PWMU.CO – ‘Pancasilanya’ Amerika dalam Konflik Timur Tengah diulas pada Pengajian Nasional Gerakan Solidaritas Palestina dan Politik Timur Tengah bertema Gerakan Solidaritas Palestina dan Politik Timur Tengah, Jumat (21/5/2021) malam.
Dalam kegiatan virtual yang Lazismu Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah selenggarakan itulah Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh (LBBP) Hajriyanto Yasin Thohari mengupas sejarah panjangnya.
Hajriyanto menyatakan, sejak Israel berdiri tahun 1948, di tanah Palestina, memang sulit terlepas dari kolonialisme Inggris. Inggris menjajah Palestina dan dunia Arab karena menang perang dunia pertama.
Dia menguraikan, pemenang perang dunia pertama itu negara-negara Eropa: Inggris, Perancis, Italia, dan Spanyol. Sedangkan yang kalah, salah satunya adalah Turki Usmani (Ottoman).
Amerika Sahabat Arab, Dulu
Hajri menceritakan, saat negara-negara Arab dijajah oleh Inggris, Perancis dan lain sebagainya dulu, Amerika tidak menjajah. Bahkan, Amerika menjadi sahabat negara Arab.
Amerika, lanjutnya, mengirim guru, obat-obatan, ahli-ahli minyak, dan misionari untuk menyebarkan agama. Tapi saat itu mereka tidak banyak berhasil mengonversi agama penduduk Arab dari agama Islam maupun Yahudi ke agama Nasrani.
Amerika, tambahnya, juga mendukung kemerdekaan negara-negara Arab: merdeka dari kolonialisme Barat. “Setidaknya, doktrin menentukan nasib sendiri, kemudian Amerika menjadi sahabatnya,” ujar Wakil Ketua MPR RI periode 2009-2014 itu.
Amerika Dukung Israel
Hajri menyatakan, Arab terkejut sekali ketika tahun 1948 Amerika malah mendukung Israel. Jadi 4 jam setelah deklarasi berdirinya Israel, Harry S Truman—presiden Amerika Serikat waktu itu—mengakui kemerdekaan Israel yang dideklarasikan di atas tanah Palestina.
Sejak saat itu, imbuhnya, Amerika semakin terlibat dalam. Hubungannya semakin erat dengan Israel. Sehingga, semakin besar pula pengaruhnya, meskipun secara berangsur-angsur, tidak langsung.
Setelah 1948, Hajri menerangkan dunia terbelah menjadi dua poros. Poros Amerika semakin kuat karena menang Perang Dunia kedua. Setelah itu, beralih ke perang dingin, di mana hubungan Amerika dan Israel semakin erat.
Israel Andalan Amerika di Timur Tengah
Hajri lanjut bercerita poros kedua. Pada waktu itu masih ada poros Soviet di mana beberapa negara Arab yang besar itu bergabung ke sana. Bergabungnya negara-negara Arab ini karena jengkel, “Amerika kok bergabung dengan Israel?”
Lantas, untuk menggambarkan kejadian ini, Hajri mengambil istilah, ‘temannya musuhku adalah musuhku’.
Di samping itu, hubungan Amerika semakin erat dengan Israel, karena Israel menjadi andalannya. Sebab, Hajri mengungkap, perimbangan kekuasaan di Timur Tengah yang menjadi ujung tombak Amerika adalah Israel.
Hajri pun memaparkan buktinya, “Senjata-senjata Amerika semua dipinjam Israel. Bahkan banyak jenis senjata dan pesawat tempur yang hanya dua negara penggunanya: Amerika dan Israel!”
Dia lanjut bercerita, Soviet runtuh pasca Perang Dingin. Akibatnya, negara-negara Arab tidak lagi punya jagoan. Tidak ada poros Timur. Akhirnya, negara-negara Arab mulai banyak juga yang mendekat ke Amerika. Apalagi, saat itu era adidaya tunggal: super power dunia hanya Amerika saja.
Tahun 2011, terjadi peristiwa nine-eleven (9/11 ‘September’). Sejak saat itu, Amerika di bawah pimpinan presiden Bush menyatakan war agaknya terorism atau perang melawan terorisme.
Dampaknya, ungkap Hajri, Negara-negara Arab banyak yang dikaitkan dengan terorisme. Seperti Sudan, yang baru melakukan normalisasi dengan Israel dicabut sebagai negara teroris. Israel lagi-lagi jadi andalan.
Amerika Wujudkan Mimpi Israel
Tahun 2016, Israel mengatakan, bermimpi, Yerusalem harus menjadi miliknya. Yang terjadi kemudian, tahun 2017, Amerika memberi apa yang menjadi mimpi Israel. Amerika memberi pengakuan Yerusalem menjadi ibukota Israel.
“Yang mimpi Israel, yang menyerahkan Amerika,” ujar Hajri.
Bahkan, tambahnya, Amerika memindahkan Kedutaan Besarnya dari Tel Aviv ke Yerusalem. Akibatnya, setelah si adidaya tunggal memindahkan itu, maka lainnya—terutama aliansi-aliansinya— mengikuti. “Takut kalau tidak memindahkan,” komentarnya.
