Berkorban untuk Generasi Penerus, Khutbah Idul Adha 2021 oleh Dr H Syamsudin MAg, Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur.
PWMU.CO – Kita awali pagi hari 10 Dzulhijjah ini dengan memanjatkan syukur ke hadirat Allah SWT, yang telah memanjangkan usia kita, sehingga hari raya demi hari raya, kita lalui dalam limpahan rahmat-Nya yang tak terhingga.
Sehari yang lalu di Padang Arafah, atau padang pengakuan dosa, saudara-saudara kita yang sedang melaksanakan haji, mengakui kelemahan dan kerendahan dirinya, mohon ampun atas setiap dosanya.
Mengikuti kesadaran yang mereka dilakukan marilah kita sampaikan arafah kita, kita sampaikan pengakuan dosa kita di hadapan Allah SWT.
Tentu kita amat prihatin pada situasi haji tahun ini dan tahun sebelumnya. Sekitar 200 ribu delegasi haji Indonesia yang seharusnya berada di sana, di Masy’aril Haram, bersama-sama saudara-saudara seiman dari seluruh penjuru dunia.
Namun qadarullah, mereka tidak bisa berangkat, bahkan tidak sedikit yang wafat dalam penantian hajinya. Allah SWT, memberikan cobaan kepada kita, masa penantian yang panjang, harus lebih panjang lagi.
Mudah mudahan pandemi Covid-19 segera berakhir, segera dilenyapkan Allah dari muka bumi. Moga Allah mengampuni mereka, memberi pahala seperti mereka yang menunaikan haji, atau berjihad di jalan Ilahi.
Semangat Pengorbanan
Salah satu kebenaran pokok dalam kehidupan adalah bahwa setiap keberhasilan senantiasa menuntut semangat pengorbanan. Tanpa semangat pengorbanan, tidak aka ada kesuksesan. Begitu agung dan mulianya semangat pengorbanan itu, sehingga nilai kebalikannya pun berbanding lurus: betapa hinanya hidup tanpa semangat pengorbanan dan solidaritas sosial. Yaitu hidup egoistis yang mementingkan diri sendiri.
Semangat berkorban yang setinggi-tingginya dan setulus-tulusnya telah dicontohkan oleh Nabi Ibrahim alaihissalam. Yaitu ketika dia diperintahkan untuk menempatkan anak istrinya di lembah gersang yang ada di Arabia. Kemudian diperintahkan mengorbankan putranya tercinta: Ismail.
Padahal Ismail itu adalah anugerah Tuhan dari doa panjang yang ia panjatkan. Namun demi rida Allah, dan demi kebahagiaan yang abadi, kedua ayah dan anak itu tunduk dan patuh kepada perintah Allah.
Marilah kita telaah lebih mendalam lagi kehidupan Ibrahim, seorang Nabi yang doanya paling banyak diabadikan dalam al-Quran. Dalam Surat Ibrahim 35, Nabi Ibrahim berdoa:
وَإِذْ قَالَ إِبْرَاهِيمُ رَبِّ اجْعَلْ هَذَا الْبَلَدَ آمِنًا وَاجْنُبْنِي وَبَنِيَّ أَنْ نَعْبُدَ الْأَصْنَامَ
“Dan (ingatlah), ketika Ibrahim berkata: “Duhai Tuhanku, jadikanlah negeri ini (Mekkah), negeri yang aman, dan jauhkanlah aku beserta anak cucuku daripada menyembah berhala-berhala.”
Pada ayat ini, Nabi Ibrahim mohon kepada Allah agar kota Mekkah dan sekitarnya dijadikan sebagai kota aman yang berkesinambungan hingga akhir masa. Atau menganugerahkan kepada penduduk dan pengunjungnya kemampuan untuk menjadikannya aman dan tenteram.
Permohonan ini, bukan berarti menjadikannya aman secara terus-menerus tanpa peran manusia atau amnu takwiniy. Yang beliau mohonkan itu adalah amnu tasyri’iy, yakni permohonan kiranya Allah menetapkan hukum keagamaan yang mewajibkan orang untuk mewujudkan, memelihara, dan menjaga keamanan kota Makkah dan sekitarnya.
