Bermuhammadiyah Rasa Santuy, Awas Dosa Share! Opini Feri Anugrah, pengajar di Universitas Muhammadiyah Bandung (UMBandung), kader IPM–IMM.
PWMU.CO –Ekskalasi hoaks dari berbagai isu yang saya perhatikan semakin meningkat sejak kasus Ahok mengemuka ke permukaan pada 2016. Kemudian berbagai hoaks yang berseliweran di media sosial dan grup Whatshapp (WA) semakin menggila ketika pandemi Covid-19 melanda dunia.
Bahkan ada oknum tokoh agama—bukan dari Muhammadiyah—yang termakan suatu isu hoaks. Sejurus kemudian ia menuduh sana-sini di atas mimbar berdasarkan informasi hoaks tersebut.
Padahal, isu tersebut nyatanya memang keliru, namanya juga hoaks. Namun, si tokoh ini tetap menuduh kelompok ini akan begini akan begitu. Dengan bangganya dia memaparkan prediksi dan analisis ngawur berdasarkan hoaks dengan percaya diri.
Saya lihat teks di bawah video tersebut, si tokoh itu ternyata bergelar “KH” alias kiai haji. Waduh, bagaimana ini kok jadi begini? Hebat sekali hoaks ini kalau begitu, ini sampai orang yang bergelar “tokoh agama” pun sampai ikut terpengaruh. Mungkin si pembuat hoaks akan tertawa terbahak-bahak karena berita bohong yang dibikinnya itu berhasil memakan korban.
Capek? Tentu saja. Ada beberapa teman saya juga yang notabene warga Muhammadiyah yang ikut-ikutan jadi penyebar hoaks—baik melalui foto, video, dan berbagai narasi teks. Entah apa alasan mereka menyebarkan hoaks-hoaks tersebut. Apakah mereka tidak tahu itu hoaks, mungkin tahu hoaks tapi tetap disebarkan, ataukah ada alasan lain, saya tidak tahu persis.
Di berbagai grup WA, hoaks-hoaks berseliweran dengan bebasnya. Penghuni grup WA seolah-olah berlomba menyebarkan informasi sesat tersebut mungkin agar dikatakan sebagai orang yang “pintar” atau menguasai informasi—meskipun hoaks saja.
Saya pernah beberapa kali keluar dari grup WA karena malas melihat perdebatan teman-teman di grup tersebut mengenai suatu isu yang belum jelas kebenarannya. Bahkan gegara perdebatan itu, sampai mengakibatkan renggannya tali silaturahmi dan persahabatan di antara mereka.
Muhammadiyah Sejati Pemberi Solusi
Warga Muhammadiyah yang saya tahu, biasanya berwatak relegius, rasional, iman dan akhlaknya baik, tetap sopan kepada semua orang—termasuk kepada lawan sekalipun, berjiwa solutif di mana pun dan dalam kondisi apa pun.
Intinya, tidak pernah melakukan hal-hal yang tidak produktif, baik di media sosial maupun di dunia nyata. Tidak pernah sedikit pun membikin keributan atas sebuah isu yang belum jelas.
Selain itu, rata-rata literasi warga Muhammadiyah cukup kuat sehingga cakap dalam membahas suatu isu dan tidak mudah terprovokasi. Tidak pernah memperkeruh suatu persoalan, tetapi sebaliknya, sekali lagi, warga Muhammadiyah selalu menjadi panutan dan pemberi solusi kepada siapa pun tanpa menyinggung orang yang diberi solusi.
Keren kan? Ya itulah Muhammadiyah yang sejati. Oleh karena itu, saya suka garuk-garuk kepala karena heran kalau ada orang mengaku warga Muhammadiyah, tetapi masih gemar menyebarkan informasi tidak jelas di media sosial yang isinya provokatif dan bahkan menyinggung SARA serta golongan.
Apakah tidak bisa kita ini bermuhammadiyah dengan santai—bahasa anak sekarang: santuy— dan “bermain cantik” seperti dulu? Muhammadiyah dalam memandang suatu persoalan bangsa, apalagi yang berkaitan dengan agama, menurut pandangan subjektif saya, tidak pernah grasak-grusuk mengambil keputusan dengan nada emosi dan perlawanan.
Kecipratan Dosa Share
Saya sering memperhatikan teman saya di media sosial. Dia sering posting informasi dan video yang bernada provokatif yang bersumber dari media online tertentu. Kemungkinan dia hanya share saja tanpa mengecek atau menganalisis kebenaran informasi tersebut.
