PWMU.CO– Juristokrasi menghalangi perkembangan demokrasi di Indonesia sejak munculnya Mahkamah Konstitusi yang keputusan-keputusannya memengaruhi politik.
Hal itu disampaikan Prof Aidul Fitriciada dari Universitas Muhammadiyah Surakarta dalam diskusi publik Refleksi 76 Tahun Kemerdekaan RI. Diskusi ini diadakan secara daring oleh Program Magister Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Muhammadiyah Jakarta, Jumat (20/8/2021).
Juga hadir pembicara lain seperti Ketua MPR Bambang Soesatyo, Prof Siti Zuhro dari LIPI dan Rektor Univeritas Muhammadiyah Jakarta Dr Ma’mun Murod.
Aidul Fitriciada mengatakan, lahirnya Mahkamah Konstitusi memunculkan juristokrasi yang menghalangi perkembangan demokrasi di Indonesia. “Kalau kita lihat perkembangan dari kaca mata hukum sebenarnya sejak berdirinya Mahkamah Konstitusi itu sudah terjadi semacam reduksi atas demokrasi. Demokrasi yang diperjuangkan tahun 1999 itu kemudian sejak tahun 2003 justru semakin surut, semakin berkurang karena adanya yudisialisasi politik,” jelasnya.
Juristokrasi dikenal oleh Ran Hirschl. Yaitu Mekanisme dan tren pengambilan keputusan penting oleh para hakim di pengadilan yang turut memengaruhi jalannya roda pemerintahan dan kebijakan negara oleh karena paham konstitusionalisme baru yang sedang berkembang di suatu negara.
Mahkamah Konstitusi (MK) di Indonesia setiap tahunnya menyidangkan permohonan pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945, baik secara formil maupun materiil, terus meningkat.
Pertimbangan hukum yang menjadi alur dan kerangka berpikir sebelum akhirnya jatuh kepada amar putusan, menjadi tafsir resmi konstitusi oleh MK selaku the final interpreter of the constitution yang dapat dijadikan landasan penguat suatu perkara. Inilah yang disebut juristokrasi.
Pakar politik dari LIPI dan juga pengajar Magister Ilmu Politik UMJ Prof Siti Zuhro menawarkan sejumlah formula perbaikan dalam penataan sistem pemerintahan seperti penyempurnaan sistem demokrasi presidensial, menata ulang mekanisme dan persyaratan pasangan calon presiden/wakil presiden dan juga pelembagaan koalisi atas dasar platform politik yang permanen.
Isu lainnya mengenai perlunya penataan sistem perwakilan. Prof Siti Zuhro menyebutkan antara lain perlunya pembangunan sistem perwakila dua-kamar di tingkat nasiona. Kemudian perlunya meninjau ulang ruang lingkup otoritas DPR dan memperkaut fungsi legislasi DPR serta melembakan kerjasama DPR-DPD yang bersifat intraparlemen. Isu lainnya adalah menjadikan MPR sebagai lembaga joint session antara DPR dan DPD serta mengubah kepemimpinan MPR dari permanen menjadi adhoc.
Dia juga mengulas perlunya penataan pemilu dan kepartaian termasuk di dalamnya penataan kembali format pemilu ke penyelenggaraan serentak pemilu nasional dan pemilu lokal. Selain itu juga mengusulkan penataan politik hukum dan kepemimpinan politik nasional.
Keadilan dan HAM
Ketua MPR Bambang Soesatyo antara lain memaknai kemerdekaan dari perspektif akses terhadap keadilan yang masih bermasalah. Indeks terhadap keadilan tahun 2019 sebesar 69,6%. Ini mengindikasikan cita-cita Indonesia merdeka untuk mewujudkan keadilan dalam masyarakat masih menyisakan persoalan.
“Kondisi ini juga tergambar rendahnya jumlah advokat yang terdaftar di Indonesia yang hingga pertengahan 2019 yang lalu diperkirakan jumlahnya hanya sekitar 50.000 atau kurang dari 1% dari jumlah penduduk Indonesia,” tambahnya.
Dia juga menyoroti makna kemerdekaan melalui perspektif perlindungan HAM. Telah ada upaya-upaya untuk isu perlindungan HAM sebagai prioritas dari aspek legalitas konstitusi yang secara khusus menempatkan HAM dalam satu bab tersendiri Bab 10a yang terdiri dari 10 pasal.
“Namun dalam tataran realitas masih ada beberapa catatan untuk dijadikan perhatian kita bersama. Hal ini tercermin dari data Komnas HAM yang mencatat sepanjang tahun 2020 terdapat 2.841 kasus aduan pelanggaran HAM yang diterima oleh Komnas HAM,” katanya.
Pada bagian akhir, Rektor UMJ Dr Ma’mun Murod mengangkat makna kemerdekaan dari sisi Islam. “Pemimpin harus tegas kembali ke Pancasila, kembali ke nilai-nilai ketuhanan. Kita itu sebenarnya bukan negara agama tetapi negara agamis. Itu tegas dimunculkan di dalam sila yang pertama. Kemudian selain ketaatan kepada pemimpin juga ada ketaatan kepada Allah,” katanya.
“Merdeka itu ya harus ada didalamnya persamaan egaliter, ada persamaan di dalamnya antara kaya-miskin, Kopral-Jendral orang yang harta banyak dengan yang punya harta sedikit . Itu ada persamaan didepan hukum persamaan dalam pelaku tidak boleh ada diskriminasi,” jelas Rektor UMJ.
Dialog publik dipandu Wakil Rektor Universitas Muhammadiyah Jakarta Dr Endang Sulastri, dibuka Dekan FISIP UMJ Dr Evi Satispi dan dihadiri 81 orang dari kalangan akademisi, mahasiswa dan publik. (*)
Penulis Asep Setiawan Editor Sugeng Purwanto