PWMU.CO – Dubes RI untuk Maroko: Politik Islam Masih Terpinggirkan. Karena itu dia mendorong intelektual Islam muda mewujudkan Islam berkemajuan.
Drs H Hasrul Azwar MM Duta Besar Luara Biasa dan Berkuasa Penuh (LBBP) RI untuk Kerajaan Maroko dan Republik Islam Mauritania menyampaikanya pada Webinar Pra-Musyawarah Cabang (Muscab) I PCIM Maroko, Rabu (9/6/21) malam.
Pada pertemuan jelang musycab pertama itu, hadir pula Din Syamsuddin dan beberapa Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah seperti Anwar Abbas dan Syafiq A Mughni.
Wujud Islam di Minoritas dan Mayoritas
Hasrul Azwar bercerita, saat kali pertama datang di Maroko pada 2019, merasa senang karena ada PCIM dan PCINU di sana. Berdasarkan pengamatannya, kedua organisasi ini bergandengan tangan, bekerja sama dengan damai.
“Kadang saya sulit membedakan mana yang NU, mana yang Muhammadiyah di antara mereka,” ungkapnya.
Menurut dia, tampak dari sebulan penuh Ramadhan kemarin saat menyelenggarakan pesantren kilat di rumah dinasnya. Imamnya dari NU, tapi shalat Tarawih 11 rakaat. Kemudian saat shalat Subuh, meski imamnya dari Muhammadiyah, tapi pakai qunut.
“Inilah perbedaan yang sangat mengasyikkan. Inilah bentuk sesungguhnya dari Islam berkemajuan,” ujarnya.
“Masalahnya, kita sekarang justru memikirkan, berkontemplasi, kok di negara-negara mayoritas Islam—sesama Islam—berkonflik? Sunni-syiah tidak ada habis-habisnya,” lanjutnya sambil geleng-geleng kepala.
Dia heran, di negara mayoritas Islam, justru berkecamuk pertentangan itu. “Sudah berapa tahun Arab Saudi memutuskan hubungan diplomatik dengan Iran? Arab Saudi memerangi Yaman? Tidak kompak negara-negara Arab menghadapi penjajahan Israel kepada tanah Palestina,” jelasnya.
Ekonomi dan Politik Islam Terpinggirkan
Menurut Hasrul Azwar, Islam di mana-mana terpinggirkan. Baik secara ekonomi maupun politik. Padahal, dalam al-Quran disebutkan ‘Wama arsalnaka illa rahmatan lil alamin’. “Rahmatan di sini yang sesuai dengan tema berkemajuan yang diangkat di sini,” ujarnya.
Maka, jika dikaitkan dengan ‘al Islamu ya’lu wala yu’la ‘alaih’, menurut dia tampaknya belum terwujud. Itu terwujud saat kekuasaan Dinasti Abbasiyah, ketika mereka mampu menguasai dua per tiga dunia. Itulah saat golden age peradaban Islam, sementara negara-negara di kawasan Eropa masih dalam dark age.
Mencermati tema webinar ini “Islam Berkemajuan dan Peran PCIM dalam Internasionalisi Muhammadiyah”, maka dia menekankan pada Islam yang berkemajuan.
Dia mengungkap, di Indonesia, partai politik Islam tidak pernah berkuasa. Pada Pemilu 1955, Islam terpecah. Pertama, Partai Nasional Indonesia (PNI), disusul Partai Masyumi, NU nomor 3, dan terakhir PKI di nomor 4.
“Presiden Indonesia itu Islam, iya. Wakil presidennya Islam, iya. Tapi secara politik, partai Islam tidak pernah berkuasa, kecuali di masa lalu pada masa Pak Natsir sebagai Perdana Menteri,” terangnya.