Bagaimana reaksi teman-temannya di kolom komentar? Sudah bisa ditebak, isinya komentar bernada hujatan semua. Bahkan sampai bawa-bawa alasan perbedaan pilihan politik masa lalu yang sebetulnya tidak penting sama sekali. Kaya tidak ada kerjaan saja.
Mem-posting informasi di media sosial yang belum jelas kebenarannya, kemudian banyak orang, bahkan ratusan, yang juga ikut berkomentar negatif atas postingan tersebut, apakah enggak takut kecipratan dosanya?
Satu kali tanam bibit keburukan, ratusan orang ikut menghujat, saya yakin orang posting itu akan kebagian dosanya atau ikut berdosa.
Rasulullah jauh-jauh hari sudah mengingatkan, kalau kita berbuat suatu kebaikan kemudian ada orang-orang mengikuti kebaikan tersebut, maka kita akan mendapatkan pahala kebaikan dari orang-orang yang mengikuti kebaikan diri kita.
Nah sebaliknya, kalau kita berbuat keburukan (termasuk di media sosial) kemudian orang-orang mengikuti keburukan yang kita lakukan, niscaya dosa mereka akan sampai juga kepada kita.
Kalau ingat inti hadits ini, kita akan berpikir ribuan kali kalau mau posting sesuatu hal di media sosial. Sebab apa? Efeknya sangat dahsyat. Satu kali posting hoaks, maka postingan itu bisa saja belasan sampai puluhan kali diposting ulang oleh orang lain.
Mending kalau isinya mengenai nasihat agama dan kebaikan. Nah kalau isinya narasi negatif bahkan hujatan, apakah kita sanggup mempertanggungjawabkannya di akhirat kelak? Oh tentu berat sekali. Bahkan sangat berat, kalau tidak bertobat.
Kritis terhadap isu dan persoalan bangsa memang harus, tetapi gemar menyebarkan hoaks apalagi membikin narasi-narasi negatif di media sosial agar orang lain tersinggung, sebaiknya jangan dilakukan. Itu bukan karakteristik warga Muhammadiyah. Sebaliknya, laku seperti itu justru hanya akan mempermalukan dirinya sendiri yang akan membuat orang lain antipati.
Menguatkan Literasi Warga Muhammadiyah
Hemat saya, di era digital dan medsos saat ini, penting untuk meningkatkan literasi agar kemampuan kita dalam membaca dan mengolah suatu persoalan—misalnya di media sosial—lebih cerdas lagi. Khususnya literasi mengenai Muhammadiyah itu sendiri.
Selain itu, dengan meningkatkan daya literasi, kita juga semakin paham bahwa persoalan apa pun tidak mesti diselesaikan secara emosional dan membabi buta menuduh si A atau si B. Termasuk tidak berdebat mengenai perkara yang tidak perlu di media sosial dan grup-grup WA.
Saya pribadi ingin bermuhammadiyah dengan santai tapi serius. Bermuhammadiyah serius tapi tetap santai. Toh tidak ada ruginya kalau seperti itu dibandingkan dengan menghabiskan waktu berdebat di media sosial mengenai isu yang belum jelas sumber dan kebenarannya.
Esensinya, ketika saya menjadi warga Muhammadiyah, maka saya harus siap menjadi orang yang mudah menolong dan memberikan solusi atas suatu persoalan. Sekecil apa pun itu. Sesuai dengan kemampuan. Bukankah Muhammadiyah juga dari awal berdiri sampai hari ini seperti itu?
Bangsa ini kekurangan sekolah, Muhammadiyah mendirikan sekolah. Bangsa ini kekurangan kampus, Muhammadiyah mendirikan kampus. Bangsa ini kekurangan rumah sakit, sejuruh kemudian Muhammadiyah langsung mendirikan rumah sakit.
Saya kira keluarbiasaan Muhammadiyah—dan tentu teladan tokoh-tokohnya—terlalu banyak kalau harus dituliskan di sini. Tugas kita adalah membaca dan mempelajari itu semua agar kita mampu menjadi kader yang baik, minimal tidak lagi menyebarkan hoaks dan informasi yang bernada provokatif di media sosial. Siapkah kita? (*)
Co-Editor Darul Setiawan. Editor Mohammad Nurfatoni.