PWMU.CO – Empat siswa Smamda Surabaya mengikuti Bridge Student Workshop secara virtual selama dua hari, Selasa dan Kamis (3, 4/8/21).
Keempat siswa SMA Muhammadiyah 2 (Smamda) Surabaya tersebut adalah Elysia Callista Wibowo XII MIPA 6, Dio Dharmansyah Saputra XII MIPA 6, Maritza Pramuditha Apsari XII MIPA 8, dan Naura Aiswarya Asri Wicaksono XI MIPA 3.
Kegiatan yang berjudul ‘Mengembangkan Pembelajaran Sosial, Emosional dan Hubungan yang Saling Menghargai dalam Lingkup Gender Equity, Disability and Social Inclusion (GEDSI)’ ini dihadiri kurang lebih 60 siswa perwakilan sekolah dan madrasah yang tergabung dalam Program Bridge.
Guru Bridge Smamda sekaligus pendamping peserta workshop Agung Prasetyo MPd mengatakan kurang lebih 15 provinsi di Indonesia yang mengikuti kegiatan ini. Di antaranya Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, DI Jogjakarta, Bali, NTB, NTT, Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, dan Kalimantan Barat.
“Melalui kegiatan ini, siswa diharapkan dapat turut serta dalam menciptakan lingkungan belajar dan sosial yang aman, positif, menghargai keberagaman, perbedaan dan menghapuskan praktik-praktik diskriminasi,” ujarnya.
Harga Perbedaan
Maritza Pramudita Apsari XII MIPA 8, saat dihubungi PWMU.CO, mengatakan materi yang disampaikan banyak sekali. Ada materi tentang diskriminasi dan hal-hal yang berbau dengan GEDSI.
“Peserta webinar diajak untuk dapat menghargai berbagai macam perbedaan di tengah keberagaman yang ada. Salah satu contohnya saling menghormati dalam lingkup GEDSI,” katanya.
Dia mengatakan tidak hanya mendengarkan paparan dari Merry Ginting dan Sri Novelma, perwakilan dari Kedutaan Besar Australia serta Ms Nicole Bratchford, perwakilan dari Bridge Australia saja, peserta diajak untuk mengungkapkan pendapat dan berdiskusi.
“Dalam waktu 4 jam mulai pukul 08.30 sampai 12.30 saya tidak hanya mendapat materi saja, tapi saya bisa mengungkapkan pendapat dari materi yang disampaikan,” tuturnya.
Bermain Peran
Maritza Pramudita Apsari mengungkapkan untuk sesi hari kedua, lebih banyak melakukan praktik berupa bermain peran.
“Pada bermain Peran ini, peserta akan memerankan menjadi penyandang disabilitas agar para peserta dapat merasakan bagaimana rasanya menjadi seorang disabilitas,” katanya.
Pada kegiatan ini, lanjutnya, peserta dibagi menjadi 4 kelompok. Kelompok A akan memerankan sebagai penyandang disabilitas yang memiliki kekurangan pada bagian tangan, sehingga para peserta yang mendapatkan peran ini diperintahkan untuk menyelotip atau melakban jari tangan mereka agar dapat merasakan sebagai penyandang disabilitas yang memiliki kekurangan pada tangannya.
“Lalu pada Kelompok B memerankan sebagai tunawicara sehingga ketika sesi ini peserta bergabung dalam kelompok ini diharapkan menonaktifkan audionya sementara waktu agar merasakan menjadi tunawicara.”
Lalu, sambungnya, pada kelompok C memerankan sebagai tunanetra sehingga para peserta yang mendapatkan peran ini diharapkan menutup mata agar dapat merasakan bagaimana rasanya menjadi tunanetra.
“Kelompok D memerankan anak mendapatkan gangguan fokus, sehingga ketika sesi ini berjalan peserta masuk kelompok ini diharapkan mensetel lagu sekencang-kencangnya agar dapat merasakan apa yang dirasakan orang yang memiliki gangguan fokus.”
Berinteraksi Langsung
Maritza Pramudita Apsari mengatakan setelah sesi bermain peran ini, peserta juga mendapatkan kesempatan untuk berinteraksi secara langsung dengan beberapa teman yang merupakan seorang penyandang disabilitas.
“Para teman penyandang disabilitas, Kak Fahri yang merupakan seorang autism dan narkolepsi. Beliau merupakan mahasiswa di Universitas Brawijaya Malang juga dan sedang menjalankan skripsi. Ada juga Kak Annisa yang merupakan seorang tunawicara yang menjadi guru,” ungkapnya.
Tahu Cara Menghargai
Dio Dharmansyah Saputra XII MIPA 6 mengaku dengan mengikuti acara ini bisa mengerti tentang cara menghargai dengan sesama, baik laki laki, perempuan, dan penyandang disabilitas.
“Selain itu dia merasa termotivasi dengan semangat penyandang disabilitas dalam menjalani hidup.”
Hal senada juga disampaikan Elysia Callista Wibowo. Siswa kelas XII MIPA 6 ini mengatakan sangat termotivasi untuk lebih peduli dengan sesama, tergerak hati, dan pikiran untuk mengubah pola pikir yang buruk mengenai perbedaan.
Kegiatan ini dilaksanakan oleh Program Kemitraan Sekolah Australia-Indonesia BRIDGE yang didanai oleh Pemerintah Australia melalui Departemen Luar Negeri dan Perdagangan (DFAT) dan diimplementasikan oleh Asia Education Foundation di bawah The University of Melbourne dan difasilitasi Tim Australia-Indonesia BRIDGE Program berkolaborasi dengan tim Australia-Indonesia Disability Research and Advocacy Network (AIDRAN). (*)
Kontributor Maritza Pramuditha Apsari dan Tanti Puspitorini. Editor Ichwan Arif.