PWMU.CO – Hipnotis Wisudawan Spemdalas, Ini Makna Puisi ‘Ibu’ Zawawi Imron. Penampilan pembacaan puisi tersebut mewarnai peringatan Milad Ke-20 Spemdalas dan Wisuda XVIII, Sabtu (26/6/21) siang.
Kayyis Ramadhani Nakano—salah satu wisudawati—dipercaya membacakan puisi itu. Alunan musik lagu ‘Ibu’ dari Iwan Fals mengiringi penampilan Kayyis saat membacakan bait terakhirnya. Kemudian, disambung dengan nyanyian lagu ‘Titip Rindu buat Ayah’ dari Ebiet G Ade.
Tampil memukau dengan kebaya ungu muda dan berkalung gordon oranye khas Spemdalas, Kayyis menyulap seisi ruangan menjadi sunyi. Semua pandangan tertuju padanya. Begitu pula dengan undangan, wali siswa, serta sebagian wisudawan yang hadir virtual melalui Zoom.
Saat diwawancarai, dia mengaku senang atas respon hadirin saat melihat penampilannya. “Seneng sih, soalnya tujuanku itu buat orang-orang terhipnosis sampai diam tanpa satu kata pun, saking fokusnya ngelihat aku,” ungkapnya usai wisuda.
Persembahan spesial untuk para orangtua itu dia persiapkan, secara formal, dengan 4 kali berlatih bersama guru-gurunya. “Waktu pertama kali itu yang melatih Pak Arif, terus latihan berikutnya baru (sama) Bu Marta sampai latihan terakhir. Yang paling berjasa itu Bu Marta,” kata dia.
Kayyis, Wisudawati Juara Lomba Puisi
Muhammad Hasbi Ashshidiqi SPd—penanggung jawab pembacaan puisi—menyatakan, timnya sengaja memilih Kayyis untuk membacakan puisi sebagai hiburan spesial di wisuda dan milad itu, Sabtu (26/6/21).
Bukan tanpa alasan. Hasbi mengungkap, selama bersekolah di Spemdalas, Kayyis sering memenangkan lomba puisi di berbagai ajang.
Saat diwawancarai secara terpisah, Kayyis mengaku memang terbiasa ikut berbagai lomba puisi sejak SD. Selama di Spemdalas, lulusan SD Muhammadiyah Manyar (SDMM) Gresik ini mengantongi juara III Lomba Puisi Tingkat Nasional yang digelar ar-Rahma Malang.
Selain itu, dia juga berhasil meraih juara III Lomba Puisi Matematika Nasional yang diselenggarakan Universitas Muhammadiyah Gresik. Calon siswa SMA Muhammadiyah 1 ( Smamsatu) Gresik ini pun menceritakan pengalaman menariknya saat mengikuti lomba itu.
Meski sedang kurang fit, dia tetap gigih berlatih. Bahkan, dia mengaku nekat ikut lomba tanpa pembinaan dari sekolah. “Karena waktu itu lagi marak Covid, jadi gak pakai latihan, Alhamdulillah juara III nasional!” jelas dia.
Dia mengaku semangat ikut lomba karena tertarik mendalami bidang non-akademik yang dia pahami sebagai keunggulan potensi dirinya. “Jelas semangat dong, soalnya aku itu lebih unggul di bidang non-akademik kaya gini ketimbang akademik dan lebih tertarik mendalami non-akademik,” ungkapnya.
Kayyis berbagi rahasianya hingga mampu membacakan puisi dengan memikat. “Sebelum latihan, dibaca dan dipahami makna puisinya apa, biar nanti masuk ke hati, dan akhirnya penampilan bisa maksimal karena sudah menguasai maksud puisi itu,” tuturnya.
Makna Puisi ‘Ibu’
Hasbi menyatakan, puisi ini sengaja dipilih sebagai dedikasi siswa, pada kelulusan sekolahnya, tak luput dari hasil kerja keras orangtua. “Khususnya ibu mereka yang selalu support dalam perkembangan pendidikan mereka,” ucapnya.
Kemudian, dia berharap, semoga dari media penyampaian puisi tersebut bisa mewakili rasa terima kasih mereka kepada orangtuanya, Jumat (25/6/21).
Haifa Marta SPd—Wakil Ketua Wisuda yang melatih Kayyis membaca puisi—menegaskan, puisi ‘Ibu’ karya D. Zawawi Imron memang tidak diragukan kepuitisannya.
Saat mengajari Kayyis, dia menyampaikan makna puisinya secara umum. “Dia anaknya cerdas. Kayyis bisa mengartikan dan menghayati puisi itu sesuai skill-nya dan improvisasinya sangat tinggi,” komentarnya.
Berikut makna puisi ‘Ibu’ yang Marta dan Kayyis ungkap lewat wawancara daring, Sabtu (26/6/21) sore.
