PWMU.CO – Keutamaan dan Cara Puasa 6 Hari Syawal, ditulis Irfan Syuhudi, Anggota Majelis Tabligh PCIM Arab Saudi.
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّال كانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ
“Barang siapa yang berpuasa RamAdhan kemudian mengikutkannya dengan puasa enam hari di bulan Syawal maka seperti puasa sepanjang masa.” (HR Muslim)
Cara Berpuasa 6 Hari di Bulan Syawal
Agar keutamaan puasa enam hari di bulan Syawal bisa diraih maka ada dua hal yang hendaknya diketahui.
Pertama, hendaknya puasa enam hari ini dikerjakan setelah selesai mengerjakan puasa Ramadhan.
Maka jika ada utang puasa di bulan Ramadhan hendaknya di-qadha terlebih dahulu. Jadi, tidak disyariatkan puasa enam hari di bulan Syawal sebelum mengqadha utang puasa Ramadhannya.
Hal ini karena dalam lafal hadits Nabi mengatakan
“Barangsiapa yang berpuasa Ramadhan kemudian mengikutkannya dengan puasa enam hari di bulan Syawal maka seperti puasa sepanjang masa.”
Dan kalimat (ثُمَّ) yang atrinya ‘kemudian’ menunjukan akan adanya tertib urutan. Jadi puasa enam hari di bulan Syawal tidaklah dikerjakan kecuali setelah selesai mengerjakan puasa bulan Ramadhan. (Majmu’ Fatawa wa Rosaail Syaikh Muhammad bin Sholeh al-‘Utsaimin 20/18)
Bahkan sebagian ulama memandang jika seseorang berbuka puasa di bulan Ramadhan tanpa udzur maka tidak disyariatkan baginya untuk berpuasa enam hari di bulan Syawal.
Ar-Romli berkata, “Banyak ulama yang berpendapat bahwa barangsiapa yang tidak berpuasa (penuh) di bulan Ramadhan karena ada udzur atau karena safar, atau karena masih kecil (belum baligh) atau karena gila atau karena kafir, maka tidak disunnahkan baginya untuk berpuasa enam hari di bulan Syawal.”
Abu Zur’ah berkata, “Namun yang benar tidaklah demikian. Bahkan ia tetap mendapatkan asal pahala puasa enam hari–meskipun tidak mendapatkan seperti pahala yang disebutkan di hadits karena pahala tersebut diperoleh jika telah berpuasa Ramadhan secara penuh. Dan jika ia berbuka puasa di bulan Ramadhan karena melanggar (tanpa udzur) maka haram baginya untuk puasa enam hari di bulan Syaawal.” (Nihaayatul Muhtaaj 3/208)
Kedua, tidak mengapa dikerjakan secara berurutan atau terpisah-pisah.
Ibnu Qudamah berkata, “Tidak ada bedanya antara dikerjakannya puasa enam hari ini secara berurutan atau secara terpisah-pisah, baik di awal bulan Syaawwal ataukah di akhir bulan, karena hadits datang secara mutlaq” (Al-Mughni 4/440)
Meskipun sebagian ulama memandang lebih utama dikerjakan puasa enam hari tersebut secara berurutan dan langsung segera setelah ‘Idul Fitri karena hal ini merupakan bentuk kesegeraan dalam beramal shaleh dan juga jika diakhirkan akan dikawatirkan timbulnya halangan-halangan (Haasyiyah I’aantut Tholibiin 2/268, Mughniil Muhtaaj 1/448, dan Majmu’ Fatawa wa Rosaail Syaikh Muhammad bin Sholeh al-‘Utsaimin 20/18).
Khilaf Ulama
Para ulama telah berselisih apakah orang yang melaksanakan puasa enam hari di selain bulan Syawal karena udzur atau karena hal yang lain juga akan mendapatkan keutamaan yang sama seperti jika dikerjakan di bulan Syawal?
Pendapat pertama: keutamaan puasa Syawal bisa diperoleh dengan berpuasa enam hari tersebut di bulan Syawal dan juga di bulan-bulan yang lainnya setelah Syawal, dan pahalanya tetap sama. Dan ini adalah madzhab Malikiah.
Adapun penyebutan bulan Syawal dalam hadits dibawakan pada makna. Pertama: hanya untuk meringankan dalam berpuasa.
Al-Qoroofi berkata, “Syari’at menentukan puasa enam hari dari bulan Syawwal untuk keringanan bagi mukallaf karena masih dekat dengan puasa (bulan Ramadhan). Namun tujuan tercapai meskipun puasanya di selain bulan Syawwal” (Adz-Dzakhiiroh 3/530)
Berkata Mahmud ‘Ulaisy, “Pengkhususan enam hari dari bulan Syawal hanyalah untuk meringankan dan memudahkan karena ringannya seseorang berpuasa di bulan Syawal karena sudah kebiasaan berpuasa di bulan Ramadhan.” (Minahul Jalil Syarh Mukhtasor Sayyid Kholil 2/121)
Kedua: penyebutan Syawal hanya sebagai contoh saja, karena maksudnya adalah puasa enam hari seperti puasa dua bulan, kapan saja enam hari tersebut dilakukan.
Ibnul ‘Arabi berkata, “Meskipun seandainya puasa enam hari dikerjakan di selain bulan Syawal maka hukumnya sama. Nabi menyebutkan bulan Syawal bukan untuk penentuan waktu… akan tetapi hanya sebagai contoh saja” (Ahkaamul Qur’an 2/321)
Pendapat kedua: Barangsiapa yang berudzur sehingga tidak mampu untuk mengerjakan puasa enam hari di bulan Syawwal maka boleh baginya untuk meng-qadhanya di bulan Dzulqadah, akan tetapi pahalanya lebih sedikit. Ini merupakan pendapat sebagian ulama Syafi’iyyah.
Ad-Dimyaathi berkata, “Sabda Nabi: ‘Seperti puasa sepanjang tahun’, maksudnya adalah seperti pahala puasa wajib sepanjang tahun. Kalau maksudnya bukan demikian maka tidak ada keistimewaan puasa enam hari di bulan Syawal, karena barangsiapa setelah berpuasa Ramadhan lalu berpuasa enam hari di selain bulan Syawal maka dia tetap akan mendapatkan ganjaran puasa sepanjang tahun, karena setiap kebaikan dibalas sepuluh kali lipatnya.
Intinya, barangsiapa yang setiap tahun berpuasa enam hari di bulan Syawwal beserta puasa bulan Ramadhan maka dia seperti berpuasa wajib sepanjang masa. Dan barang siapa yang berpuasa enam hari di selain bulan Syawal maka seperti puasa sunnah sepanjang masa.” (Haasyiyah I’aanatut Thoolibiin 2/268)
Pendapat ketiga: Tidak diperoleh pahala puasa setahun kecuali bagi orang yang berpuasa enam hari di bulan Syawal. Ini adalah madzhab Hanabilah.
Berkata Al-Bahuuti, “Dan tidak diperoleh fadhilah (keutamaan) puasa enam hari tersebut jika dikerjakan di selain bulan Syawal karena dzahirnya hadits-hadits.” (Kasyful Qinaa’ 2/159)
Kesimpulan: para ulama berbeda pendapat tentang apakah diperbolehkan melaksanakan puasa enam hari di selain bulan Syawal dengan tetap mendapatkan keutamaannya?
Namun barangsiapa yang hanya bisa puasa tiga hari—misalnya—di bulan Syawal dan sisanya dia qadha di bulan Dzulqadah, atau sama sekali tidak bisa mengejakan keenam harinya kecuali di bulan Dzulqa’dah karena ada udzur, maka diharapkan ia juga mendapatkan pahala dan keutamaan puasa selama setahun penuh.
Syaikh Al-‘Utsaimin berkata, “Kita katakan kepada orang yang wajib meng-qadha puasa bulan Ramadhan, ‘Qadha’lah puasa Ramadhanmu terlebih dahulu lalu kemudian berpuasalah enam hari di bulan Syawal.'”
Jika bulan Syawal telah berakhir sebelum selesai berpuasa enam hari, maka ia tidak mendapatkan keutamaan puasa Syawal kecuali jika dikarenakan adanya udzur sehingga ia mengakhirkan pelaksanaan puasa Syawal di luar bulan Syawal.” (Majmu’ Fatawa wa Rosaail Syaikh Muhammad bin Sholeh al-‘Utsaimin 20/18)
Peringatan 1
Sebagian orang memandang bahwa puasa enam hari di bulan Syawal adalah bid’ah. Mereka berdalil dengan perkataan Imam Malik dalam kitab Al-Muwaththo (1/311) tentang puasa enam hari setelah Idul Fitri:
“Aku tidak melihat seorangpun dari kalangan ahli ilmu dan ahli fikih yang berpuasa enam hari tersebut. Dan tidak sampai hal ini kepadaku dari seorang pun dari kalangan salaf, dan sesungguhnya ahlul ilmi membenci hal ini, mereka kawatir hal ini merupakan bid’ah dan mereka khawatir orang-orang yang jahil akan mengikutkan puasa yang bukan bagian dari puasa Ramadhan kepada puasa Ramadhan.”
Para ulama mengomentari perkataan Imam Malik ini untuk menjawab maksud dari perkataan Imam Malik ini.
