Aku Bela Palestina oleh Nurbani Yusuf, pengasuh Komunitas Padhang Makhsyar Kota Batu.
PWMU.CO– Tidak penting apa pun agama atau sukumu. Kalau kamu bisa melakukan sesuatu yang baik buat semua orang, orang tidak pernah tanya apa agamamu. (Abdurahman Wahid)
Jika agama tak cukup menjadi penggerakmu atau bahkan menjadi penghalangmu, maka camkan pesan Gus Dur itu. Tak harus bertanya apa agamamu atau apa suku dan rasmu. Menjadilah manusia dan tanyakan pada nuranimu. Kenapa aku bela Palestina.
Ini tentang jerit bayi yang kehilangan tetek ibunya. Orangtua yang kehilangan buah hatinya. Tentang istri yang terpisah jarak, tentang moncong bedil mengarah di jidat. Tentang angkara yang menggelora. Tentang nafsu kuasa yang tak pernah kenyang. Dan kawanan yang ketagihan bau anyir darah di bumi Palestina.
Ini tragedi kemanusian ketika peradaban dijunjung tinggi. Mengeringnya etika dan adab ketika ilmu di puncak kejayaan. Bencana kelaparan dan kemiskinan ketika harta dan kekayaan berlimpah ruah. Pada kemunafikan dan keculasan ketika ayat-ayat dalam al kitab ramai dihafal dan dibincangkan. Tentang manusia jahat berlindung atas nama agama.
Bagi orang Israel: Arab itu barbar. Teroris yang hobi membunuh. Bukan teman yang baik. Sebab itu mereka harus dilenyapkan. Harus ditiadakan dari peta bumi.
Pun bagi orang Arab: Yahudi itu kumis kudisan yang tak tahu balas budi. Rakus. Serakah dan tukang serobot. Bagi keduanya tak ada kebaikan sama sekali kecuali kebencian dan permusuhan.
Kebetulan pula keduanya beragama Yahudi dan Islam. Dua agama yang kerap musuhan karena perbedaan teologis yang runcing meski keduanya turunan saudara sekandung satu bapak lain ibu.
Jadi apa akar masalahnya? Kenapa agama tak cukup bisa mendamaikan. Apakah agama, suku, atau aliran yang membuat kita bermusuhan?
Aku bela Palestina. Bukan Israel atau Yahudi atau Amerika dan sekutunya yang kulawan. Bukan Nabi Israel dan keturunannya yang jadi musuhku. Tapi kezaliman, keserakahan kemunafikan dan keculasan itulah musuh kemanusian universal. Dan aku melawan kezaliman siapapun itu. (*)
Editor Sugeng Purwanto