkan, di surat al-Baqarah urutannya beda, tapi misinya sama.
Pada kesempatan ini, Din Syamsuddin membahas surat al-Jumuah ayat 2:
هُوَ الَّذِيْ بَعَثَ فِى الْاُمِّيّٖنَ رَسُوْلًا مِّنْهُمْ يَتْلُوْا عَلَيْهِمْ اٰيٰتِهٖ
Dari penggalan ayat itu, Din menunjukkan fungsi diutusnya Rasul kepada umat manusia. Pertama, membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah. Dalam konteks pendidikan, ‘mereka’ berarti peserta didik.
Jadi, lanjut Din, di lembaga pendidikan Muhammadiyah ini harus menekankan penyampaian ayat-ayat al-Quran (ayat qauliah) kepada peserta didik. “Jangan hanya bisa membaca, tapi juga memahami!” tutur Din.
Begitu pula untuk sekadar menghafalkan al-Quran. “Tahfihul Quran baik, tapi jangan habis waktu untuk menghafal dan menghafal,” imbaunya.
Din menceritakan, ada SDIT yang siswa kelas VI-nya harus hafal tiga juz terakhir: juz 30, 29, dan 28. Lantas dia menegaskan, “Tapi sekolah Muhammadiyah tidak menganut itu, karena untuk hafalan butuh waktu panjang. Perlu murajaah terus-menerus,” terangnya.
Sementara itu, tambahnya, di sekolah Muhammadiyah ada mata pelajaran-mata pelajaran lain yang perlu juga dibaca.
One Day One Verse
Din menceritakan program One Day One Verse (Satu Hari Satu Ayat) yang diterapkan di Pondok Modern Internasional Dea Malela. Di sana, siswa boleh meneruskan hafalan al-Qurannya, tapi melakukannya secara mandiri. Artinya, siswa tidak dibebani menghafal al-Quran. Din meluruskan, “Tafhimul Quran bukan tahfidhul Quran!”
Jadi sehari-harinya fokus memahami sebuah ayat. “Satu hari diajarkan satu ayat, setahun minimal 300 ayat,” ungkapnya.
Untuk peserta didik di sekolah dasar (SD), Din menyarankan agar menerapkan program ini secara tematis. “Pilih ayat-ayat yang cocok untuk anak-anak SD,” pesannya.
Kemudian, Din mengimbau agar mengajak peserta didik memahami ayat-ayat Allah di semesta ini. Caranya, pelajaran ilmu pengetahuan di SD harus diberi pemahaman bahwa ini hasil pemahaman terhadap ayat-ayat Allah di alam semesta.
Maka, menurutnya, harus ada pemaduan (integrasi) antara ilmu-ilmu agama dan ilmu umum.
Pendidikan Pencerdasan Jiwa
Din Syamsudn kemudian melanjutkan penggalan surat al-Jumuah ayat 2: وَيُزَكِّيْهِمْ. Artinya, pencerdasan sekaligus penyucian.
Jadi, Din menyarankan, harus ada sebuah pendidikan watak atau akhlak yang bersifat tazkiyatun nafs (penyucian jiwa)!”
Bagaimana penerapannya di sekolah-sekolah Muhammadiyah? “Bisa lewat mata pelajaran atau kokurikuler (kegiatan-kegiatan),” ucapnya.
Penggalan selanjutnya, وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتٰبَ . Din menerangkan, maksudnya, berdasarkan wahyu maupun ayat-ayat semesta.
Kemudian, وَالْحِكْمَة, sebuah pemahaman tentang makna, bukan hanya hikmah kebijaksanaan saja. “Jangan dikira anak-anak SD harus diajari hikmah,” ucap Din.
Inilah, lanjutnya, konten pendidikan yang disebut dalam al-Quran. “Tinggal dijabarkan struktur kurikulum nanti,” ungkap Din.
Tidak Ada Dikotomi dalam Pendidikan Islam
Dari dulu, ungkap Prof Din, diskusi membahas masalah pendidikan Islam ada dikotomi antara ilmu agama dan ilmu umum. “Tapi tidak pernah ada solusi,” komentarnya.
Dia lantas membeberkan bentuk pendidikan Islam yang integratif, di mana Dea Malela sudah menerapkannya.
Misal, saat menanamkan al-Akidah di siswa SMP kelas I, di pelajaran Bahasa, ajak siswa keluar melihat gunung, alam. Di kelas II SMP tidak ada lagi Bahasa Indonesia, Bahasa Arab untuk pelajaran agama dan Bahasa Inggris untuk pelajaran umum.
Di kelas III SMP, tambahnya, pelajarannya berubah menjadi Ilmu Tauhid. Untuk kelas II SMA, nama pelajaran berganti Ilmu Kalam. Di kelas III SMA, berganti menjadi Comparative Teologies.
Di SMP kelas I, ada pelajaran Ibadah dengan tujuan bisa praktek ibadah dengan penghayatan. Jadi peserta tidak lagi diajari berapa rukun shalat, tapi bagaimana anak bisa mengerjakan shalat dengan penghayatan.
Di SMP kelas III, pelajarannya berganti nama al-Fikh (fikih dalam bahasa Arab) dengan menggunakan buku Bulughul Maram.
Din lantas menegaskan, agar membangun kecerdasan spiritual peserta didik. (*)
Penulis Sayyidah Nuriyah Editor Mohammad Nurfatoni