PWMU.CO – Provokasi Rocky Gerung: Ganti Rezim! Hal ini filsuf itu sampaikan dalam Peluncuran Buku Lepaskan Borgol Demokrasi M Rizal Fadillah, Sabtu (7/8/21) siang.
Mengawali pembahasannya, Rocky Gerung menegaskan, “Tadi disebut bukunya Rizal itu aset, nggak!”
“Itu liability! Itu buku yang untung doang! Nggak penting! Karena itu, nggak perlu dibaca!” lanjutnya dengan serius, lalu menambahkan, “Tapi itu kata pemerintah, bukan kata saya!” Gerrr! Spontan dirinya, moderator, dan para peserta tertawa bersama.
Tulisan Puntung Berasap, Berbahaya
Yang Rizal tulis, menurutnya, puntung berasap. “Dia memang puntung, tidak diperlukan lagi. Tapi puntungnya masih berasap. Itu bahayanya!” sambung Rocky. Sebab, di dalam buku itu, ada semacam sinopsis dari kegelisahan sekaligus keinginan untuk menghasilkan yang baru.
Jadi, dia berpendapat, hal ini menjadikan buku Lepaskan Borgol Demokrasi sebagai monumen yang harus dirayakan, karena ada momentumnya. “Rizal merekam momentum itu, lalu kita jadikan monumen,” tuturnya.
Menurutnya, buku ini menguak upaya restorasi demokrasi. “Setiap kita berbicara demokrasi, apalagi dalam kritik, artinya pemerintah gagal menghasilkan demokrasi!” tegas pria kelahiran 20 Januari 1959 itu.
Anggapan yang salah menurut Rocky yaitu Jokowi sedang membangun demokrasi. Padahal, Jokowi tiba ketika demokrasi sudah ada. Demokrasi dimulai sejak tahun 1998. “Dia yang melemahkan demokrasi dengan cara memborgol demokrasi!” ungkapnya.
Rocky Gerung lantas memaparkan sebuah logika, “Kalau borgol itu kita lepas, tidak kita buang, karena kita pakai untuk memborgol dia.”
Cermin Pemerintahan Akal
Dia menekankan, dirinya menganggap demokrasi sebetulnya bukan pemerintahan orang untuk orang. Government by the people, for the people, from the people (pemerintahan oleh rakyat, dari rakyat, untuk rakyat).
Inti demokrasi sebetulnya pemerintahan akal melalui pemerintahan orang. Konsekuensinya, orang yang tidak berakal tidak boleh memimpin. Karena perlu kemampuan berpikir tajam dan mendalam untuk menghasilkan keadilan dan kemakmuran.
Buku Rizal ini, kata dia, cerminan pemerintahan akal karena dia menulis kritik. Mengingat, demokrasi dihasilkan kalau ada pertukaran akal sehat. “Yang kita tuntut hari ini melalui seri tulisan tajam Rizal, bukan menurunkan presiden, tapi mengganti presiden,” ujarnya.
Sebab, kalau menurunkan berarti makar, sedangkan mengganti presiden itu pragmatis. Kenapa harus diganti? Rocky menyimpulkan, Jokowi adalah Presiden yang terpilih dalam pemilu, tapi bukan leader (pemimpin). Dia gagal memimpin. “Kalau leadernya nggak mampu ya diganti! Masak kegagalan itu mau diperpanjang, kan nggak bisa!” ucapnya.
Dia menyatakan mengganti presiden sebelum jadwal resmi elektoral tidak inkonstitusional (melanggar konstitusi sehingga ada konsekuensi hukumnya). Melainkan ekstrakonstitusional, di luar konstitusi.
Dia juga menekankan tidak ada kekacauan, asal ada kesepakatan untuk mengganti. Kalau tidak ada kesepakatan, maka perlu mendorong terus ‘mobil mogok’ tersebut. “Itu kan orang dungu yang mendorong terus mobil mogok padahal masih ada 3 ribu km di depan,” komentar pendiri Setara Institute itu.
Masak mendorong selama itu, lanjutnya, padahal di kanan-kiri jalan ada mobil lain yang bisa kita pinjam. Rocky Gerung pun menerangkan hasil survei, dengan tuntunan akal pikiran, mestinya menganggap Presiden Jokowi tidak lagi diperlukan.
“Lembaga Survei Indonesia (LSI) bilang tinggal 43 persen, itu pun kalau percaya LSI. Biasanya saya kering separuh, jadi tinggal 17 persen,” ungkapnya.
Ekstrakonstitusional, Alternatif Percepatan Perubahan
Dia menegaskan, ini soal efektivitas kepemimpinan yang tidak lagi mampu menghasilkan tuntunan. Dia mengajak kembali pada prinsip politics is pilar of the possible, seni tentang yang mungkin.
Kalau yang mungkin terhalang aturan? “Kalau gitu kita bikin politik bukan sekadar seni yang mungkin, tapi seni mengabaikan ketidakmungkinan: the art of attacking the impossible,” ajaknya.
Tentu ada opini buzzer yang terus-menerus digaji negara untuk mengumpulkan sinisme atau pembangkangan. Tapi katanya tidak perlu memperhatikan buzzer yang keras kepala itu. “Sebenarnya apa gunanya buzzer keras kepala, kalau kepalanya pecah juga nggak ada yang tumpah,” ucapnya.
Dia mengatakan ingin situasi hari ini diolah untuk menghasilkan perubahan yang dipercepat secara ekstrakonstitusional. Kemudian, harapannya, perubahan ini menjadi dasar demokrasi yang lain. Bukan untuk menghentikan demokrasi.
“Ekstrakonstitusional dianggap tidak demokrasi, justru itu demokrasi! Sebagai jalan keluar alternatif, ” tegasnya.
Pencernaan Politik Istana Terganggu
Rocky juga menilai pencernaan politik istana terganggu, sehingga tidak bisa mencernakan hasil reformasi. Dulu ada wartawan yang bertanya pada filsuf Perancis, “Profesor, apa yang menyebabkan demokrasi membusuk di Athena yang merupakan tempat dilahirkannya demokrasi?”
Sang filsuf menjawab, ibarat buah, demokrasi itu bagus untuk tubuh manusia. Tapi hanya lambung sehat yang mampu mencernanya.
Maka Rocky Gerung melontarkan pertanyaan etis sekaligus politis, “Lambung macam apa yang ada di istana sehingga gagal mencerna buah reformasi yang adalah demokrasi?”
Kemudian, dia mengajak untuk menjawab ini dengan tujuan menghasilkan ulang Indonesia menuju akal sehat kemakmuran. Dia lalu membayangkan, 17 Agustus itu mungkin periode end game-nya berlangsung.
“Tentu kita tidak menginginkan, inspektur upacara 17 Agustus bukan lagi Pak Jokowi. Mungkin masih Pak Jokowi, tapi setelah itu akan terjadi semacam pemulihan akal sehat: ‘Oke Pak Jokowi silakan memimpin upacara terakhir di tahun ini!’,” ujarnya.
Karena setelah itu, sambungnya, akan ada relasi baru dengan kekuasaan: perubahan sejarah ekstrakonstitusional. “Saya hanya mengajukan provokasi!” ujarnya. (*)
Penulis Sayyidah Nuriyah Editor Mohammad Nurfatoni