Orangtua Selalu Mendukung
Kalau aku merantau lalu datang musim kemarau
Sumur-sumur kering, daunan pun gugur bersama reranting
Hanya mataair airmatamu ibu, yang tetap lancar mengalir
Menurut Marta—sapaan akrabnya—bagian bait pertama puisi ini bermakna, jika kehidupan seorang anak sedang mengalami kegagalan, bahkan keterpurukan, hanya ada sosok ibu yang selalu mendukung dan mendoakannya.
“Air matanya yang menjadi sumber mata air, agar anaknya bangkit kembali, dan semangat menjalani hidupnya lagi,” ujarnya.
Mengejar Cita, Anak Berpisah dari Orangtua
Bila aku merantau
Sedap kopyor susumu dan ronta kenakalanku
Di hati ada mayang siwalan memutihkan sari-sari kerinduan
Lantaran hutangku padamu tak kuasa kubayar
Dia menerangkan, maknanya, suatu saat seorang anak akan berpisah dari orangtuanya, terutama sang ibu. “Berpisah dalam artian mengejar cita-cita, merantau mencari pekerjaan, dan lain-lain,” kata guru Bahasa Indonesia itu.
‘Sedap kopyor susumu’ pada puisi ini, menurut dia, menggambarkan masa ketika ibu menyusui anaknya, memberikan ASI. Meski mereka berpisah nantinya, selalu ada rasa rindu antara keduanya.
Sampai kapan pun, lanjutnya, seorang anak tidak akan mampu membalas budi dan kasih sayang ibu atau ayahnya (orangtuanya), meskipun anak itu sudah sukses.
Sejalan dengan Marta, Kayyis menambahkan, “Kayak kita itu seakan-akan lagi terima kasih banget ke orangtua, karena sudah jadi peran terpenting di hidup kita dan gak ada yang bisa ngebales itu semua.”
Ibu, Pahlawan Kehidupan
Ibu adalah gua pertapaanku
Dan ibulah yang meletakkan aku di sini
Saat bunga kembang menyemerbak bau sayang
Ibu menunjuk ke langit, kemudian ke bumi
Aku mengangguk meskipun kurang mengerti
Kayyis berpendapat, bagian ini menunjukkan betapa banyak ilmu yang orangtua ajarkan kepada anaknya. “Orang tua itu ngajarin banyak banget ilmu, dari sebelum kita gak tau apa-apa sampai akhirnya kayak gini. Ngajarinya sabar penuh sayang,” ungkapnya.
Bila kasihmu ibarat samudra
Sempit lautan teduh
Tempatku mandi, mencuci lumut pada diri
Tempatku berlayar, menebar pukat dan melempar sauh
Lokan-lokan, mutiara dan kembang laut semua bagiku
Marta menjelaskan, bagian ini menunjukkan tentang semua yang dunia tawarkan, baik hal-hal yang enak maupun tidak enak. “Semua harus dipilih, mau pilih sukses atau malas,” tuturnya.
Kalau ikut ujian lalu ditanya tentang pahlawan
Namamu ibu, yang kan kusebut paling dahulu
Lantaran aku tahu
Engkau ibu dan aku anakmu
Menurut Marta—Koordinator Sekolah Lanjutan—bagian ini mengungkap hanya ibu yang menjadi pahlawan kehidupan bagi anaknya.
Berserah dan Mengingat Tuhan
Bila aku berlayar lalu datang angin sakal
Tuhan yang ibu tunjukkan telah kukenal
“Bila anak menjalani hidupnya dan datang huru-hara cobaan dalam hidup, maka Ibu selalu mengingatkan untuk berserah pada Tuhan,” terang Marta.
Sejalan dengan itu, Kayyis menambahkan, “Orangtua ngajarin kita inget Tuhan selalu di mana pun (dan) kapan pun.”
Ibulah itu, bidadari yang berselendang bianglala
Sesekali datang padaku
Menyuruhku menulis langit biru
Dengan sajakku
“Ibu selau menjadi sosok bidadari di dunia yang selalu men-support (mendukung) seluruh cita-cita anaknya, sesuai dengan passion dan keinginan anak,” jelas Marta.
Marta mengatakan, ‘Menulis langit biru’ itu maksudnya mengukir masa depan, sedangkan ‘dengan sajakku’ itu seperti menggambarkan passion atau skill masing-masing anak.
Kali ini, Kayyis memiliki pemaknaan sendiri. Bagi Kayyis, bagian terakhir puisi ini menunjukkan Ibu melepas anaknya perlahan-lahan untuk menemukan jalannya.
“Tapi tetep didampingi ‘sesekali datang padaku’, dengan caranya sendiri ‘dengan sajakku’,” ujarnya. (*)
Penulis Sayyidah Nuriyah Editor Mohammad Nurfatoni