Peran Generasi Muda Intelektual Islam Maroko
Menjadi kewajiban umat Islam di Indonesia, sambung Hasrul Azwar, memberikan Islam yang berkemajuan, rahmatan lil alamin. Begitu pula PCIM Kerajaan Maroko yang terdiri dari generasi muda intelektual Islam, menurutnya juga harus sudah memikirkan itu.
Model Islam di Maroko, menurutnya “sudah agak” berkemajuan di bandingkan Islam di Indonesia. Hanya beda mazhab: Islam di Indonesia mayoritas Syafii, sedangkan Islam di Maroko Maliki.
Berbeda pula dalam hal jalur masuknya. “Islam masuk ke Indonesia karena dibawa para pedagang. Sedangkan di Maroko, Islam masuk melalui ekspansi militer,” terang dia.
Maka, dia mengajak pimpinan dan anggota PCIM yang hadir untuk membangun Islam berkemajuan di Indonesia. “Kita tidak boleh membiarkan politik di Indonesia dikuasai oleh orang-orang yang tidak berpemikiran Islam. Cuma beragama Islam, tapi tidak berpemikiran Islam,” imbaunya.
Dia memperjelas, mereka yang ber-KTP Islam, tapi kebijakan politik dan regulasinya tidak pro-Islam. “Kita harus bisa mengubah itu,” tuturnya.
“Saya tidak menentukan partai politik mana, tapi partai politik yang bernuansa Islam, yang ahlussunnah wal jamaah, yang bisa menjadi payung,” lanjutnya.
Karena, menurutnya, partai politik yang mengamalkan sunnah dan al-Quran inilah yang sekaligus memahami dan mengayomi perbedaan-perbedaan. Partai politik semacam ini yang dibutuhkan untuk Islam berkemajuan di Indonesia di masa depan.
Sambut Muscab sambil Menunggu Din Syamsuddin
“Saya menyambut baik Muscab pertama PCIM Maroko yang besok (Kamis, 10/6/21) dibuka di ruang KBRI Rabat pukul 16.00,” ujar Hasrul Azwar.
Dia berharap, semoga regenerasi Ziyan Al-Ghifari kepada rekan-rekannya berlangsung mulus. Selain itu, dia berharap kehadiran Muhammadiyah di Maroko menghadirkan sesuatu yang baru untuk Islam berkemajuan di Indonesia nantinya.
Kepada Din Syamsuddin yang juga hadir pada pertemuan itu, Hasrul Azwar menunggu kehadirannya di Maroko. “Jangan sampai saya pulang ke Indonesia, Beliau belum pernah datang kemari. Saya berharap bisa berkunjung kemari,” harapnya.
Dia menyatakan akan membawa Din Syamsuddin keliling ke universitas untuk memberikan ceramah. Menurutnya, Maroko sangat mengenal Din Syamsuddin sebagai duta Islam di berbagai majelis internasional.
Mengingat, dia mengatakan sangat akrab dengan banyak tokoh penting di universitas-universitas Maroko. Salah satunya, dengan Wakil Rektor Universitas al-Qarawiyyin yang merupakan universitas pertama lahir di dunia ini. “Saya sudah menjalin berbagai kerja sama (dengan pihak universitas),” ungkapnya.
Pada kesempatan itu, dia juga bercerita kepada Din Syamsuddin, kasus Covid-19 di Maroko sudah mulai turun. Sejak 6 bulan yang lalu, sudah tatap muka pembelajaran di sekolah. “Bus sudah 75 persen. Boleh berkumpul 50 orang di ruang tertutup, sedangkan di ruang terbuka bisa 100 orang,” urainya.
Dia menegaskan, Maroko termasuk salah satu negara yang mampu menurunkan Covid-19 begitu cepat. Penurunan ini terwujud karena kedisiplinan di sana. Hingga kini, seluruh pegawai KBRI dan seluruh mahasiswa Indonesia tidak satu pun terpapar Covid-19. “Kami monitor terus, mereka sehat semua,” katanya. (*)
Penulis Sayyidah Nuriyah Editor Mohammad Nurfatoni