PWMU.CO – Rektor Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) Fauzan menilai rencana aksi ‘Bela Islam’ jilid III (212), di Jakarta Jum’at (1/12) besok merupakan sebuah anomali (ketidaknormalan,red). Setidaknya, terdapat 4 anomali mengiringi aksi tersebut.
Anomali pertama, jika diperhatikan rentang masing-masing demonstrasi berjarak tidak sampai satu bulan dengan jumlah massa yang demikian besar. ”Bukan karena aksi itu sendiri, melainkan rentetan fenomena yang mengiringinya, yaitu aksi 14 Oktober dan 4 November,” kata Fauzan saat ditemui kontributor pwmu.co di kantornya, Kamis kemarin (30/11).
(Baca: Bagaimana Menilai Aksi 212? Begini Kata Rektor UMM dan Didatangi Polisi, Rombongan Aksi Bela Islam III dari Gresik Gagal Berangkat)
Fauzan menambahkan, anomali kedua dari aksi bela Islam jilid III ini adalah faktor pemicunya berbeda dibandingkan dengan rentetan berbagai demonstrasi berskala besar yang pernah terjadi di Indonesia. Seperti Reformasi 1998, Malari 1974 dan Tritura 1966. ”Ketiga demonstrasi bersejarah tersebut turut dipicu faktor ekonomi. Sesuatu yang tidak terjadi pada aksi 411 dan 212,” terangnya.
Anomali lainnya, lanjut Fauzan adalah aktor gerakan yang saat ini tidak melibatkan mahasiswa. ”Sekalipun sejumlah eksponen gerakan mahasiswa mengikuti aksi 411 dan 212, mereka bukanlah aktor melainkan hanya menjadi partisipan dan simpatisan saja,” seru Fauzan.
Terakhir, tuntutan aksi 411 dan 212 juga dinilai sangat khas oleh Fauzan. Karena dalam aksi tersebut tidak ada tendensi politik yang terbuka. Aksi demostrasi tersebut juga lebih dicitrakan sebagai aksi bela Islam melawan penista agama. ”Berbeda dengan Reformasi 1998, Malari 1974 dan Tritura 1966, yang secara terbuka menyerukan perlawanan politik,” tuturnya.
(Baca juga: Aksi Bela Islam 212 yang Berencana Shalat Jum’at di Monas, Begini Fatwa MUI dan 5 Sikap Muhammadiyah Jatim Tanggapi Rencana Aksi Bela Islam Jilid III, Aksi 212)
Sekalipun begitu, Fauzan tetap menilai rangkaian aksi massa berskala besar dua bulan terakhir ini merupakan bukti bahwa telah terjadi krisis kepemimpinan bangsa. Karena rakyat mudah sekali diarahkan oleh para pemimpin opini (opinion leaders), ketimbang pemimpin formal, yaitu penguasa negara.
”Aksi bela Islam ini harusnya menjadi refleksi buat pemerintah. Bukan saja soal isi tuntutan yang disampaikan. Akan tetapi soal sejauh mana kepercayaan rakyat pada pemimpinnya,” ujarnya.
Bagi umat Islam, lanjut Fauzan pemimpin itu tidak hanya dilihat dari sisi kemampuan manajerial dan pengambilan kebijakannya saja, tetapi juga perilaku dan tutur katanya sebagai teladan masyarakat. ”Ketiadaan figur pemimpin idaman inilah yang membuat masyarakat mudah sekali kecewa,”tegasnya.
Padahal, Fauzan mengungkapkan bahwa tugas pemerintah adalah mengelola kekecewaan itu, dan merubahnya menjadi harapan. ”Kekecewaan itu tak boleh diabaikan, jika tak ingin menjadi amunisi yang akan melahirkan kekecewaan lebih besar,” pungkasnya. (hum/aan)