Manusia pada umumnya sejak dahulu hingga kini memang menghormati kota Mekkah, baik secara tulus dan didorong ketaatan beragama maupun melalui adat kebiasaan yang berlaku pada penduduknya atau peraturan yang ditetapkan oleh penguasanya yang melarang non-Muslim memasukinya.
Doa Nabi Ibrahim pada ayat 35 ini dikabulkan Tuhan. Allah SWT, telah menjadikan negeri Makkah dan sekitarnya, menjadi tanah dan tempat yang aman bagi orang-orang yang berada di sana. Di wilayah itu dilarang menumpahkan darah, menganiaya orang, membunuh binatang, dan menebang tumbuh-tumbuhan.
Tiga Makna Surat Ibrahim Ayat 35
Oleh para ahli, ayat di atas dijadikan sebagai pijakan konsep lingkungan pendidikan. Hubungannya dengan hal tersebut, karena kita mengenal istilah tri pusat pendidikan.
Tiga area atau lingkungan yang secara langsung atau tidak langsung di dalamnya terjadi kegiatan belajar mengajar. Yaitu lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat. Mari kita hayati bersama-sama ayat pendek yang menjadi doa nabi Ibrahim di atas.
Pertama, terdapat hubungan yang kuat antara penggal awal dan penggal akhir dari ayat tersebut. Yaitu antara lingkungan aman dengan lahirnya generasi ahli tauhid, yang indikatornya adalah terjauhkannya seseorang dari penyembahan kepada berhala.
Hubungan itu memberikan suatu pemahaman, bahwa di antara syarat yang harus ditempuh guna melahirkan generasi ahli tauhid, adalah harus meletakkan mereka dalam lingkungan pendidikan yang aman.
Makna aman di sini adalah dari segala hal yang berpotensi menghambat bahkan menggagagalkan internalisasi nilai-nilai luhur oleh suatu generasi kepada generasi berikutnya. Di mana tujuan dari internalisasi ini, adalah agar mereka memiliki kesiapan ilmu dan mental di dalam menghadapi dan menyelesaikan problem hidupnya.
Hambatan-hambatan ini adalah semua bentuk dekadensi moral, yang di antaranya berupa miras, narkoba, pornografi, pornoaksi, serta dekadensi moral yang lainnya.
Kedua, dalam doa-doa yang dipanjatkan, Nabi Ibrahim selalu membawa serta anak dan keturunannya. Ada disebut banin (putra-putra), ada juga disebut dzuriyyah (keturunan). Ini menunjukkan Nabi Ibrahim sebagi sosok yang visioner dan berwawasan luas, sehingga tidak berpikir tentang keselamatan dan kesuksesan dirinya saja.
Namun juga berfikir tentang keselamatan dan kesuksesan generasi-generasi yang menjadi penerusnya. Tidak mudah tertipu oleh kesenangan sesaat dan kepentingan jangka pendek, kemudian melupakan kesenangan jangka panjang dan kebahagiaan abadi.
Ketiga, menurut para mufassirin, ada hal yang unik dalam doa Nabi Ibrahim ini. Yaitu ketakutan Ibrahim untuk terjerumus pada penjembahan berhala. Bukankah Ibrahim seorang utusan Allah, yang tentu saja imannya kuat dan mantab.
Mustahil seorang rasul utusan Allah terpeleset ke dalam kesyirikan atau penyembahan kepada berhala. Tapi nyatanya dalam doanya ia katakan, “Wajnubni wa baniyya anna’budal ashnaam ( jauhkanlah aku beserta anak cucuku daripada menyembah berhala-berhala)”.
Ashnaam, bentuk jamak dari shaman, memiliki makna berhala. Dalam bentuknya yang konvensional ia biasanya berwujud patung pahatan kayu, batu, logam yang disembah dan dipuja. Namun oleh para mufassirin dikatakan, “Kullu maa yusghulunnasa fa huwa shaman (segala sesuatu yang mengganggu seseorang dari mengingat Allah, maka sesuatu tersebut adalah berhala)”.
Di sinilah berhala bisa berupa apa saja. Bisa harta, pangkat, jabatan, status sosial, bahkan istri dan anaknya. Jika semuanya tadi menghalangi seseorang dari dzikir kepada Allah, maka namanya berhala.
