Rokok, Tuhan 9 Senti dan Hilangnya Adab, renungan di Hari tanpa Tembakau Sedunia 31 Mei 2021 oleh M. Anwar Djaelani, pegiat Islam tinggal di Sidoarjo.
PWMU.CO – Di antara masalah besar di negeri ini adalah rokok. Bahayanya dari berbagai sisi dan terutama di aspek kesehatan dan ekonomi, sungguh sangat besar. Dalam hal risiko, tak hanya diderita perokok aktif tapi juga yang pasif. Sejumlah aturan telah dibuat untuk menekan penggunaan rokok terutama di tempat-tempat umum. Tapi, tampak tak berhasil.
Tak Terbantahkan
Sekadar sekilas persoalan, cermati saja setidaknya tiga berita berikut ini. Pengeluaran Rokok Orang RI Lebih Besar daripada Beli Beras (kompas.com); BPS: Rokok Jadi Komoditi Peringkat Kedua dalam Konsumsi Rumah Tangga (liputan6.com) dan Riset Terbaru: Kerugian Ekonomi di Balik Konsumsi Rokok di Indonesia Hampir Rp 600 Triliun (theconversation.com).
Pada berita pertama di atas, disebutkan, Badan Pusat Statistik (BPS) merilis data pengeluaran konsumsi per kapita dalam sebulan penduduk Indonesia sepanjang tahun 2020. Menurut survei BPS, pengeluaran uang untuk membeli rokok dan produk tembakau lainnya lebih besar daripada belanja untuk beras. BPS mencatat, pengeluaran rokok dan tembakau sebesar 5,99 persen dari seluruh pengeluaran bulanan. Sementara untuk belanja beras yakni sebesar 5,45 persen.
Keadaan di atas lebih buruk jika dibandingkan laporan BPS sebelumnya, seperti yang terlihat pada berita kedua. Disebutkan, bahwa konsumsi rokok menempati peringkat kedua dalam konsumsi rumah tangga di Indonesia pada Maret 2020.
Lebih rinci, komoditi utama belanja rumah tangga di Indonesia adalah beras sebanyak 20,2 persen di kota dan 25,3 persen di desa. Sedang, rokok menempati peringkat kedua sebanyak 12,2 persen di kota dan 10,9 persen di desa.
Di peringkat ketiga ada telur ayam 4,3 persen di kota dan 3,7 persen di desa. Selanjutnya, daging ayam dengan angka 4,1 persen di kota dan 2,4 persen di desa.
Dari dua berita di atas, terasa sifat egois perokok. Mereka lebih mendahulukan kesenangannya yang bersifat sangat pribadi ketimbang kesejahteraan orang di sekelilingnya terutama keluarganya sendiri. Bahkan, tak hanya egois, perokok itu sangat merugikan masyarakat yang ikut menanggung dampak negarifnya.
Terkait masyarakat yang dirugikan, lihat hasil riset di berita ketiga di atas. Hasil riset itu, “Menunjukkan kerugian makro ekonomi akibat konsumsi rokok di Indonesia pada 2015 mencapai hampir Rp 600 triliun atau empat kali lipat lebih dari jumlah cukai rokok pada tahun yang sama. Kerugian ini meningkat 63 persen dibanding kerugian dua tahun sebelumnya.”
Catatan Usaha
Sejenak, kita lihat sebagian upaya penanggulangan bahaya rokok. “Ruang Gerak Rokok Kian Terbatas”, demikian berita di Jawa Pos 10 Januari 2013. Intinya, telah terbit Peraturan Pemerintah untuk melindungi masyarakat dengan cara semakin menekan agresivitas rokok. Kala itu, Prijo Sidipratomo—Ketua Umum Komisi Nasional Pengendalian Tembakau—berkata, “Akhirnya kita masuk menjadi negara yang mulai beradab karena sudah punya Peraturan Pemerintah yang mengatur tentang pengendalian rokok.”
