PWMU.CO – Pemimpin Harus Membuka Diri untuk dikritik. Ketua Forum Ulama Ummat Indonesia (FUUI) Jawa Barat KH Athian Ali mengajak bercermin dari pidato Abu Bakar Ash-Shiddi dalam Peluncuran Buku Lepaskan Borgol Demokrasi, Sabtu (7/8/21) siang.
KH Athian Ali mengatakan, sebagai Muslim tentu menyakini sepenuhnya Allah yang menciptakan kita. Sehingga, Allah yang paling tahu bagaimana kita menjalani kehidupan ini.
Allah SWT mengatakan, kehidupan negara yang menjadi idaman setiap orang—baldatun thayyibatun warabbul ghafur (negeri aman sentausa dalam ridha Allah)—tidak mungkin tercapai kalau salah satu tonggaknya tidak tegak.
“Yaitu amar makruf nahi mungkar atau watawa shaubil haq. Karena setiap manusia berpotensi melakukan kesalahan,” ujar Kiai yang pernah menjabat di MUI itu.
Pemimpin Salah, Negara Rugi
Tapi, lanjutnya, yang salah tidak boleh dibiarkan. Seorang rakyat kalau melakukan kesalahan mungkin yang merugi cuma beberapa orang. Tapi kalau pemimpin yang melakukan kesalahan dan terus dibiarkan, maka yang merugi adalah kehidupan masyarakat atau negara itu, 220 juta rakyat yang dia pimpin.
Maka, menurutnya, setiap pemimpin harus membuka diri untuk menerima kritik, baik yang sifatnya lembut maupun keras. Qulil Haq walau kana murron (sampaikanlah walaupun itu pahit).
Negeri ini menurutnya sedang kurang sehat, sehingga perlu upaya untuk bersama menyehatkan negeri ini. KH Athian Ali lantas mengisahkan ketika Abu Bakar Ash-Shiddiq ra secara resmi diangkat menjadi khalifah menggantikan kepemimpinan Rasulullah SAW.
Pidato Khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq
Abu Bakar berpidato di awal pemerintahannya. “Wahai saudara-saudaraku, sekarang saya diangkat menjadi pemimpin kalian atas keinginan kalian sendiri. Tapi itu bukan berarti saya lebih baik dari kalian. Allahu akbar!” ujarnya.
Demikian dia menggambarkan pemimpin yang menyadari siapa dirinya. Padahal Abu Bakar orang yang terpuji. Dia umat Rasulullah pertama yang dijamin masuk surga. Tapi ketika diangkat menjadi pemimpin, dia sadar cuma manusia biasa yang sangat mungkin berbuat salah.
Abu Bakar juga mengatakan, “Jika nanti dalam kepemimpinan saya, saya berbuat benar, memikul amanah kepemimpinan ini dengan sebaik-baiknya, maka tidak ada alasan bagi kalian kecuali mendukung kepemimpinan saya.”
“Tapi andaikan nanti saya melakukan hal yang tidak benar, tidak amanah, dengan amanah yang dipikulkan pada pundak saya, tegur saya. Kalau perlu jauhkan saya dari posisi ini!” tegas Abu Bakar Ash-Shiddiq.
Lalu dia juga mengatakan, “Orang yang lemah di antara kalian, kuat di sisiku. Saya akan bela dia sampai dia memperoleh hak-haknya. Sementara orang yang kuat diantara kalian, lemah di sisiku. Sampai dia betul-betul memenuhi kewajibannya dan memenuhi hak orang-orang yang lemah.”
Taati dan Tegur Kepemimpinan
“Kalian wajib taat pada kepemimpinan saya, selama saya taat pada Allah dan Rasul-Nya, pada aturan dan hukum. Jika saya sudah tidak taat pada aturan dan hukum, tidak ada lagi kewajiban taat atas kalian,” sambung Abu Bakar Ash-Shiddiq ra.
Demikian juga ketika Umar bin Khattab ra menggantikan kekhalifahan Abu Bakar Ash-Shiddiq. Dia juga menyampaikan pidato yang sama. Usai Umar menyampaikan pidatonya, sekelompok pemuda berdiri.
Lalu mereka mengangkat pedang-pedangnya dan berkata, “Wahai Umar, andaikata nanti dalam kepemimpinanmu kamu berbuat kesalahan, menyimpang dari amanah yang dipikulkan, kami siap menegurmu dengan pedang-pedang ini!”
Maka Umar mengatakan, “Alhamdulillah, segala puji bagi Allah. Telah ada pemuda yang siap menegurku dengan pedang-pedangnya.”
Tak Perlu Demo, Asalkan ..
Menurut KH Athian Ali, inilah tonggak kehidupan bermasyarakat-bernegara yang harus tegak. Agar kesalahan itu tidak terbiarkan begitu saja dan menimbulkan banyak masalah. Jika membandingkan dengan kondisi negara demokrasi sekarang, menurutnya sangat jauh.
Dia menyatakan, seharusnya demo itu tidak perlu jika Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) benar-benar berfungsi. Tapi, kesan yang dia tangkap, DPR tidak mewakili suara rakyat dalam tahun-tahun terakhir ini. “Suara rakyat jelas berbeda dengan apa yang diputuskan wakil rakyat,” ujarnya.
Jadi dia menyebutnya dengan istilah Dewan Perwakilan Pemerintah. “Karena, tampaknya, DPR sepakat untuk menyanyikan judul lagu yang sama dengan pemerintah. Bahkan bukan hanya judul lagunya, tapi nada dan iramanya nyaris sama,” ungkapnya.
Dia berpendapat, DPR seperti shummum bukmun ‘umyun. Mereka tuli, bisu, dan buta.
Pembuka Borgol
Dia menekankan, orang yang mengkritik dan menegakkan amar makruf itu sangat mencintai negeri ini. Jadi harusnya pemerintah bersyukur dengan keberadaan mereka yang ingin memperbaiki. Justru yang berbahaya bagi pemerintah adalah buzzer yang terus menyanjung-nyanjung yang mungkin salah.
Menanggapi istilah M Rizal Fadillah ‘lepaskan borgol demokrasi’, dia mencoba menjawab pertanyaan siapa yang bisa melepas borgol itu. “Saya lebih setuju kalau yang melepaskannya bukan rakyat, karena itu nanti terlalu mahal harganya,” ungkapnya.
Dia menyimpulkan, “Yang memborgol dan memegang kunci borgol tentu pihak yang paling hafal untuk membukanya. Kita berharap pemerintah segera melakukan ini demi keselamatan kita semua.” (*)
Penulis Sayyidah Nuriyah Editor Mohammad Nurfatoni