Sampai Jumpa di Pengadilan Akhirat oleh M Rizal Fadillah, Pemerhati Politik dan Kebangsaan
PWMU.CO– Ada dua orang yang menjadi sorotan setelah hakim PN Jakarta Timur memvonis Habib Rizieq Shihab 4 tahun penjara. Padahal kasusnya ringan. Tuduhan jaksa menyembunyikan positif Covid di RS UMMI Bogor.
Pertama, Walikota Bogor Bima Arya. Bima Arya adalah pelapor kepada pihak Kepolisian atas perbuatan HRS dan Direktur RS UMMI. Kedua, Khadwanto SH, ketua Majelis Hakim pengetuk palu 4 tahun penjara untuk HRS.
Laporan Bima Arya dianggap penyebab dari putusan hakim yang dinilai berlebihan dan tidak adil. Karenanya publik langsung menyorot dan memelototi walikota Bogor kader PAN tersebut.
Kecaman, caci maki, bahkan doa kutukan pun terbaca di media sosial. Foto Bima Arya dipampang netizen. Miris dan agak mengerikan jika membaca doa kutukan netizen yang kecewa dan merasa jengkel kepadanya.
Sementara Khadwanto SH putusannya dinilai kontroversial dengan menghukum berat untuk sebuah kasus ringan. Apalagi disertai penawaran pengampunan presiden kepada HRS menjadi hal unik dan aneh.
Tawarannya itu jadi memperkuat dugaan adanya intervensi kekuasaan dalam sidang ini. Secara teori majelis hakim itu independen namun praktiknya banyak dicemari oleh berbagai godaan, baik uang maupun tekanan politik.
Setelah vonis itu dijatuhkan di medsos juga beredar hadits riwayat Abu Daud yang menceritakan tentang tiga hakim di mana satu hakim masuk surga karena memutus secara benar dan dua hakim lainnya masuk neraka karena memutus perkara atas dasar zalim dan bodoh.
Netizen menyebarkan bisa jadi untuk menyindir Khadwanto dan hakim lainnya. Hadits ini viral. Bahkan dengan isi ceramah mubaligh yang mengutip dan menegaskan ucapan Rasulullah saw tersebut.
Bima Arya saat menjadi saksi dalam sidang HRS memposting bahwa yang dilakukannya untuk melindungi warga dan menuduh RS UMMI tidak kooperatif.
Netizen membalas dengan mengingatkan Bima bahwa ia akan disidang yang jauh lebih berat di akhirat. Ada pula yang mengomentari ”Inget, darah ulama itu beracun, apalagi ini ada darah Rasulullah, jangan zalim.”
Tentu menjadi hak Bima dan Khadwanto untuk bersikap dan menerima risiko atas sikap yang diambil. Sebagian orang bertanya, apakah sikap Bima dan Khadwanto itu mandiri atau perintah, tekanan dari atasan atau penentu kebijakan politik? Tentu sulit untuk menjawab karena ruangannya remang-remang bahkan gelap.
Biarlah semua bergulir melalui fakta-fakta yang cepat atau lambat dapat terbuka. Untuk sementara cukuplah dengan kalimat menggetarkan dari HRS atas ketidakadilan yang diterimanya. ”Sampai jumpa di pengadilan akhirat.” (*)
Bandung, 26 Juni 2021
Editor Sugeng Purwanto