PWMU.CO – Perempuan Jadi Korban Pelecehan Seksual, Salah Siapa? Kepala Pusat Studi Islam, Perempuan, dan Pembangunan (PSIPP) Institut Teknologi dan Bisnis (ITB) Ahmad Dahlan Jakarta Yulianti Muthmainnah SHI MSos menjawab dengan tegas.
Di tengah diskusi malam (26/8/21) itu, Asep—salah satu peserta—ikut berpendapat. Karena kekerasan bukan hanya masalah perempuan tapi juga laki-laki, maka cara pandang dalam penyelesaiannya harus seimbang dan adil.
Termasuk bagaimana memaknai surat an-Nur ayat 30, bagi laki-laki diperintahkan untuk menundukkan pandangan. Tapi, lanjutnya, pada ayat 31 juga ada perintah bagi kaum perempuan untuk menundukkan pandangannya, yang ayatnya lebih panjang dari ayat untuk kaum laki-laki.
Perempuan Mengumbar Tubuhnya
Menurutnya, pendidikan untuk menghargai kaum perempuan tidak hanya ditujukan kepada laki-laki saja. Tapi dia mengimbau kaum perempuan untuk mendidik dirinya sendiri. Yaitu dengan menjaga dirinya, sehingga tidak mengumbar aurat.
Dia mencontohkan bagaimana perempuan ‘mengumbar’ tubuhnya dalam tayangan TikTok ataupun dalam dagelan yang menyudutkan perempuan, tapi pelakunya perempuan. “Kaum perempuan melecehkan sesama kaum perempuan,” ucapnya.
Asep menyimpulkan, dari ayat di atas, baik laki-laki maupun perempuan harus menjaga pandangan dan menjaga tubuhnya. Dia juga menceritakan, dirinya dididik harus menghargai perempuan.
“Tadi kan seolah menyudutkan, kok laki-laki sejak kecil dididik begini-begini,” ujarnya pada Pengajian Orbit binaan Prof M Din Syamsuddin MA PhD itu.
Siapa yang Salah?
Yulianti sepakat perintah menutup aurat memang untuk laki-laki dan perempuan. Tapi, dia menegaskan tidak bisa menyalahkan korban perempuan atas kesalahan pelaku.
Yulianti pun menceritakan kisah nyata. Ada seorang perempuan berjilbab pergi ke kampus. Dia berangkat pukul tujuh pagi dari asrama mahasiswi. Dengan berjalan kaki, akhirnya dia tiba di kampus dan menjalani aktivitas di sana sampai pukul tiga sore.
Selama itu, dia tidak mengalami pelecehan atau kekerasan seksual meski bertemu dengan banyak teman atau dosen laki-laki. “Dia tidak mengalami pelecehan di sepanjang jalan, sama sekali tidak,” ujarnya.
Tapi pada pukul empar sore, saat hendak menemui temannya, dia mengalami perkosaan di angkot. Dari kasus ini, Yulianti bertanya, “Siapa yang salah, perempuannya kah? Atau laki-laki di angkot itu?”
Dia menyatakan ingin mengajak semua peserta berpikir reflektif dengan menjawab, “Yang tidak bisa menundukkan pandangannya siapa?”
Harusnya, kata dia, yang disalahkan adalah laki-laki di angkot itu. Perempuannya sudah berjilbab dan menutup aurat. Dia menyadari ini bukan persoalan mudah. “Kita harus keluar dari paket cara berpikir, paradigma, budaya yang terus mengakar pada masyarakat kita,” tuturnya.
Laki-laki Korban Pelecehan
Peserta lain asal Turki J Ramadhan bertanya, “Bagaimana pandangan Islam, laki-laki juga bisa menjadi korban pelecehan seksual?”
“Korban memang tidak memilah-memilih siapa, jadi korban itu bisa laki-laki, bisa perempuan,” jawab Yulianti.
Tapi bebeda dalam beberapa kasus, misal dalam konflik Poso dan Aceh. Ketika ada laki-laki dan perempuan yang ditangkap, laki-laki bisa langsung ditembak mati. Kalau perempuan, diperkosa dulu, direndahkan dulu martabatnya.
“Kenapa laki-laki tidak diserang reproduksinya? Karena itu tidak menghinakan lawannya,” ujarnya.
Dia membenarkan jika ada laki-laki yang melakukan pelecehan terhadap laki-laki. Akibatnya, laki-laki yang menjadi korban bisa melampiaskannya ke laki-laki lainnya.
Berdasarkan penelitian, ini yang membedakan dengan perempuan. Jika perempuan dilecehkan, kemungkinan ada dua respon. Pertama, tidak bisa bangkit karena depresi luar biasa, gila, sakit, atau meninggal.
Kedua, bisa bangkit dan menjadi penyintas. Penyintas menceritakan pengalamannya untuk mengedukasi orang lain agar ada perubahan kebijakan. Maka bisa juga dari penyintas menjadi pemimpin.
Ramadhan pun setuju. Dengan adversity quotient yang laki-laki miliki, memungkinkan laki-laki untuk bisa bangkit. Tapi ada unsur pembalasan. Sementara itu, perempuan mengalami gangguan kesehatan mentalnya.
Ubah Relasi dalam Keluarga
Untuk mengatasinya, Yulianti menambahkan, Allah perintahkan masing-masing kita untuk menjaga diri dari api neraka. Misalnya dengan beriman dan bertakwa yang dibangun dari relasi keluarga.
Kemudian dia menyatakan pandangannya yang berbeda dari tafsir pada umumnya. Menurutnya, takwa—mutlak tunduk patuh—hanya kepada Allah SWT. “Seorang perempuan sejatinya kepada suami itu bukan taat, tapi saling menghargai dan menghormati. Karena ketaatan hanya kepada Allah,” sambungnya.
Dia menegaskan, dalam keluarga, idealnya membangun segitiga. Artinya, sudut segitiga yang di atas menunjukkan semua orang hanya taat kepada Allah SWT. Sudut kanan bawah adalah suami-istri, sementara sudut kiri bawahnya adalah anak-anak.
Dia menganjurkan, keinginan suami untuk dilayani istri harus diubah menjadi relasi saling melayani. Maka anak akan melihat, laki-laki bukan segalanya.
“Relasi yang dibangun dalam keluarga itu setara, imbang, maka suami tidak akan memonopoli tubuh perempuan. Termasuk kemauan suami untuk terus punya anak dan dilayani, bahkan memakaikan kaos kaki juga harus istri,” ujarnya. (*)
Penulis Sayyidah Nuriyah Editor Mohammad Nurfatoni