PWMU.CO – Fikih Perkosaan dan Perzinaan, Ini Bedanya! Yulianti Muthmainnah SHI MSos mengupasnya dalam Pengajian Virtual Orbit binaan Prof M Din Syamsuddin MA PhD, Kamis (26/8/21).
Yulianti mengungkap kesalahan signifikan berupa menyamakan perkosaan dengan perzinaan. Ketika korban melaporkan ia diperkosa, tetapi tidak bisa membuktikan atau tidak punya bukti, maka korban yang dihukum. Korban yang dianggap berzina itu dicambuk atau dirajam hingga tewas.
Pertanyaannya, mengapa beban pembuktian kasus perkosaan ada pada korban? Mengapa korban tidak dilindungi? Justru, pelaku bebas berkeliaran, mencari calon korban lainnya.
Dalam pengajian virtual bertema “Kekerasan terhadap Perempuan, Apa Solusi Islam?” itu, dia mengungkap masyarakat masih tidak bisa membedakan perkosaan dengan perzinaan, padahal keduanya jelas berbeda dalam fikih.
Fikih Perkosaan
Dalam fikih, perkosaan di-qiyas-kan dengan hirabah atau muharib. Yaitu penyerangan terhadap seseorang untuk menghina dan menyakiti.
Hukuman untuk pelaku sangat tegas dan keras. Pelaku bisa dihukum potong silang: potong tangan kanan dan kaki kiri atau kaki kanan dengan tangan kiri. Dia menegaskan, Islam tidak membebaskan hukuman pelaku perkosaan.
Menurut Imam Syafii, tambahnya, hanya memegang saja bisa dihukumi muharib kalau bertujuan merendahkan dan menyerang kehormatan perempuan. Begitu pula dengan ancaman, “Awas kalau kamu ngomong!”
Ulama sedunia berdasarkan konvensi Muktamar Nasional Negara-Negara Islam di Kroasia pada tahun 2012 memutuskan fatwa perempuan korban perkosaan boleh aborsi. Sama halnya dengan fatwa Majelis dan Tajdid Tarjih Muhammadiyah.
Perzinaan bukan Perkosaan
Dalam al-Quran, zina terjadi atas suka sama suka, antaradin. Ada kerelaan melakukan hubungan seksual. Berbeda dengan perkosaan, tidak ada kerelaan pada korban.
Selain itu, relasi dalam perzinaan bersifat setara. “Aqil-baligh, ghairu majnun, tidak gila, melakukannya secara sadar!” ujar Kepala Pusat Studi Islam, Perempuan, dan Pembangunan (PSIPP) Institut Teknologi dan Bisnis (ITB) Ahmad Dahlan Jakarta itu.
Hukum perzinaan bisa ditegakkan jika ada kesaksian orang yang melihat atau pelaku. Yaitu minimal empat saksi yang melihat ‘masuknya timba ke dalam sumur’. Berbeda dengan perkosaan yang tidak membutuhkan saksi lainnya. Kesaksian korban sangat diperhitungkan.
Hukum Islam
Dia memaparkan ada beberapa nash al-Quran yang membahas tentang ini. Yaitu dalam surat al-Israa: 70, an-Nisa: 19, at-Taubah: 71, an-Nur: 4-5 dan 33, dan al-Buruuj: 10.
Sedangkan, untuk nash hadits, pertama, ada perintah menjaga martabat manusia (HR Bukhari, Shahih, nomor Hadits 67). Kedua, ada larangan memperdagangkan perempuan, walaupun budak (HR Bukhari, Shahih, No Hadits 2277).
Imam Syafii juga menegaskan perintah menjaga kemerdekaan orang lain. Kemudian, Wahbab az-Zuhaili menyatakan perintah melindungi hak asasi manusia, perintah menjalani hubungan seksual dengan istri yang layak, dan larangan merampas kehormatan manusia.
Ada pula Majma’ al-Fiqhil Islamiy ad-Dauliy yang mengatur tentang kewajiban menghormati perempuan di setiap lini, larangan mengeskploitasi perempuan di media, dan perintah memastikan perempuan sebagai kelompok sosial rentan untuk tidak dikorbankan dalam konflik apapun.
Apa Solusi Islam?
Untuk kasus kekerasan terhadap perempuan yang marak terjadi, kata Yulianti, Islam memberikan solusi. Pertama, perintah Allah jelas dalam surat an-Nur ayat 30:
قُلْ لِّـلۡمُؤۡمِنِيۡنَ يَغُـضُّوۡا مِنۡ اَبۡصَارِهِمۡ وَيَحۡفَظُوۡا فُرُوۡجَهُمۡ ؕ ذٰ لِكَ اَزۡكٰى لَهُمۡ ؕ اِنَّ اللّٰهَ خَبِيۡرٌۢ بِمَا يَصۡنَـعُوۡنَ
Artinya, katakanlah kepada laki-laki yang beriman, tundukkan pandangan mereka dari melihat hal-hal yang tidak halal dan menjaga kemaluannya.
Dalam ayat lain juga diperintahkan, jangan menyentuh yang bukan haknya. “Tidak boleh menyentuh perempuan, apalagi tujuannya menghinakan,” ujarnya.
Selain itu, Islam melarang melakukan catcalling (panggilan yang merendahkan) seperti, “Hai cewek godain kita dong, cantik banget! Aduh bohay!”
Dalam al-Quran juga diperintahkan, “Janganlah suatu kaum memanggil panggilan yang buruk kepada kaum yang lain, karena bisa jadi yang dipanggil dengan panggilan buruk itu lebih baik dari yang memanggil.”
Untuk itu, dia mengimbau hendaknya mengimplementasikan rasa takut kepada Allah dalam beragama. “Kalau kita merasa beriman, takut kepada Allah. Beragama tidak ada rasa takut ya jadinya melakukan pelecehan seksual,” ujarnya.
Terkahir, Yulianti mengatakan, perlu mengingat makna pakaian dalam hubungan suami-istri. Artinya, saling melindungi dari kejelekan. Sebagaimana dalil, “Kamu adalah pakaian bagi istrimu dan istrimu adalah pakaian bagimu.” (*)
Penulis Sayyidah Nuriyah Editor Mohammad Nurfatoni