Pada perkembangannya, sampai tulisan ini dibuat, sudahkah rokok terkendali? Tiga berita bertahun 2021, 2020, dan 2018 yang telah disampaikan di atas kiranya bisa membantu untuk menjawab pertanyaan itu.
Tinjauan Agama
Sebegitu sulitkah mengendalikan peredaran rokok? Benarkah ada atau tiadanya aktivitas merokok terkait dengan peradaban sebuah bangsa? Demikian kecamuk pikiran sebagian orang.
Jika kita seksamai, bagi pelakunya, aktivitas merokok adalah sesuatu yang tak bisa dihentikan oleh sebuah larangan. Jangankan sekadar larangan yang hanya berdasarkan norma kemasyarakatan saja, bahkan larangan yang beralaskan agama-pun mereka tak peduli.
Khusus bagi umat Islam, misalnya, keharaman merokok telah ditetapkan oleh Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia (DDII). Lewat keputusan bernomor 18/MF-DD/IV/1427/2006, DDII menetapkan fatwa bahwa “Merokok hukumnya haram” dan “Kepada para perokok agar berhenti merokok”.
Di antara dasar fatwa itu adalah an-Nisa’ 29: “Janganlah kamu membunuh dirimu sendiri” dan HR Ibnu Majah: “(Kita) tidak boleh menimbulkan bahaya dan juga tidak boleh membahayakan (orang lain).”
Tapi, lihatlah! Di masjid mereka merokok sekalipun jamaah lainnya terganggu kekhusyukan shalatnya atau kesyahduan dzikirnya. Di sejumlah acara, terutama setelah jamuan makan, mereka merokok tanpa memedulikan ekspresi tak suka dari hadirin lainnya. Di angkutan umum mereka merokok tanpa merasa bersalah saat penumpang lainnya terbatuk-batuk karenanya. Contoh-contoh semisal itu bisa sangat panjang.
Rokok sebagai Tuhan
Para perokok telah menuhankan rokok. Benarkah? Siapa Tuhan? Dr Muhammad ‘Imaduddin ‘Abdulrahim di buku Kuliah Tauhid mendefinisikan Tuhan sebagai segala sesuatu yang dianggap penting dan dipentingkan sehingga seseorang rela didominasi olehnya.
Bersandar kepada pendapat di atas, mereka yang merokok di masjid, di ruang publik, dan di angkutan umum pada contoh di atas adalah sebuah sikap yang bisa dibaca bahwa mereka telah menganggap penting dan mementingkan rokok serta rela didominasi oleh rokok.
Bagi mereka, karena rokok itu sesuatu yang penting dan dipentingkan maka tak masalah jika orang-orang di sekitarnya terganggu karenanya. Padahal, yang ada di sekitarnya itu bisa istrinya sendiri, anaknya sendiri, orangtuanya sendiri, sahabatnya sendiri, atau pihak lainnya.
Kesaksian Itu
Adalah kenyataan pahit, bahwa sulit menghentikan kebiasaan buruk merokok. Mari lihat Surabaya, misalnya. Mulai 22/10/2009, Perda Kota Surabaya No. 5 Tahun 2008 tentang Kawasan Tanpa Rokok (KTR) dan Kawasan Terbatas Merokok (KTM) diberlakukan. Para pelanggar akan dikenakan sanksi sesuai Peraturan Walikota Surabaya No. 25 Tahun 2009 tentang Pelaksanaan Perda KTR dan KTM.
KTR ada lima kawasan: sarana kesehatan, tempat proses belajar-mengajar, arena kegiatan anak, tempat ibadah, dan angkutan umum.
KTM adalah tempat umum (seperti rumah makan, terminal, stasiun, pelabuhan, pasar, supermarket, bioskop, tempat wisata, dan tempat umum lainnya) dan tempat kerja (meliputi tempat kerja pada Instansi Pemerintah—yaitu Pemerintah Provinsi Jawa Timur/Pemerintah Kota Surabaya—dan tempat kerja swasta). Dengan Perda itu diharapkan ruang gerak para perokok di Surabaya lebih menyempit, tak leluasa mengganggu orang lain.
