PWMU.CO– Muslim Uganda di Distrik Mwema Ibukota Kampala mendapatkan bantuan pembangunan masjid dari Lazismu PP Muhammadiyah.
Di kampung itu warga muslim setempat shalat di masjid kecil sederhana. Dindingnya terbuat dari tanah liat dan jerami. Tiang dari kayu bekas. Alasnya berupa terpal sangat lusuh. Video kondisi masjid itu beredar di medsos.
Melihat video itu, Lazismu lantas menghubungi mitra di Uganda untuk melakukan asesmen. Setelah melakukan asesmen maka diputuskan membantu muslim di sana dengan membangunkan masjid Uganda.
“PP Muhammadiyah dan Lazismu terdorong untuk membantu masyarakat muslim Uganda agar bisa beribadah dengan layak. Maka kami putuskan menggalang dana untuk membangun masjid yang layak untuk muslim Uganda,” kata Direktur Utama Lazismu PP Muhammadiyah Sabeth Abilawa seperti ditulis Lazismu.org.
Pembangunan masjid yang akan dilakukan mulai pekan depan tersebut bekerja sama dengan komunitas Indonesia di Uganda dan volunter lokal Lazismu di negeri itu.
Sabeth Abilawa menuturkan, masyarakat Uganda sebenarnya bersaudara dengan masyarakat Indonesia dalam kemanusiaan. Sehingga pihaknya ingin membantu masyarakat negeri itu agar bisa melaksanakan ibadah dengan nyaman.
Lazismu akan membantu pembangunan masjid di salah satu negara Afrika Timur tersebut sebesar 10.738 dolar AS atau setara dengan Rp 155 juta.
Perjalanan Muslim Uganda
Islam masuk ke Uganda sekitar pertengahan tahun1844. Kelompok muslim pertama yang datang adalah para pedagang dari Oman yang masuk melalui pantai timur Afrika.
Agama Islam semakin berkembang setelah Kabaka (raja) Mutesa I yang memerintah antara tahun 1832 dan 1856 juga memeluk Islam.
Pada masa kekuasaan Mutesa I pula, bangsa Barat menginjakkan kaki untuk kali pertama di wilayah Uganda. Gelombang pertama yang datang adalah misionaris gereja Anglikan di bawah pimpinan John Speke dan James Grant pada tahun 1862. Gelombang kedua kehadiran orang-orang Eropa terjadi tahun 1875, yakni dari kelompok Henry Stanley.
Empat tahun kemudian, datang kaum Gereja Katolik Roma pimpinan Simon Lourdel. Para pendatang ini tidak menemui konfrontasi, melainkan disambut hangat oleh Mutesa I. Mereka diizinkan untuk tinggal ataupun melakukan kontak dagang.
Rektor Universitas Islam Uganda, Ahmad Kawesa Sengendo, menuturkan rentang waktu dakwah para pedagang Arab dengan warga lokal sangat singkat. Namun pedagang itu menunjukkan ajaran Islam dengan baik sehingga warga lokal tertarik mempelajarinya.
“Islam pun mulai menyebar di Uganda dari perdagangan itu,” kata Ahmad Kawesa seperti diberitakan Republik.co.id mengutip arabnews.com.
Menurut Ahmed, saat ini Uganda memiliki populasi Muslim sekitar 30 persen dari populasi keseluruhan. Itu artinya, populasi muslim mencapai sepuluh juta orang.
“Yang disayangkan, jumlah umat Islam itu selalu saja digambarkan lebih sedikit. Saya ingat betul pada sensus 1959, dikatakan jumlah muslim hanya sepuluh persen. Padahal, angka kelahiran keluarga muslim sangat tinggi,” kata dia.
Namun, kata Ahmed, ada masalah krusial lain yang perlu dipikirkan yakni kualitas sumber daya manusia begitu rendah. Itu sebabnya, peranan muslim di Uganda nyaris tak terlihat.
“Penting untuk memberdayakan Muslim Afrika untuk mendapatkan pendidikan yang lebih baik. Melalui pendidikan itu, mereka bisa menyumbang satu usaha untuk memperbaiki citra Islam,” kata dia.
Di Uganda, masih kata Ahmed, telah ada upaya untuk pemberdayaan muslim. Lagi-lagi, usaha itu harus terhenti karena perpecahan.
Sebabnya, umat Islam memiliki pekerjaan berat yang harus dimulai dari internal. “Alhamdulillah, sistem politik memungkinkan kaum muslim mempraktikkan agama mereka secara bebas. Kami tidak memiliki hambatan, kita dapat membangun sekolah-sekolah, masjid dan lainnya. Kita bisa mengajarkan anak-anak tentang Islam, kaum wanita bisa memakai jilbab, dan kita dapat melakukan banyak kegiatan Islam lainnya,” papar dia. (*)
Editor Sugeng Purwanto