PWMU.CO – Muhammadiyah Memahami Agama secara Tekstual dan Kontekstual. Demikian intisari dari paparan Ir Tamhid Masyhudi pada pengajian iftitah Penguatan Ideologi Muhammadiyah Majelis Dikdasmen Pimpinan Cabang Muhammadiyah (PCM) GKB Gresik, Selasa (6/7/2021).
“Muhammadiyah itu adalah bagian yang tak terpisahkan dari sebuah semangat. Bukan hanya menjalankan agama dari sisi tekstualnya, tetapi justru kontekstual,” ujar Sekretaris Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jatim itu.
Menurut Tamhid, di berbagai forum persyarikatan masih sering orang bertanya, apa sih hakikat ideologi Muhammadiyah yang menyangkut isi, isensi, dan substansi?
“Jika paham tentang Islam itu sendiri, apakah sesungguhnya orang yang sudah memahami Islam secara tekstual itu sudah paham terhadap Muhammadiyah?” tanyanya retoris.
Dia menjelaskan di dalam Muhammadiyah ada pikiran-pikiran yang muncul dari persoalan ideologi seperti ini. Sehingga membuat Muhammadiyah menjadi sebuah kekuatan, yang sampai hari ini masih eksis dan semakin hari kehadiran Muhammadiyah semakin dibutuhkan oleh siapapun, baik masyarakat, negara, dan lain sebagainya.
“Hari ini kalau kita lihat betapa Muhammadiyah menjawab kehidupan ini dengan menghadirkan dan ikut berpartisipasi meringankan beban masyarakat,” jelasnya.
Implementasi Paham Agama dalam Covid-19
Ketua Muhammadiyah Covid-19 Command Center (MCCC) Jawa Timur ini menyampaikan, saat ini 32 rumah sakit di Jawa Timur tidak ada satu pun yang kosong dari pasien Covid-19. Dan sampai saat ini Muhammadiyah juga berjibaku dan tetap ambil peran untuk mengatasi pandemi covid19 yang luar biasa ini.
“Di Surabaya sudah tiga hari lalu (IGD) 13 rumah sakit swasta tutup, tetapi di Muhammadiyah sampai hari ini tetap memberikan bantuan kepada mereka yang membutuhkan,” terangnya.
Menurutnya, itu adalah salah satu contoh pemahaman agama Muhammadiyah. “Yang melandasi kita untuk ikut aktif menghadirkan kebaikan-kebaikan kepada orang lain adalah pikiran-pikiran besar Muhammadiyah yang termaktub dalam Muqaddimah Anggaran Dasar Muhammadiyah, Matan Keyakinan dan Cita-Cita Hidup Muhammadiyah, serta Khittah Muhammadiyah,” urainya.
Dia menjelaskan, orang yang baik tidak hanya secara spiritual, beriman kepada Allah SWT sebagai kekuatan, menjalankan ibadah shalat, zakat, dan lain sebagainya, tetapi harus memperhatikan fakir miskin dan orang yang membutuhkan.
“Oleh karena itu kita tidak boleh menolak, karena Muhammadiyah memiliki ideologi sosial al-Maun yang hadir untuk memberikan dan menyelesaikan persoalan kehidupan di berbagai tempat,” ujarnya.
Munculnya Pemikiran Terbatas
Akan tetapi, sambungnya, kita masih melihat gelaja lain yang masih tumbuh dalam Persyarikatan Muhammadiyah, yang kadang-kadang punya pikiran-pikiran yang sangat terbatas, yang menganggap orang yang sudah memahami agama secara tekstual itu sudah cukup.
“Padahal di Muhammadiyah itu pemahaman kita selalu didasarkan kepada kekuatan dalam memahami tekstual secara harfiyah atau bayani. (Itu) harus kita lakukan. Tetapi tidak kalah pentingnya pemahaman bayani harus diikuti dengan pendekatan rasional kontekstual, yaitu burhani,” teragnya.
Ini bagian dari cara untuk menunjukkan bahwa Muhammadiyah ini adalah sebuah gerakan yang mengutamakan pendekatan saintis atau ilmu pengetahuan.
“Termasuk menjawab soal pandemi ini, Muhammadiyah menjawab dengan menyediakan rumah sakit yang bisa memberikan layanan kepada mereka yang membutuhkan,” paparnya.
Selain itu, lanjutnya, Muhammadiyah juga menyertakan pendekatan spiritualitas agar jiwa kita bisa menjadi lembut dan kuat. “Ini adalah bagian dari cara Muhammadiyah untuk bersama-sama memahami kehidupan,” jelasnya.
Di akhir iftitahnya, Tamhid berpesan agar seluruh kader persyarikatan terlebih pimpinan persyarikatan Muhammadiyah benar-benar harus ikut aktif menggerakkan dan memperjuangkan aspek-aspek pemahaman keagamaan tidak terbatas tekstual, tetapi kontekstual. (*)
Penulis Ahmad Nasafi Editor Mohammad Nurfatoni