Hasilnya bagaimana? Sila, lihat saja sendiri! Di KTR dan KTM masih sangat mudah ditemui orang merokok dengan leluasa. Para perokok masih tega mengganggu warga masyarakat lainnya yang tak merokok. Para perokok masih menuhankan rokoknya.
Di Surabaya, Perda 5/2008 sudah digantikan dengan
Perda 2/2019. Isinya, secara substansi tidak ada perbedaan. Hanya saja, Perda 2/2019 malah lebih tegas lagi, yaitu tidak ada Kawasan Terbatas Merokok. Semua area indoor dikategorikan Kawasan Tanpa Rokok.
Regulasi serupa di Jakarta bernasib sama dengan yang di Surabaya. Dengan demikian, bisa dibayangkan, betapa lebih leluasanya para perokok di daerah lain yang tak memiliki Perda larangan merokok (di kawasan tertentu).
Sungguh, di negeri ini rokok telah menjadi Tuhan bagi banyak orang. Atas fenomena ini, menulislah Taufiq Ismail sebuah sajak panjang berjudul “Tuhan Sembilan Senti”.
Kata Taufiq Ismail, “Indonesia adalah sorga luar biasa ramah bagi perokok, tapi tempat siksa tak tertahankan bagi orang yang tak merokok. Indonesia adalah semacam firdaus-jannatu-na’im sangat ramah bagi perokok, tapi tempat siksa kubur hidup-hidup bagi orang yang tak merokok. Negeri kita ini sungguh nirwana kayangan para dewa-dewa bagi perokok, tapi tempat cobaan sangat berat bagi orang yang tak merokok.”
Pendek kata, “Rokok telah menjadi dewa, berhala, tuhan baru, diam-diam menguasai kita,” simpul sang sastrawan.
Tiap Hari!
Negeri ini memberi perhatian yang sangat besar bagi terjaminnya semua warga untuk mendapatkan pendidikan. Apa pendidikan itu? Menurut Prof Syed Muhammad Naquib Al-Attas, pendidikan bertujuan utama membentuk manusia yang beradab.
Adab, kata Al-Attas, adalah disiplin ruhani, jasmani, dan akli yang memungkinkan seseorang dan masyarakat mengenal dan meletakkan segala sesuatu pada tempatnya dengan benar dan wajar, sehingga menimbulkan keharmonisan dan keadilan dalam diri, masyarakat, dan lingkungannya.
Maka, berpendidikankah para perokok itu yang seenaknya merokok di sembarang tempat? Beradabkah para perokok itu jika yang dikerjakannya menimbulkan ketidakharmonisan dan ketidakadilan di tengah masyarakat?
Misalnya, para perokok itu sering berkata bangga bahwa mereka adalah penyumbang cukai yang sangat besar. Sementara, mereka pura-pura tak melihat biaya kesehatan yang ditanggung oleh pemerintah dan masyarakat-menurut data di berbagai negara dan juga Indonesia-sekian kali lipat dari cukai yang didapatkan. Antara lain, sekali lagi, simak berita theconversation.com di atas.
Berpendidikan dan beradabkah para perokok itu jika atas tulisan yang sangat jelas di setiap bungkus rokok tentang bahaya merokok tak mereka gubris sama sekali?
Kita tahu, dulu, di masing-masing kemasan rokok selalu ada peringatan keras: “Merokok dapat menyebabkan kanker, serangan jantung, impotensi, serta gangguan kehamilan dan janin”. Belakangan, di kemasan rokok diganti peringatan ini: Rokok membunuhmu!
Mari menunduk. Kita menunduk di 31 Mei saat dunia memperingati Hari tanpa Tembakau. Bahkan, semestinya, semangat tanpa tembakau itu kita gelorakan tiap hari. Benar, tiap saat tanpa rokok! (*)
Editor Mohammad Nurfatoni