Begitu pula yang dilakukan negara Muslim di Eropa, Kosovo, ikut memindahkan ibu kotanya pada tahun 2017. Kemudian pada tahun 2020, Amerika menabrak keputusan Liga Bangsa-Bangsa (LBB) yang menyatakan Yerusalem kota internasional. Padahal Dewan Keamanan PBB tahun 1967, menyatakan status Yerusalem masih dirundingkan dulu.
“Tapi Amerika menyerahkannya. Adidaya tunggal! Yang berkuasa di dunia menyerahkan itu!” komentar dia.
Pada tahun 2020 bulan Januari, Amerika menelurkan proposal perdamaian bernama Peace to Prosperity (P to P). Di bagian II, ada satu setengah halaman; di bagian V ada enam halaman, di dokumen setebal 181 halaman itu mengukuhkan, undivided Yerusalem. Yerusalem punya Israel dan tidak akan terbagi.
Pada Agustus 2020, menindaklanjuti P to P—media menyebutnya Deal of Century atau ‘Kesepakatan Abad Ini’—maka Abraham Accord ditandatangani di Gedung Putih. Artinya, Emirat Arab mulai normalisasi, berdamai dengan Israel. Kemudian Maroko, Sudan, Mesir, dan Yordania mengikuti.
Tahun 2021, Amerika ganti presiden. Orang berharap presiden baru menjadi antitesis presiden lama, tapi ternyata sama saja.
Kemerdekaan Palestina di Pundak Amerika
Alhasil, kalau kita ingin Palestina merdeka saat ini, sebenarnya tergantung pada kemauannya, puncaknya, Amerika. Tapi Amerika tidak adil, malah berpihak terus kepada Israel.
Inilah, menurut Hajri yang perlu diteliti. Ada apa sebetulnya, kok Amerika seperti sudah jadi kebudayaan dan opininya.
“(Amerika) ini canggih ya dalam membangun opini, bukan hanya presiden, rakyatnya juga begitu sebetulnya,” ungkapnya.
Hajri menganggap ini sebuah keanehan atau kelucuan. Maka, perubahan sikap rakyat Amerika menjadi perhatian dunia. Bahkan, akhir-akhir ini ada demo. “Ini sebuah perkembangan baru,” komentarnya.
“Pancasilanya” Amerika Terlibat di Timur Tengah
Akhirnya, Hajri memaparkan hasil risetnya pada beberapa jurnal terkait kebijakan Amerika di Timur Tengah. Ada lima motif, landasan berpijaknya, Amerika terlibat di Timur Tengah, di dunia Arab.
Pertama, soal minyak. Amerika tidak ingin aksesnya terhadap minyak terganggu. Kalau tidak ada minyak, Amerika lumpuh. Amerika sangat tergantung pada minyak.
“(Orang datang) ke supermarket karena minyak, menuju ke sana naik mobil pakai minyak, orang naik pesawat terbang ya pakai minyak,” urainya.
Kedua, dukungan dan proteksi pada Israel. “Amerika itu yang mendukung dan memproteksi Israel,” ungkapnya.
Ketiga, Amerika ingin mengamankan basis kekuatan militernya di Timur Tengah. “Jangan ganggu-ganggu, saya punya camp militer di banyak negara Arab,” ujarnya memperjelas.
Keempat, mempertahankan penguasa-penguasa yang berkuasa di negara Arab yang menjadi aliansi setianya. Amerika bukan hanya aliansi utama Israel, tapi juga beberapa negara Arab.
Kelima, setelah peristiwa nine-eleven, membendung radikalisme dan terorisme Islam.
“Inilah, laksana “Pancasilanya” politik luar negeri Amerika Serikat di Timur Tengah. Sila utamanya ya melindungi Israel!” ungkapnya.
Sila melindungi Israel itu, lanjutnya, yang memimpin sila-sila lainnya. Menurut Hajri, dalam konteks inilah terjadinya “perang” gencatan senjata saat ini.
Setiap 5 Tahun, Israel “Latihan Perang”
Kalau diperhatikan, menurut Hajri, fenomena ini seperti hal yang runtut terjadi setiap 4-5 tahun sekali. “Nggak tau, mungkin setiap lima tahun sekali, lebih-kurang sedikit, selalu terjadi itu. Mungkin latihan perang tentara Israel,” komentarnya.
Latihan menyerang orang supaya tetap siap, sindirnya. Mungkin juga untuk mencoba senjata-senjatanya. “Semau-maunya, orang sedang menang,” ucapnya.
Mungkin juga untuk memutar lagi pembangunan tepi Barat, khususnya Gaza, sehingga setback sepuluh tahun ke belakang. “Kalau Anda ke Gaza, lumayan pembangunan-pembangunan itu,” ungkapnya Hajri.
Pembangunan infrastruktur orang-orang Palestina meski tertekan seperti itu, tidak punya tentara, justru mungkin anggarannya bisa buat membangun lain-lain. “Lumayan kemajuannya! Kalau Saudara datang 10 tahun yang lalu dengan sekarang itu beda banget,” ujarnya takjub.
Dengan perang seperti kemarin, Hajri mengungkap di Gaza mundur lagi seperti sepuluh tahun sebelumnya. “Nangis deh pokoknya kalau melihat itu!” kata Hajri. (*)
‘Pancasilanya’ Amerika dalam Konflik Timur Tengah; Penulis Sayyidah Nuriyah Editor Mohammad Nurfatoni