Di antara komentar mereka adalah:
Pertama: Bisa jadi hadits tentang puasa enam hari di bulan Syawal ini tidak sampai kepada Imam Malik. Ibnu Abdil Barr berkata, “Mungkin saja Imam Malik tidak mengetahui hadits ini. Kalau seandainya ia mengetahui hadits ini tentu dia akan memandang disyari’atkannya puasa enam hari di bulan Syawwal” ( Al-Istidzkaar 3/380).
Kemungkinan inilah yang dikuatkan oleh As-Syinqithi dalam Adhwaaul Bayaan (7/363) karena hal ini merupakan dzohir dari perkataan Imam Malik “Dan tidak sampai hal ini kepadaku dari seorangpun dari kalangan salaf.”
Kedua: maksud dari Imam Malik bukanlah membid’ahkan puasa enam hari di bulan Syawal, akan tetapi beliau tetap memandang disyariatkannya puasa enam hari di bulan Syawal hanya saja beliau khawatir kalau dikerjakan puasa enam hari di bulan Syawal maka orang-orang yang bodoh akan menyangka bahwa puasa enam hari tersebut termasuk rangkaian dari puasa bulan Ramdhan (lihat Al-Istidzkaar 3/379)
Peringatan 2
Sebagian orang memahami bahwa hadits ini menunjukkan akan disyariatkannya puasa setiap hari selama setahun penuh (365 hari), karena Rasulullah menyamakan orang yang berpuasa selama bulan Ramadhan dan ditambah enam hari di bulan syawwal sama pahalanya seperti puasa selama setahun penuh.
Hal ini tidaklah tepat dari beberapa sisi:
Pertama: hal ini tidaklah merupakan kelaziman, perumpamaan dengan sesuatu perkara yang dipermisalkan tidak melazimkan bolehnya perkara tersebut. (Fathul Baari 4/223).
Sebagai contoh dalam suatu Hadits Nabi bersabda,
مَنْ صَلَّى مَعَ الإِمَامِ حَتَّى يَنْصَرِفَ كُتِبَ لَهُ قيام الليلة
“Barangsiapa yang shalat (Tarawih atau Qiyamul Lail) bersama imam sampai sang imam selesai maka akan dicatat baginya pahala shalat semalam suntuk”.
Hadits ini tidaklah menunjukan akan bolehnya shalat semalam suntuk dari bakda Isyaa’ langsung hingga Subuh setiap hari tanpa tidur, karena Nabi telah menegur seorang sahabat yang berkata, “Aku akan shalat malam terus dan tidak tidur,” dengan perkataan beliau shllallahu alaihi wa salaam”, “Adapun aku maka aku shalat malam dan aku tidur… dan barangsiapa yang benci dengan sunnahku maka bukan dari golonganku”
Kedua: puasa dahr (setahun penuh tanpa berbuka) menyelisihi petunjuk Nabi. Nabi pernah menegur seseorang yang berkata, “Aku akan berpuasa terus tanpa berbuka” dengan perkataan beliau –shallallahu ‘alaihi wa sallam-, “Aku puasa dan aku berbuka… dan barangsiapa yang benci dengan sunnahku maka bukan dari golonganku.”
Ketiga: Nabi bersabda kepada Abdullah bin ‘Amr:
صُم يوماً وأفطر يوماً، فذلك صيام داود عليه السلام، وهو أفضل الصيام
“Puasalah sehari dan berbukalah sehari, itulah puasa Nabi Dawud alaihis salam dan ini adalah puasa yang paling afdhal.”
Hadits ini menunjukan bahwa puasa Dawud adalah yang paling utama bukan puasa dahr. Kalau puasa dahr disyariatkan tentunya puasa dahrlah yang lebih afdhal.
Keempat: Sabda Nabi yang tegas, لاَ صَامَ مَنْ صَامَ الأَبَدَ “Tidaklah berpuasa orang yang puasa selama-lamanya.”
Kelima: puasa dahr bertentangan dengan agama Islam yang memperhatikan keseimbangan dan perhatian terhadap hak tubuh dan hak keluarga> Sebagaimana perkataan Salman kepada Abu Ad-Dardaa’ dan perkataannya ini dibenarkan oleh Nabi shallallahu ‘alihi wa sallam.
إِنَّ لِرَبِّكَ عَلَيْكَ حقَّا، وَلِنَفْسِكَ عَلَيْكَ حقًّا، وَلأهْلِكَ عَلَيْكَ حقاً، فَأَعْطِ كُلَّ ذِي حَقٍّ حَقَّهُ
Sesungguhnya Rabmu memliki hak yang harus engkau tunaikan, demikian juga dirimu punya hak, keluargamu juga punya hak, maka berikanlah kepada setiap yang memiliki hak haknya. (Minhatul ‘Allaam syarh Bulugul Maram 1/91) (*)
Editor Mohammad Nurfatoni