Napi Koruptor Kok Jadi Penyuluh Anti Korupsi oleh M Rizal Fadillah, Pemerhati Politik dan Kebangsaan
PWMU.CO– Rencana KPK melibatkan narapidana koruptor melakukan penyuluhan anti korupsi menjadi di luar akal sehat. Koruptor itu bukan teladan tetapi profil yang memalukan. Aneh, apa yang sebenarnya ada dalam benak para pimpinan KPK saat ini?
Sejak Firli Bahuri memimpin KPK rasanya lembaga anti rasuah ini ruwet terus. Firli memang tidak kompeten. Nafsu kepolisian menempatkan perwiranya di mana-mana sangat tidak konstruktif. Buktinya, tidak mampu menangkap Masiku, gonjang-ganjing Tes Wawasan Kebangsaan (TWK), dan kini koruptor yang menjadi penyuluh anti korupsi.
Fasilitas Lapas untuk koruptor itu ternyaman dibanding pelaku kejahatan lain seperti pembunuh, perampok, atau teroris. Dengan kenyamanannya koruptor tidak “menderita” sehingga psikologis efek jera minim.
Bahkan koruptor dianggap bukan penjahat. Bisa pula menjadi komisaris BUMN seperti Emir Moeis di PT Pupuk Iskandar Muda.
Dalam kasus terkini korupsi Juliari Batubara ternyata hakim masih bersimpati atau mengasihani atas hinaan publik. Lalu menjadikan kecaman publik tersebut sebagai alasan hukum untuk meringankan.
Memberi penghargaan napi koruptor dengan menjadikan penyuluh anti korupsi justru memancing orang untuk tidak takut korupsi. Bahayanya jika ternyata koruptor itu justru menyampaikan pola atau kisi-kisi bagaimana caranya agar korupsi itu aman. Belajar atas kebodohan dirinya.
KPK seperti kehabisan sumber daya penyuluh yang baik. Publik melihat terjadi penyingkiran pada orang-orang yang berdedikasi tinggi. Kasus TWK adalah contoh. Maka ironi sekali jika kini KPK justru merekrut napi koruptor sebagai penyuluh.
Hal ini bagai menyapu sampah dengan sapu yang sudah menjadi sampah, menyelesaikan masalah dengan masalah, atau pembohong yang mengajak untuk jujur. Mereka masih berstatus narapidana bukan mantan yang sudah bertaubat atau teruji di masyarakat atas perilaku baiknya.
Ketika seorang petinggi partai dan anggota DPR membandingkan dengan BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme) yang juga merekrut mantan teroris maka pembandingan tersebut tidak relevan.
Terorisme tidak berorientasi pada kenikmatan hasil bahkan memiliki doktrin pengorbanan total. Motivasi keuntungan kecil dan di dalam penjara termasuk yang berat perlakuannya. Mana ada teroris bisa jalan-jalan ke luar apalagi beli rumah di belakang Lapas?
Teroris itu banyak yang menjadi korban dari sebuah skenario jahat. Lihat terorisme global di mana ISIS dan al-Qaidah yang tak bisa dipisahkan dari rekayasa Amerika. Begitu juga dengan Jamaah Islamiyah atau Anshorud Daulah ini organisasi apa? Natural atau artifisial? Berjuang untuk agama atau abal-abal?
Rasanya tidak ada koruptor yang menjadi korban dari jebakan atau permainan. Mereka berbuat untuk suatu kenikmatan yang hampir seratus persen disadari. Menguntungkan diri atau orang lain. Mencuri uang negara, suap, atau hasil mark up. Hanya kesialan saja yang menyebabkan perbuatannya diketahui sehingga kenikmatannya menjadi terganggu.
KPK yang merekrut napi koruptor untuk penyuluhan anti korupsi adalah eskalasi dari KPK yang terbukti semakin hilang akal. (*)
Bandung, 25 Agustus 2021
Editor Sugeng Purwanto