Dalam konteks ini, yakni dalam konteks menjaga kejernihan tauhid dari segala hal yang akan mengotorinya, nabiyullah Ibrahim benar-benar menjadi teladan bagi umat manusia. Mari kita renungkan bersama ayat berikut ini:
رَبِّ هَبْ لِي مِنَ الصَّالِحِينَ (100) فَبَشَّرْنَاهُ بِغُلَامٍ حَلِيمٍ (101) فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ السَّعْيَ قَالَ يَابُنَيَّ إِنِّي أَرَى فِي الْمَنَامِ أَنِّي أَذْبَحُكَ فَانْظُرْ مَاذَا تَرَى قَالَ يَاأَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُ سَتَجِدُنِي إِنْ شَاءَ اللَّهُ مِنَ الصَّابِرِينَ (102)
“Duhai Tuhanku, anugerahkanlah kepadaku (seorang anak) yang akan termasuk orang-orang yang saleh. Maka Kami (Tuhan) sampaikan kepadanya kabar gembira, dengan seorang anak yang santun.
Dan ketika dia, Ismail, telah mencapai usia untuk bekerja bersamanya, Ibrahim berkata kepadanya, ‘Wahai anakku, sesungguhnya aku telah melihat dalam tidurku bahwa aku mengorbankan engkau. Maka pikirkanlah, bagaimana pendapatmu?’ Dia, (Isma’il), menjawab, ‘Wahai bapakku, laksanakanlah apa yang telah diperintahkan kepadamu itu, dan engkau akan mendapati diriku insya Allah termasuk mereka yang tabah’. (ash-shaffaat: 100-102).
Begitulah rekaman dalam Kitab Suci tentang kisah dua insan, ayah dan anak, yang amat mengharukan; tentang dua hamba-Nya yang saleh yang kelak menjadi teladan bagi umat manusia tentang konsistensi dalam hal mentaati perintah Tuhan atau hanifan musliman.
Membaca kisah yang menyentuh hati itu, tentu timbul pertanyaan dalam diri kita: ,engapakah Nabi Ibrahim sampai hati bertindak mengorbankan putranya sendiri, yang telah lama didambakan, dan diperoleh setelah berusia lanjut?
Mengapa pula Ismail, sang putra, dengan penuh pasrah kepada Allah menyerahkan dirinya kepada ayahnya untuk dikorbankan?
Tidak lain karena Ibrahim dan Ismail menyadari bahwa hidup ini tidak mempunyai arti apa-apa, jika tanpa makna dan tujuan. Serta menginsafi bahwa makna dan tujuan hidup yang benar ada dalam rida Allah.
Ridha Allah itulah yang juga menjadi tujuan hidup kita. Sebab dalam rida Allah itulah kita akan merasakan kebahagiaan sejati, kebahagiaan yang kekal abadi.
Maka seperti dikatakan kaum sufi Ilahiy anta maqsūdī wa ridlāka mathlūbī. Duhai Tuhanku, Engkaulah tujuanku, dan rida-Mulah yang kucari.
Seandainya saja Ibrahim menawar perintah tersebut, dengan alasannya anaknya masih tunggal belum memiliki saudara. Seandainya ia menawar perintah dengan mengatakan, “Duhai Tuhan jangan minta ismail dariku, karena aku sangat-sangat mencintainya, nanti saja sekiranya anak saya berjumlah sepuluh, maka salah satu dari mereka akan saya korbankan untuk-Mu”.
Maka saat itulah Ibrahim telah memberhalakan Ismail. Karena cintanya kepada sang anak telah mengganggu ketulusan cintanya kepada Allah, cintanya kepada Ismail, telah mendorongnya mengabaikan perintah Allah.
Namun Ibrahim tidak seperti itu. Ia tetap sosok yang hanifan musliman, yang pasrah dalam menghadapi segala perintah Allah SWT. Walhasil, hakikat penyembelihan Ismail adalah penyembelihan berhala-berhala manusia. Yaitu penyembelihan segala hal yang mengganggu bahkan menghalangi cinta manusia kepada Tuhannya. Wallahu a’lam. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni