‘Surat’ Mahbub Djunaidi untuk UI, oleh M. Anwar Djaelani, tinggal di Sidoarjo.
“Jika politik itu jalan besar, universitas akan bikin jembatan penyeberangan melintasi kepalanya. ….. Pencemaran harus dicegah mulai dini, karena itu sebaiknya kampus hanya diberi air susu ibu” (Mahbub Djunaidi, 1982).
Kelabu di UI
“UI, Kampus Perjuangan”. Itu, sebutan legendaris, sering kita dengar. Bagaimana sekarang? Sila nilai sendiri, terutama ketika ada drama berjudul: “Mahasiswa, Kritik, dan Tragedi Statuta UI”.
Bahwa, dalam beberapa waktu terakhir ini, ada geger di UI. Semua, bermula saat BEM UI mengritik secara tajam Jokowi dan itu dibagikan di akun media sosial mereka: Jokowi “The King of Lip Service”.
Apa dasar kritik itu? Dalam catatan BEM UI, banyak janji Jokowi yang tidak ditepati. Mereka menyebut sang presiden kerap mengobral janji, tapi realitanya sering tak selaras. “Katanya begini, faktanya begitu,” kata mereka.
Tak lama, pengurus BEM UI dipanggil Rektor terkait poster “Jokowi: The King of Lip Service” itu. Agenda itu berlangsung pada hari libur, Ahad 27 juni 2021.
Tentu, kita bisa membayangkan makna “pemanggilan” aktivis mahasiswa oleh pimpinan UI itu. Sementara, banyak yang menilai aksi BEM UI itu sebagai sesuatu yang positif dan dalam batas kewajaran.
Bahwa, aksi itu sekadar sebuah refleksi kritis. Aksi itu, bagian dari idealisme mahasiswa. Aksi itu, sebentuk kepedulian mahasiswa terhadap bangsa dan negara. Aksi itu, salah satu pelaksanaan hak kebebasan berpendapat. Aksi itu, bagian dari proses pematangan kepemimpinan mahasiswa sebagai calon pemimpin bangsa.
Menyusul dua fragmen di atas yaitu kritik mahasiswa dan pemanggilan mahasiswa, mencuat kabar tak sedap. Bahwa, Rektor UI Prof. Ari Kuncoro merangkap jabatan, sebagai Rektor UI (periode 2019-2024) dan sebagai Wakil Komisaris Utama Bank BRI sejak 2020. Posisi rangkap jabatan ini menyalahi aturan di Statuta UI. Publik pun ramai menyoal.
Kehebohan tak lalu surut seiring perjalanan waktu. Sebaliknya, malah menjadi-jadi. Hal ini karena atas pelanggaran terhadap peraturan yang telah jelas, justru Statuta UI yang diubah.
Lihatlah berita ini: “Jokowi Ubah PP Statuta UI, Rektor Boleh Rangkap Komisaris” (www.republika 20 Juli 2021). Lewat perubahan itu, rangkap jabatan Rektor UI dibolehkan.
Selanjutnya, bisa ditebak respon masyarakat. Mereka menyoal sikap semaunya sendiri dari penguasa. Mereka mengecam kekuasaan yang dengan mudah mengubah-ubah peraturan untuk menyelamatkan kepentingannya sendiri.
“Surat Cinta”
Atas geger di UI ini, menarik jika kita buka-buka koleksi kolom Mahbub Djunaidi. Kolomnis beken yang lahir pada 1933 dan wafat pada 1995 ini menulis di Tempo 16 Februari 1982. Judulnya, “Pahlawan dari Salemba”. Di tahun 1982, UI belum punya kampus di Depok. Di tahun itu, Salemba (nyaris) identik dengan UI yang beralamat di sana. Artinya, judul itu cukup komunikatif di kala itu.
Kolom itu ditulis sang Pendekar Pena untuk menyambut rektor baru UI di kala itu yaitu Prof. Dr. Nugroho Notosusanto. Bahwa, secara umum, Mahbub Djunaidi menaruh hormat kepada warga kampus yang sering disebut sebagai (kaum) intelektual itu. Hal itu, karena mereka punya martabat laksana pahlawan.
Sikap hormat Mahbub Djunaidi kepada intelektual antara lain disandarkan kepada pemikiran Bergson. Filosof yang disebut terakhir itu menaruh penghormatan tinggi kepada intelektual semata-mata karena pengabdian dan kesetiaannya kepada masyarakat sebagai sumber segala kehidupan.
Selanjutnya, bukan kolomnis hebat, jika Mahbub Djunaidi tak mencandai situasi. Maka, di antara “kenakalan” Mahbub Djunaidi adalah ketika dia menggiring pembaca untuk percaya bahwa kepada Nugroho Notosusanto bisa disematkan berbagai sebutan yang boleh jadi patut disandangnya. Di antara sekian banyak sebutan yang disodorkan Mahbub Djunaidi, salah satunya adalah rektor sebagai Consensus Seeker. “Mahasiswa,” tulis Mahbub Djunaidi, “Akan memandang rektor tipe Consensus Seeker bagaikan calon mertua yang sudi membukakan pintu malam-malam tanpa gerutu”.
Selepas menulis itu, muncullah sejumlah kalimat Mahbub Djunaidi yang paling penting dan paling relevan untuk UI saat ini.
Bahwa, “Ada satu sebutan yang dijauhi rektor seperti penduduk kampung menjauhi (penyakit) muntaber: politikus. Tak ada itu politik-politikan karena yang tersedia cuma ilmiah-ilmiahan. ….. Kaum kampus berpikir ilmiah, kaum politik berpikir entah cara apa, itu pun kalau boleh disebut berpikir” (Mahbub Djunaidi, Kolom demi Kolom, 2018: 273-274).
Yang Terhormat, UI!
Meski “Pahlawan dari Salemba” ditulis pada 1982, subtansi kolom Mahbub Djunaidi itu masih sangat relevan dengan situasi kini terutama terhadap apa yang sedang terjadi di UI. Pertama, mestinya pimpinan universitas lebih memosisikan diri sebagai Consensus Seeker. Lebih berperan sebagai pencari kesepakatan, dalam hal kebaikan. Kritik itu baik dan tak seorangpun bisa menghindarinya.
Terkait itu, melakukan kritik adalah langkah benar di jalan kebaikan. Oleh karena itu, ajaklah mahasiswa berdialog dan bukan dalam bingkai “dipanggil”. Sebagai pimpinan universitas, jadilah seperti-meminjam Mahbub Djunaidi-: “Calon mertua yang sudi membukakan pintu malam-malam tanpa gerutu.”
Kedua, pimpinan universitas harus mampu menjunjung tinggi budaya ilmu. Di kampus, “Tak ada itu politik-politikan karena yang tersedia cuma ilmiah-ilmiahan,” kata Mahbub Djunaidi. Oleh karena itu, kampus harus dijauhkan dari berbagai model pencemaran, sejak dini. Adapun makna “sejak dini”, termasuk dan terutama dari sisi Pak Rektor sendiri. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni