PWMU.CO– Pemandu haji zaman pra Islam dikelola oleh keluarga turun temurun. Karena posisi yang menguntungkan secara sosial dan ekonomi ini, hak pengelolaan haji ini jadi rebutan.
Dalam kita Sirah Nabawi, Ibnu Ishaq menceritakan, pada periode pertama Mekkah dihuni Bani Jurhum dari Yaman setelah Hajar dan anaknya, Nabi Ismail, menemukan mata air Zamzam. Kakbah sesudah dibangun oleh Nabi Ibrahim menjadi ramai peziarah hingga menjadi tradisi haji.
Awalnya Al-Ghauts bin Murr bin Ud bin Thabikhah bin Dyas bin Mudzar dari Bani Jurhum menjabat sebagai pemandu haji. Sepeninggalnya anak keturunannya mewarisi jabatan itu dibantu Bani Khuza’ah dan Bani Bakr.
Keluarga Al-Ghauts dan anak keturunannya dinamakan shufah, jabatan untuk penyelenggara haji dan pelayan Kakbah. Mereka melaksanakan rukun haji sesuai tradisi dan ketat memeganginya. Jamaah haji tidak bisa memulai ritual haji tanpa komando darinya.
Dikisahkan, ada orang-orang yang mempunyai kebutuhan mendesak datang kepada shufah. Mereka meminta agar segera jumrah. Mereka berkata, ”Berdirilah, dan lemparlah jumrah hingga kami melempar jumrah bersamamu.”
Shufah menjawab, ”Tidak. Demi Allah, kami tidak melempar jumrah hingga matahari condong ke barat.” Orang-orang itu memaksa.”Celaka kamu, berdirilah dan lemparlah.” Shufah tetap menolak melempar jumrah. Ketika matahari telah condong ke barat, shufah berdiri kemudian melempar jumrah diikuti jamaah haji.
Keluarga Al-Ghauts menjabat sebagai shufah hingga generasi terakhirnya. Kemudian jabatan tersebut diwarisi kerabat terdekatnya yaitu Bani Sa’ad bin Zaid Manat bin Tamim lalu diwariskan turun temurun.
Qushai bin Kilab
Sekitar tahun 400 M datang ke Mekkah Qushai bin Kilab diikuti orang-orang dari Quraisy, Kinanah, dan Qadha’ah dari Syam. Qushai menyatakan paling berhak mengelola haji karena keturunan langsung Nabi Ismail dan Ibrahim.
Qushai bin Kilab berkata kepada Bani Sa’ad,”Kami lebih berhak menangani urusan haji daripada kalian.” Kemudian terjadilah perang besar di antara mereka. Para shufah yang didukung Bani Khuza’ah dan Bani Bakr kalah. Qushai bin Kilab kini menguasai penyelenggaraan haji pelayan Kakbah.
Qushai bin Kilab lantas memboyong kaumnya ke Makkah. Ia menjadi pemimpin penduduk kota itu.
Qushai bin Kilab adalah orang pertama dari Bani Ka’ab bin Luai yang menjadi raja yang ditaati kaumnya. Dialah peletak dasar tradisi bangsa Quraisy. Rumahnya menjadi Dar an-Nadwah. Qushai bin Kilab inilah nenek moyang yang menurunkan Nabi Muhammad saw.
Qushai mempunyai tiga anak lelaki. Yaitu Abduddaar, Abdu Manaf, dan Abdul Uzza. Ketika Qushai semakin tua dia menyerahkan semua urusan negara seperti haji dan komando perang kepada anak sulungnya, Abduddaar.
Setelah Qushai meninggal dunia, terjadi perpecahan di antara keturunan anak-anaknya yang menginginkan jabatan yang dipegang keturunan Abdudaar. Bani Abdu Manaf yaitu: Abdu Syams, Hasyim, Al-Muththalib, dan Naufal bersatu merebut hak menjaga Kakbah, komando perang, memberi minum jamaah haji, dan menjamu mereka.
Kelompok ini berpendapat lebih berhak karena lebih terhormat, dan lebih utama di kaumnya. Akhirnya terjadi Mekkah terbagi dua kubu. Pendukung Bani Abduddaar atau kubu Bani Abdu Manaf. Mereka pun siap perang.
Ketika akan terjadi perang saudara, akhirnya masing-masing pihak sepakat berdamai. Isi perdamaian membagi kekuasaan. Hak pemberian minum dan penjamuan jamaah haji diberikan kepada Bani Abdu Manaf.
Hak penjagaan Kakbah, komando perang dan Daar An-Nadwah diberikan kepada Bani Abduddaar seperti semula. Semua kubu menerima perdamaian, mencegah perang, dan saling menghormati. Kondisi ini berlangsung hingga Islam datang. (*)
Editor Sugeng Purwanto