KH Ahmad Dahlan Pengikut Mahzab Abu Dzar? Oleh M. Anwar Djaelani, peminat biografi tokoh Islam.
PWMU. CO – Abu Dzar Al-Ghifari RA adalah salah satu sahabat terdekat Nabi Muhammad SAW. Dari penuturan Hadjid—aalah satu murid KH Ahmad Dahlan—kita punya kesan bahwa sang pendiri Muhammadiyah menjadikan Abu Dzar siebagai salah satu teladan terbaik setelah Nabi SAW.
Dalam hal di atas, menarik jika kita ajukan tanya: Pertama, apa yang dikatakan Hadjid terkait “hubungan” Abu Dzar dan Ahmad Dahlan? Kedua, antara lain hal-hal apa saja yang tampak “beririsan” pada kiprah dakwah mereka?
Selalu Bersungguh-sungguh
Buku itu, Pelajaran KHA Dahlan: 7 Falsafah dan 17 Kelompok Ayat Al-Qur’an, meski berukuran mungil tapi sarat makna. Ditulis oleh Hadjid berdasarkan apa-apa yang diterimanya dari sang guru.
Saat memberi pengantar pada bahasan “17 Kelompok Ayat Al-Qur’an”, Hadjid (2013: 35), menulis: “Pokok-pokok soal apakah yang terkandung dalam 17 kelompok itu? Ialah soal Isytirakiyah Islamiyah (Sosialisme Islam). Ialah tentang hidup menurut kemauan Islam. Yakni menurut mazhab Sahabat Abu Dzar yang pernah diajarkan dan diamalkan oleh Kiai Dahlan sebelum negara kita Indonesia merdeka (paham ini telah membikin gempar Pemerintah Kolonial dan juga menggemparkan sebagian para ulama)”.
Pada kutipan di atas, ada keterangan menarik yaitu “mazhab Sahabat Abu Dzar yang telah pernah diajarkan dan diamalkan oleh Kiai Dahlan”. Pertanyaannya, adakah “mazhab Abu Dzar”? Tentu, tak ada.
Boleh jadi, yang dimasud Hadjid sebagai “mazhab Abu Dzar ” adalah bahwa Ahmad Dahlan mengikuti spirit Abu Dzar Ra dalam gerak kepejuangannya di medan dakwah. Bisa jadi, Hadjid melihat, bahwa perilaku rela berkorban dari sang guru sama dengan paham dan praktik Abu Dzar Ra, seorang sahabat Nabi Saw yang dikenal sebagai tokoh yang rajin membela golongan lemah. Abu Dzar Ra dikenal bersungguh-sungguh dalam menolong kaum miskin. Sementara, dia sendiri hidup sederhana.
Jika melihat isi “17 Kelompok Ayat Al-Qur’an”, memang terasa dekat dengan langkah-langkah dakwah yang telah dijalankan Abu Dzar. Dari 17 kelompok itu, ada pesan, antara lain, agar kita selalu bisa “Membersihkan Diri Sendiri”. Ada pesan agar kita tak kalah dengan hawa nafsu yang pada dasarnya selalu mengajak untuk mencintai harta. Ada pesan, agar kita tidak menjadi pendusta agama. Ada pesan, perkuat iman dan selalu istiqomah-lah dalam beramal shalih. Ada pesan, agar kita selalu bersungguh-sungguh: Berani berjihad. Ada pesan, menjelang bahasan akhir: Jaga Diri.
Sekadar contoh, mari cermati pesan jihad Ahmad Dahlan: “Orang yang hendak mencari keduniaan tidak akan berhasil jika tidak dengan sungguh-sungguh. Maka demikian pula orang yang hendak mencari surga, tentu tidak akan berhasil masuk surga apabila tidak berani jihad, yaitu bersungguh-sungguh dalam membela agama Allah dengan penuh pengorbanan jiwa, raga, dan harta benda” (Hadjid, 2013: 119).
Mari perhatikan sejumlah “irisan” gerak langkah dakwah dan kepejuangan keduanya. Kita seksamai, bahwa ternyata memang ada semacam benang merah semangat yang sama.
Pencari Kebenaran
Abu Dzar Ra pencari kebenaran. Dari tempat yang sangat jauh, dari suku Ghifar yang dikenal berandalan, dia mencari kebenaran. Dia tempuh perjalanan penuh resiko. Dia temui Rasulullah Saw dan menyatakan keislamannya di saat-saat awal risalah Islam disampaikan. Dalam hal urutan masuk Islam, dia yang kelima atau keenam.
Ahmad Dahlan pencari kebenaran. Dia belajar agama, mulai dari orang-orang di sekitarnya. Mulai belajar dari sang ayah sendiri dan dari kakak-kakak iparnya. Lalu belajar ke ulama-ulama di sekitar Yogyakarta. Terus ke Mekkah, bahkan sampai dua kali. Pendek kata, Ahmad Dahlan seorang pembelajar sejati, termasuk dalam makna suka berdiskusi (bahkan berdebat) dengan pemeluk agama lain.
Radikal
Abu Dzar RA seorang yang radikal. Dia berani menentang kebatilan. Sikap berani telah menjadi watak di manapun dia berada. Lihatlah, saat Rasulullah SAW di masa-masa awal memilih berdakwah secara bisik-bisik, Abu Dzar malah bergerak lebih jauh.
