PWMU.CO – Indonesia Buka Hubungan Diplomatik dengan Israel? Cari Penyakit! Hajriyanto Yasin Thohari menyampaikannya pada Pengajian dan Syawalan Konsolidasi Organisasi Pimpinan Muhammadiyah/Aisyiyah se-Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Kamis (27/5/21) malam.
Sebelumnya, Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) DIY, H Untung Cahyono MHum, moderator, membacakan pertanyaan salah satu peserta di kolom komentar Zoom Clouds Meeting.
“Apakah Muhammadiyah bisa melakukan boikot produk pro-Israel di Indonesia? Misalnya asuransi AXA, komputer Hewlett Packard (HP), dan peralatan olahraga Puma,” demikian pertanyaan dari Fauzul Muhammad di kolom komentar.
Boikot Indonesia, Tidak Signifikan
Hajri menyatakan, jika dilihat dari presentase tidak terlalu berdampak signifikan. “Kecuali jika boikotnya kepada multinational coorperation tingkat dunia yang kita jadi konsumen itu,” komentarnya.
Dia berpendapat, mungkin karena secara ekonomi mereka didominasi oleh penguasa perekonomian dunia, sehingga tidak terlalu signifikan pengaruhnya.
Berbeda dengan di dalam negeri Palestina dan Israel, tambahnya. Seruan boikot itu cukup mengganggu. Di internet tampak gambaran perdebatan-perdebatan tindakan yang dilakukan jauh sebelum ‘peristiwa 11 hari’ kemarin.
Termasuk, saat rakyat Palestina banyak yang bekerja di wilayah Israel. Bahkan di Gaza, lanjutnya, ada pintu-pintu imigrasi untuk masuk ke Israel. Di sana, setiap hari penuh orang-orang Palestina yang menyeberang untuk bekerja.
“Memang dibuat secara sistematis sedemikian rupa sehingga bangsa Palestina yang nggak ada lapangan kerja, sulit pekerjaan, ini bekerja secara sistematik!” sambungnya.
Isu Ekonomi Arab
Hajri menyampaikan, salah satu isu mengapa negara-negara Arab itu membuka hubungan diplomatik dengan Israel adalah isu ekonomi. Mereka membangun hubungan diplomatik agar bisa bekerja sama di banyak perusahaan Amerika yang basisnya di Israel.
“Ekspor-impor akan naik, bahkan mencapai jutaan US dolar, bahkan kemarin (ketika) langsung dibuka, penerbangan Tel Aviv-Dubai terisi penuh!” ungkap dia.
Sebab, sebelum Arab Saudi memberi izin, penerbangan Israel harus memutar. Iming-iming ekonomi itu, menurut Hajri, menunjukkan Israel lebih superior secara perekonomian.
“Kelihatan di belakang Israel itu Amerika. Bankir dan bussinessman (pegawai bank dan pebisnis) Yahudi juga kuat di Amerika,” ujarnya.
Iming-iming Hubungan Diplomatik
Untuk boikot, lanjutnya, perlu diukur perkiraan dampak perekonomian kepada Israel. Mengingat, sekarang mereka membujuk Indonesia agar membuka hubungan diplomatik.
“Itu saja bisa kasih iming-iming ‘Kalau you mau ini, kita sama kok berpikir mau memerdekakan Palestina, nanti kita bicarakan bersama-sama’,” ungkap Hajri.
Belum lagi, tambahnya, ada keuntungan ekonomi, bantuan-bantuan, dan sebagainya. “Negara (Israel) itu berani melakukannya,” komentarnya.
Buka Hubungan Diplomatik dengan Israel, Cari Penyakit
Menurut Hajri, isu penyerta jika Indonesia membuka hubungan diplomatik dengan Israel itu begitu besar dan destruktif. “Ibaratnya mencari penyakit,” ujarnya.
Apalagi, melihat integrasi kebangsaan Indonesia juga masih belum kokoh. Kecurigaan antargolongan nasionalis—membuat negara sekuler—dan Islam—membuat negara Islam— juga masih sangat besar.
Maka, dia menyarankan agar menghindari kebijakan-kebijakan politik yang justru membuka peluang disintegrasi kebangsaan semakin buruk. “Lebih baik dihindari!” tuturnya.
Risiko Lebih Besar
Selain itu, keuntungan politik untuk mendamaikan belum tentu bisa diraih. Karena negara-negara lain di dunia juga tidak mungkin melakukan itu.
Dia menjelaskan, sejak tahun 2017, Amerika melakukan langkah-langkah unilateral, sendirian, sebagai adidaya dunia. Sementara negara-negara multilateral praktis tidak melakukan apa-apa.
Karena itu, Hajri menegaskan, pemikiran untuk melakukan hubungan diplomatik agar bisa membuka akses atau mendamaikan itu pikiran yang terlalu jauh.
“Risikonya lebih besar daripada hasil yang akan diperoleh. Belum lagi penyakit-penyakit dan fitnah-fitnah yang nanti muncul, yang bahkan merugikan kerukunan nasional kita sebagai bangsa,” ungkapnya.
Dia menyarankan, sekarang Indonesia tetap konsisten tidak membuka hubungan diplomatik sampai negara Palestina merdeka.
Memastikan Bantuan Masuk Palestina
Untung Cahyono lantas bertanya, bagaimana bantuan dari berbagai negara, termasuk Indonesia, ketika masuk ke Palestina harus melalui pintu orang-orang Israel.
Menurut Hajri, itu termasuk yang harus diselesaikan. Karena itulah Menteri Luar Negeri RI RetnoLestari Priansasi Marsudi di Dewan Keamanan PBB berpidato, “PBB harus bisa memastikan dibukanya akses bantuan ke masyarakat Palestina.”
Kalau PBB tidak bisa memaksa Israel untuk membuka akses bantuan, menurut Hajri bantuan itu tidak bisa dikirim. Mau dikirim lewat mana?
Apalagi, Hajri menceritakan, ada yang bertanya kenapa tidak membantu dengan mengirim senjata. “Nah, masuk lewat mana?” tanya dia lagi.
Dia menyimpulkan, suka tidak suka, jika PBB tidak bisa, maka Amerika yang meminta Israel untuk membuka pintunya. (*)
Penulis Sayyidah Nuriyah Editor Mohammad Nurfatoni