PWMU.CO – Pengalaman Ruhaini Dzuhayatin, saat itu staf Khusus Kepresidenan Republik Indonesia Bidang Keagamaan Internasional, ketika berkunjung ke Ramallah, Palestina. Menurutnya, itu merupakan sesuatu yang miris dan mengharukan.
Hal itu dia ceritakan saat memberikan testimoni pada Aksi Virtual Solidaritas Palestina yang diselenggarakan oleh Pimpinan Pusat Nasyiatul Aisyiyah (PPNA), Jumat (28/5/2021)
“Di bulan Mei Tahun 2017 saya berhasil masuk ke Ramallah dengan begitu banyak rintangan,” tuturnya mengawali cerita.
Ruhaini mengatakan, pada waktu itu, dia mengirimkan surat ke Presiden Israel Reuven Rivlin dan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu sebagai Ketua Komisi Hak Asasi Manusia (HAM) di Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) untuk dapat mengunjungi Ramallah.
“Saya menulis surat itu di tahun 2014, namun kami baru mendapatkan izin untuk masuk ke Ramallah pada tahun 2017,” terang wanita yang kini menjabat Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden
Pengalaman Ruhaini mendapatkan kesempatan untuk datang ke Ramallah, Palestina itu, baginya tentu merupakan satu kesempatan yang luar biasa.
“Jadi, sampai kira-kira satu minggu saya tidak bisa tidur,” akunya sambil tersenyum.
Tentu saja mendapatkan kesempatan itu baginya sangat istimewa, karena melihat sangat banyak sebetulnya surat masuk ke Pemerintah Israel yang ditolak.
“Termasuk waktu itu yang tidak bisa masuk ke Israel adalah rombongan Ibu Menteri Luar Negeri kita (Retno Marsudi). Padahal saat itu, ibu menteri sudah di Yordania,” terang Ruhaini.
Saat berkunjung ke Ramallah, Perempuan kelahiran Blora 17 Mei 1963 itu menceritakan, dia bersama rombongan masuk dari Yordania melalui Yerikho.
“Satu hal sebetulnya, sejak mulai dari check point (pengecekan) itulah, saya merasa, saya sebetulnya masuk dalam penjara,” kata Ruhaini.
Menurutnya, dengan check point yang luar biasa ketatnya dan diskriminatif itu, tidak semua anggota komisioner HAM OKI boleh masuk.
“Ada beberapa yang tidak boleh masuk. Jadi kami tidak semuanya boleh masuk ke Ramallah,” terang aktivis perempuan yang dibesarkan dari keluarga Muhammadiyah moderat ini.
Dubes Yordania Mewanti-wanti
Bahkan, pada saat mau berangkat, Ruhaini mengatakan, Duta Besar (Dubes) RI di Yordania Andy Rachmianto sudah mewanti-wanti jika terjadi apa-apa.
“Kami sudah bersiap-siap tetap di sini, di perbatasan itu, jika nanti ada apa-apa mohon segera hubungi kami, kami akan jemput Ibu,” kata Ruhaini menirukan ucapan Dubes RI di Yordania Andy Rachmianto.
Karena menurut Andy Rachmianto, biasanya sudah sampai check point, namun tidak bisa melanjutkan masuk ke Palestina dan masuk ke wilayah Israel.
“Itu merupakan satu hal yang secara mentalitas dan secara fisik sangat melelahkan. Kami harus menunggu selama empat jam, padahal kami adalah komisioner dari OKI yang masuk secara resmi,” kata Ruhaini.
Tersentak, Polisi Pukuli Dua Pemuda
Saat berhasil masuk ke Ramallah, dalam perjalanan kira-kira empat jam dari perbatasan, untuk pertama kali Ruhaini mengaku tersentak karena disuguhi pemandangan polisi yang sedang memukuli dua pemuda tanpa dia tahu apa alasannya.
“Jadi, itu satu hal yang juga sangat miris. Kemudian yang terlihat adalah kota-kota itu menjadi kota penjara. Di semua sisi banyak tembok dan pagar-pagar yang memilki aliran listrik,” kenangnya.
Kejadian yang sangat miris dan mengharukan itu sampai-sampai membuat Ruhaini beserta rombongan menangis pada waktu itu.
“Dan kami ketika masuk ke hotel juga harus membayar dengan mata uang Israel. Jadi kita ini benar-benar ada di negara Israel (bukan Palestina),” ungkapnya.
Saat bertemu dengan Presiden Palestina Mahmoud Abbas, Ruhaini juga mengaku diterima dalam satu pengawalan yang sangat ketat.
“(Beruntungnya) kami mendapatkan waktu sangat banyak, kira-kira satu jam bersama beliau untuk menceritakan beberapa aspek terkait Palestina,” katanya.
Dosen Hukum dan Gender di Fakultas Syariah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta itu menuturkan, misi sebenarnya kunjungan itu adalah untuk melihat aspek HAM yang terkait dengan pendudukan Israel.
“Terutama surat kami, sebenarnya dari HAM OKI kami tujukan untuk mempertanyakan dan meminta perhatian Pemerintah Israel terhadap para tahanan anak dan tahanan yang lain,” terangnya.
Selain itu, ada banyak aspek hak asasi yang lain, salah satunya adalah hak lingkungan hidup yang memadai untuk warga Plestina.
“Selain masalah penjajahan, juga masalah air, karena air menjadi salah satu alat intimidasi bagi saudara-saudara kita di Palestina terutama Gaza,” katanya. (*)
Penulis Nely Izzatul Editor Mohammad Nurfatoni