PWMU.CO – Mitos dan Fakta Kekerasan Seksual pada Perempuan. Yulianti Muthmainnah SHI MSos membahasnya dalam Pengajian Virtual Orbit bertema “Kekerasan terhadap Perempuan, Apa Solusi Islam?”, Kamis (26/8/21) malam.
Kepala Pusat Studi Islam, Perempuan, dan Pembangunan (PSIPP) Institut Teknologi dan Bisnis (ITB) Ahmad Dahlan Jakarta itu membenarkan, satu di antara tiga perempuan pernah mengalami kekerasan atau pelecehan seksual semasa hidupnya.
Dalam kajian virtual malam itu, dia membedah sebagian isi bukunya yang berjudul Zakat untuk Korban Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak.
Dia menerangkan, pelecehan seksual adalah tindakan seksual lewat sentuhan fisik maupun nonfisik dengan sasaran organ seksualitas korban. Seperti, bibir, leher, payudara, paha bagian atas, kemaluan, dan pantat.
Itu bertujuan melecehkan atau menghinakan, sehingga perempuan merasa tidak nyaman. “Tidak hanya sentuhan, tapi juga bisa perkataan!” tegasnya.
Selain itu, ada kekerasan seksual. Berupa setiap perbuatan yang merendahkan, menghina, atau menyerang terhadap tubuh yang terkait nafsu, hasrat seksual, atau fungsi reproduksi.
Lima Mitos Vs Fakta
Untuk memahami mengapa kekerasan seksual terhadap perempuan itu terus terjadi, maka perlu meninjau mitos dan faktanya. Yulianti menjabarkan lima mitos dan fakta yang terjadi.
Pertama, mitosnya, korban lebih banyak perempuan dewasa. Kenyataannya, anak-anak, remaja, nenek, sampai mayat juga mengalaminya. “Faktanya, yang menjadi korban kekerasan seksual bukan hanya perempuan dewasa, bahkan bayi perempuan juga mengalami,” tegasnya.
Mitos kedua, korban tidak berjilbab dan memakai pakaian terbuka. “Saya mendampingi korban perkosaan hingga meninggal, keduanya memakai jilbab,” ujarnya.
Dia juga menunjukkan data dari BBC (2018). Saat kejadian, 18 persen korban memakai celana atau rok panjang, 17 persen berjilbab, dan 16 persen berbaju lengan panjang.
Ketiga, mitosnya, perkosaan terjadi di malam hari. Padahal, kata dia, banyak kasus di Bengkulu, Jawa Timur, dan Manado terjadi di siang hari. Dari sumber yang sama, dia memaparkan, 35 persen pelecehan seksual terjadi di siang hari dan 25 persen di sore hari.
Keempat, ada paradigma yang menurutnya sangat merendahkan martabat perempuan dan sangat fatal. Yaitu perempuan korban perkosaan sangat menikmati hubungan tersebut. Kenyataannya, mereka depresi, trauma, sakit, gangguan jiwa, bahkan mencoba bunuh diri.
Mitos kelima, pelakunya orang lain, tidak mungkin keluarga. Faktanya, pelaku bisa ayah kandung, ayah tiri, kakak-adik, paman, kakek, suami, pacar, guru, tetangga, atau orang lain.
Paradigma Perempuan dan Pelaku
Dia menyebutkan beberapa penyebab kekerasan seksual terjadi di ruang publik. Menurut dia, ada paradigma perempuan makhluk yang lemah, tidak berakal, dan sama seperti hewan. Ada anggapan perempuan selalu berada di belakang layar, jadi seolah-olah tidak ada harganya.
“Tidak dianggap sebagai manusia utuh, sempurna, kesaksiannya tidak didengar,” ujarnya.
Tak hanya itu, menurutnya, perempuan dianggap menyetujui semua tindakan orang lain yang terjadi pada tubuhnya. Perempuan dikira senang dilecehkan seperti: disiuli dan digoda.
Selain itu, tidak ada hukuman sosial terhadap pelaku. Tidak ada mekanisme di tempat kerja, sekolah, atau di mana pun yang bisa menghukum pelaku. Dampaknya, terjadi pemakluman—laki-laki melakukan kekerasan kepada perempuan—secara terus-menerus.
Dia heran, ketika ada kasus terorisme, belum dihukum sebagai pelaku teroris, pelaku bisa mati di tempat. Ketika seorang pencuri melarikan diri, polisi juga bisa menembak pelaku di tempat. Begitu pula dengan koruptor yang dipertontonkan menggunakan baju oranye narapidana.
Berbeda dengan kasus kekerasan seksual seperti perkosaan terhadap perempuan dan anak. “Tidak pernah ada hukuman sosial sebagaimana kasus-kasus di atas! Tidak ada konferensi pers yang kemudian menangkap pelaku,” ungkapnya.
Kekerasan Seksual Hari Ini
Yulianti menyimpulkan, kekerasan seksual terus terjadi karena kita selalu abai, menganggap kasus itu tidak terjadi pada kita dan selalu menyalahkan korban. “Tidak pernah dianggap persoalan serius!” tuturnya.
Menurutnya, ini sama seperti kasus Corona. “Dulu kita cuek, tidak menganggap, tapi ketika sudah hadir di depan rumah kita, baru sadar,” ujarnya.
Aparat penegak hukum juga sulit menangkap pelaku dengan banyak alasan. “Kalau mobil kita hilang, polisi akan tanya kejadiannya di mana, kenapa bisa hilang, ibu bapak ada di mana,” ucapnya.
Tapi kalau ada perempuan lapor telah diperkosa, dia menilai justru korban perempuan yang disalahkan. Bukan mencari pelaku dan melindungi korban. Ini terlihat dari pertanyaannya, “Ketika diperkosa pakai baju apa? Pakai jilbab apa tidak? Pakai rok mini? Keluar malam atau tidak?” (*)
Penulis Sayyidah Nuriyah Editor Mohammad Nurfatoni