Dalam pandangan Abu Dzar, mau tidak mau harus ada setidaknya satu penyeru dakwah yang bisa “berteriak keras” menyampaikan kebenaran. Ketika Abu Dzar Ra dinasihati Rasulullah Saw untuk segera pulang ke kaumnya, dia menolak.
“Kembalilah kepada kaummu sampai ada perintahku nanti,” kata Nabi SAW.
“Demi Dzat yang jiwaku di Tangan-Nya aku tidak akan kembali sebelum meneriakkan Islam di dalam masjid,” respon Abu Dzar.
Dia-pun menuju Masjid Al-Haram. Di sana dia berkata lantang: “Aku bersaksi bahwa tiada Ilah (yang berhak disembah) selain Allah dan aku juga bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah”.
Di sini, di negeri ini, Ahmad Dahlan tampil berani dalam berdakwah. Ahmad Dahlan siap dengan semua resiko yang bisa jadi timbul akibat adanya orang-orang yang tak setuju dengan isi dakwahnya.
Pernah, setelah Ahmad Dahlan berdakwah di Banyuwangi, beliau mendapat ancaman. Bahwa, jika dia suatu saat kembali ke Banyuwangi akan dibunuh. Atas hal itu, beliau dinasihati oleh orang dekatnya agar tak ke Banyuwangi.
Menghadapi situasi itu, Ahmad Dahlan memilih tetap kembali berdakwah ke Banyuwangi dengan ditemani sang istri. Apa yang terjadi? Alhamdulillah aman, tak terjadi hal yang tak diinginkan. Malah, belakangan, di Banyuwangi berdiri cabang Muhammadiyah.
Pemberani
Perhatikan, bagaimana Abu Dzar sering (atau bahkan selalu) mengingatkan umat dan terutama para pemimpin akan peringatan keras Allah di at-Taubah 34-35: “Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih, pada hari dipanaskan emas perak itu dalam neraka jahannam, lalu dibakar dengannya dahi mereka, lambung dan punggung mereka (lalu dikatakan) kepada mereka: ‘Inilah harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri, maka rasakanlah sekarang (akibat dari) apa yang kamu simpan itu’.”
Sebagaimana dikisahkan Khalid Muhammad Khalid dalam “Biografi 60 Sahabat Nabi SAW” (2012: 77), Abu Dzar pernah menemui Mu’awiyah. Dia tanyai tentang kekayaannya, sebelum menjadi penguasa dan setelah menjadi penguasa. Dia juga menanyai rumah yang dihuni Umayyah di Mekkah dulu dan istananya yang terdapat di Syria setelah menjadi penguasa.
Di sini, di negeri ini, Ahmad Dahlan sangat dikenal dalam menyosialisasikan al-Maun 1-3: “Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama? Itulah orang yang menghardik anak yatim, dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin”.
Cekatan Berdakwah
Abu Dzar Ra terampil dalam berdakwah. Ajakan dakwah beliau diterima oleh sukunya sendiri dan suku lainnya. Alkisah, setelah menemui Nabi SAW dan menyatakan keislamannya, Abu Dzar RA kembali menemui keluarganya serta kaumnya.
Saat di tengah-tengah masyarakatnya, Abu Dzar ceritakan kepada mereka tentang Nabi Muhammad yang baru diutus Allah dan menyuruh agar mengabdi kepada Allah yang Maha Esa serta membimbing mereka supaya berakhlak mulia. Setelah itu, satu demi satu kaumnya masuk Islam. Bahkan, usahanya tidak terbatas pada kaumnya semata-mata tetapi dilanjutkannya pada suku lain yaitu suku Aslam. Terasakan, Abu Dzar bisa memancarkan cahaya Islam di tengah-tengah mereka.
Ada yang lebih mengharukan! Momentum berikut ini terjadi setelah Nabi SAw hijrah ke Madinah. Sebuah momentum yang membuat Rasulullah Saw takjub dan kagum.
Saat itu, Abu Dzar Ra membawa rombongan dari negeri asalnya menuju Madinah. Di dalamnya ada laki-laki, perempuan, orangtua, remaja, maupun anak-anak. Tak hanya suku Ghifar di rombongan itu, tapi juga suku Aslam.
Siapa yang tak takjub? Siapa yang tak kagum dengan performa mereka yang sekarang menjadi ahli kebajikan dan pendukung kebenaran? Bukankah, dulu, suku Ghifar adalah raksasa perampok? Bukankah, dulu, mereka dikenal sebagai kelompok pembegal?
Sekarang, di negeri ini, perhatikanlah buah dakwah Ahmad Dahlan lewat Muhammadiyah-nya. Ada berapa juta orang yang ikhlas berdakwah lewat bidang-bidang seperti pendidikan, kesehatan, kebudayaan, dan lain-lain lewat Muhammadiyah? Tak hanya di Indonesia, gerakan dakwah Muhammadiyah yang diwariskan Ahmad Dahlan juga berkembang di mancanegara.
Abu Dzar Al-Ghifari hidup sederhana. Pun, demikian KH Ahmad Dahlan. Tapi, dengan kesederhanaan itu, amal-amal shalih yang mereka lakukan dengan spirit kepejuangan yang ikhlas penuh pengorbanan, sungguh indah untuk dikenang sekaligus diteladani. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni
Artikel Mandi Keringat di Padang Mahsyar ini adalah versi online Buletin Jumat Hanif Edisi 37 Tahun XXV, 18 Juni 2021/8 Dzulqaidah 1442.