Ghuluw: Mabuk Agama Menghadapi Pandemi oleh Nurbani Yusuf, Komunitas Padhang Makhsyar Kota Batu.
PWMU.CO– Ghuluw atau berlebihan adalah istilah teknis untuk mengilustrasikan sikap berlebihan dalam beragama. Semacam mabuk karena tidak menggunakan akal waras.
Ash-sholaatu fi rihalikum atau fi buyutikum. Shalatlah di rumah kalian! Ini salah satu tambahan lafadh adzan saat hujan lebat mendera. Bukan bermakna meninggalkan masjid dan melawan syariat shalat berjamaah di masjid yang lebih utama 27 kali derajat.
Shalat jamaah di rumah saat terjadi hujan, bencana, wabah atau beliung mendera adalah keutamaan. Shalat berjamaah di masjid itu syariat. Menjaga jiwa adalah perintah agama. Patuh pada umara juga bagian dari syariat. Dari keutamaan menuju keutamaan. Tidak perlu dipertentangkan.
Pesona Rasulullah saw sungguh luar biasa. Dia mencintai sesama terlebih umatnya. Sebuah karakter kepribadian yang humanis dan penyayang. Agama itu mudah jangan diperberat. Bila ada dua pilihan sulit, maka pilih yang paling ringan sepanjang tidak melawan syar’i.
Kesahajaan Rasulullah saw kadang membuat tak sabar sebagian umatnya yang inginnya beragama dengan teramat serius dan mengamalkan yang berat-berat. Ada yang ingin membujang tidak menikah, ada yang ingin shalat sepanjang malam tidak tidur dan ada yang ingin puasa sepanjang umur.
Sukakah Rasulullah dengan kehendak sahabatnya itu? Kemudian Rasulullah saw berkata untuk menepis ghuluw atau berlebihan tepatnya mabuk: ”Aku tidak membujang tapi menikah. Aku shalat malam juga tidur. Aku puasa dan berbuka.”
Dua Kasus
Baiklah kita simak, dua peristiwa penting pada masa Rasulullah saw tentang dua sikap berlawanan meski bersumber pada hukum syar’i yang sama, tapi dengan pemahaman yang jauh beda.
Pertama:
”Aku bermimpi ’basah’ pada satu malam yang dingin dalam peristiwa perang Dzât as-Salâsil, lalu aku khawatir akan binasa bila mandi. Oleh karena itu aku bertayammum. Kemudian aku shalat mengimami para sahabatku shalat Subuh. Lalu mereka menceritakan peristiwa ini kepada Nabi saw.
Nabi saw bertanya, ”Wahai Amru, benarkah kamu shalat mengimami para sahabatmu dalam keadaan junub?” Lalu aku menceritakan kepada Nabi saw apa yang menghalangiku mandi dan aku katakan bahwa aku mendengar Allah Azza wa Jalla berfirman: ”Dan janganlah kamu membunuh dirimu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.” (An-Nisâ’: 4:29)
Lalu Rasulullah saw tertawa dan tidak mengucapkan sesuatu.
Kedua:
Dari Jabir ra, dia berkata, ”Kami berangkat dalam satu perjalanan lalu seorang dari kami tertimpa batu dan melukai kepalanya. Kemudian orang itu mimpi ’basah’ lalu ia bertanya kepada para sahabatnya, ”Apakah kalian mendapatkan keringanan bagiku untuk tayammum ?” Mereka menjawab, ”Kami memandang kamu tidak mendapatkan keringanan karena kamu mampu menggunakan air.”
Lalu ia mandi kemudian meninggal. Ketika kami sampai di hadapan Nabi saw, peristiwa tersebut diceritakan kepada Nabi. Beliau bersabda, ”Mereka telah membunuhnya. Semoga Allâh membalas mereka. Tidakkah mereka bertanya jika tidak mengetahui? Karena obat dari tidak tahu adalah bertanya. Sesungguhnya dia cukup bertayammum.”
Ada sebagian yang merasa tak cukup dengan apa yang ada, kemudian mencari sesuatu yang berat, mungkin semacam sensasi agar terlihat saleh di mata publik, dan tetap menjalani syariat letterlijk padahal mencelakai.
Ash-sholaatu fii rihalikum atau fii buyutikum tak selalu bermakna shalat jamaah harus di masjid jika shalat jamaah di rumah ternyata lebih maslahat. Bukan menafikan perintah memakmurkan masjid jika keadaan darurat karena hujan atau angin dikawatirkan mengancam jiwa. Maka shalat jamaah di rumah bersama akan lebih maslahat.
Tapi setiap kita punya cara pandang yang berbeda: takmir masjid, pimpinan ranting, cabang, daerah, wilayah, hingga pusat pasti punya daya jangkau berbeda. Sebab keluasan pandangan akan berbanding lurus dengan kealiman setiap orang. (*)
Editor Sugeng Purwanto