Idul Fithri: Perayaan Sarapan Simbol Kemakmuran oleh Sugeng Purwanto, Ketua Lembaga Informasi dan Komunikasi PWM Jawa Timur.
PWMU.CO– Arti lugas Idul Fithri sebenarnya bermakna kembali sarapan. Id artinya kembali, Fithri sama dengan futhur artinya makanan atau sarapan.
Jadi pada 1 Syawal itu adalah perayaan sarapan kembali bagi para shoimin di seluruh dunia setelah selama Ramadhan dilarang makan pagi.
Hari itu semua kaum muslimin keluar rumah menuju lapangan dengan kemeriahan gema takbir, tahmid, tahlil. Rasulullahpun menganjurkan sarapan dulu sebelum berangkat shalat Id, memakai baju yang bagus, dan parfum.
Secara psikologis, orang yang selama sebulan dilarang makan pagi dan siang pasti menunggu-nunggu momen halalnya sarapan ini. Ada kerinduan makan pagi bersama. Kerinduan yang selalu dibayangkan selama bulan puasa.
Begitu hari itu datang maka sudah sepatutnya disambut dengan suka cita. Membuat masakan istimewa. Menyajikan camilan, kue, dan minuman aneka macam untuk hari sarapan pertama.
Begitu pentingnya momen sarapan ini sehingga Rasulullah mengeluarkan keputusan penting tentang zakat fithri, yaitu zakat makanan. Tujuannya untuk menjamin ketersediaan pangan untuk sarapan orang miskin.
Zakat ini mengatur agar orang kaya yang punya kelebihan makanan menyerahkan sebagian ke negara untuk didistribusikan kepada rakyat miskin. Dengan demikian orang-orang miskin juga dapat bersama-sama bergembira di perayaan sarapan.
Kaum muslimin saling berkunjung ke rumah saudara dan tetangga. Bersilaturahim dan menikmati cita rasa sarapan yang disajikan. Hari itu menjadi luar biasa. Semua orang seperti terbuka hatinya, besar keikhlasannya, dan luas rasa sosialnya membagikan infak.
Suasana gembira, bahagia, aman, tercukupi, damai, sejahtera, saling memberi, dan khusyuk melingkupi atmosfir semua orang pada perayaan sarapan.
Inilah esensi Idul Fithri. Gambaran kecil tentang kemakmuran umat di penjuru negeri. Cukup pangan, cukup sandang, cukup papan.
Kalau Anda bertanya kapan kemakmuran terwujud? Jawabannya ya saat Idul Fithri itu.
Mempertahankan Kemakmuran
Kemakmuran Idul Fithri terwujud bukanlah janji politikus seperti disampaikan waktu kampanye. Tapi itu praksis ajaran Islam. Karena itu sangat mengherankan kalau banyak pemimpin negeri tak mampu mewujudkan padahal momennya terjadi tiap tahun.
Syarat pertama mewujudkan kemakmuran adalah kemampuan mengendalikan diri para penguasa. Kekuasaan itu korup sudah terbukti dalam praktiknya. Orang alim, jujur, pintar ketika memegang kekuasaan punya peluang tergoda untuk korup. Contohnya bisa dicari datanya di KPK.
Selama Ramadhan kita sudah mampu mengendalikan keinginan makan dan minum. Jangankan yang haram, makanan halal pun mampu disingkirkan saat berpuasa. Ramadhan melatih diri untuk selektif memisahkan barang yang boleh dimakan dan dilarang.
Puasa Ramadhan juga melatih membatasi diri waktu makan. Ramadhan mengajarkan kepada semua orang untuk ingat dan dekat dengan Tuhan. Orang yang dekat Tuhan pasti tidak korupsi. Koruptor adalah orang yang melupakan Tuhan meskipun tiap hari sembahyang.
Berkah Makanan
Saat makan kita membaca doa Allahumma baariklana fii ma razaqtana waqiina adzabanaar. Kita meminta berkah Allah untuk makanan yang kita makan. Dengan makanan berkah itu kita meminta diberi rezeki. Makanan dan rezeki berkah itu menjauhkan kita dari siksa neraka.
Jadi ada korelasi positif antara makanan dengan siksaan. Makanan yang berkah menjauhkan kita dari siksaan Allah. Karena itu harus selektif memakan. Makanlah yang berkah dan halal. Ketika kita sudah dihalalkan sarapan lagi, maka jangan rakus makan apa saja seperti semen, aspal, gedung, besi cor, dan sejenisnya. Nanti Anda pasti tersiksa jadi tahanan KPK.
Syarat kedua kemakmuran adalah mengumpulkan dan mendistribusikan pajak dan zakat dengan jujur dan adil. Para ahli sudah berhitung potensi pajak dan zakat penduduk Indonesia sangat besar. Sangat mungkin untuk memakmurkan rakyat miskin di negeri ini.
Apalagi ditambah hasil penjualan kekayaan alam. Tapi faktanya hingga kini kemakmuran di negeri ini masih jauh dari harapan. Kemakmuran baru dinikmati oleh sekelompok orang yang dekat dengan akses kekuasaan. Sila kelima Pancasila, Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, hanya jadi pajangan.
Aneh memang perilaku pejabat di negeri ini. KPK sudah menangkap puluhan koruptor tapi itu tidak membuatnya takut. Sebab mereka beranggapan tertangkap KPK itu hanya apes saja.
Mungkin perlu membasmi satu generasi pejabat korup di zaman ini agar negeri ini benar-benar dapat bersih. Setelah itu menata pejabat generasi baru yang jujur. (*)