Pemerintah Taliban dan Tantangan Syariat Islam oleh Prima Mari Kristanto, aktivis Muhammadiyah Lamongan.
PWMU.CO – Kelompok Taliban pernah menjadi idola para aktivis dakwah kampus di Indonesia ketika berhasil memegang tampuk pemerintahan Afghanistan periode 1996 sampai 2001. Membanggakan karena sekelompok thalib atau santri bisa berkuasa.
Taliban menjadi pilihan rakyat Afghanistan di tengah konflik faksi Mujahidin pimpinan Ahmad Shah Mas’oud, Burhanudin Rabbani, dan Gulbudin Hikmatyar setelah kemenangan atas Uni Sovyet.
Kekuasaan Taliban berakhir setelah runtuhnya menara kembar World Trade Center New York Amerika Serikat pada 11 September 2001. Taliban dituduh bersekongkol dengan Osama bin Laden dan jaringan al-Qaeda menyerang AS sehingga dibalas dengan menghabisi kekuasaan santri ini.
Taliban menyingkir. Menguasai gunung-gunung. Tetap rekrutmen kader-kader muda dididik dalam pesantren di atas gunung. Diam-diam pimpinan mereka juga menggalang lobi dengan negara Arab, Rusia, Cina, dan Indonesia.
Dua puluh tahun kemudian, Taliban mengejutkan dunia. Mereka menguasai seluruh wilayah Afghanistan serentak di tengah penarikan mundur pasukan AS. Pemerintah Ashraf Gani tak punya nyali melawan. Langsung minggat keluar negeri.
Jusuf Kalla yang pernah menerima 9 wakil Taliban dipimpin Mullah Abdul Ghani Baradar pada 27 Juli 2019 mengatakan, Taliban sekarang berbeda dengan sebelumnya.
Selasa, 7 September 2021 lalu, telah diumumkan kabinet pemerintah Taliban sebanyak 33 orang menteri dipimpin Mullah Mohammad Hassan Akhund sebagai Perdana Menteri. Pemerintah baru ini juga mengumumkan menjalankan syariat Islam di negaranya.
Kelompok negara Islamofobia bingung dengan pengumuman itu. Kecuali Rusia dan Cina menyatakan akan menjalin kerja sama dengan pemerintah baru. Sebagian umat Islam khawatir dan bingung, pemerintahan syariat Islam bisa kerja sama dengan negara komunis. Beberapa pihak mengkhawatirkan pemerintah Taliban bakal menjadi boneka Republik Rakyat Cina lewat ekspansi ekonominya.
Bukti Pemerintahan Islam
Syariat Islam dengan ekonomi Islam, salah satu cabangnya, sebagai wasilah muamalah yang memungkinkan umat Islam berhubungan dengan siapa saja, termasuk yang berbeda agama.
Keberhasilan rakyat Afghanistan memenangi dua perang, yaitu Mujahidin menghadapi Uni Sovyet periode 1979-1989, kemudian menghadapi Amerika periode 2001-2021 menjadi ibrah bagaimana pemerintah Islam bermuamalah. Ketika menghadapi Uni Sovyet, kelompok Mujahidin bersekutu dengan Amerika. Saat Taliban berkuasa juga menjalin dengan negara yang berideologi lain.
Aspek muamalah universal yang ada pada syariat Islam antara lain ekonomi, kemanusiaan, lingkungan, ilmu pengetahuan, teknologi dan sejenisnya diberi ruang sangat luas untuk dikembangkan dan dikerjasamakan.
Bidang ekonomi menjadi salah satu kunci pembuktian pemberlakuan syariat Islam dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat Afghanistan di bawah pemerintahan Taliban dengan pendistribusian secara adil segenap potensi ekonomi yang dimiliki.
Bank Dunia mencatat Produk Domestik Bruto Afghanistan pada tahun 2020 sebesar USD 19,8 miliar. Sebanyak 44 persen tenaga kerja dan 60 persen rumah tangga di Afghanistan bekerja dan bergantung pada sektor pertanian.
Afghanistan disebut mempunyai cadangan mineral senilai sekitar USD 1 triliun berupa tembaga, kobalt, batubara, bijih besi juga lithium yang saat ini sedang naik daun sebagai logam bahan baku baterai untuk mobil listrik.
Potensi ekonomi demikian menggiurkan menjadi tantangan bagi pemerintah Taliban menciptakan kemakmuran rakyat. Syariat Islam yang dipakai pemerintah Taliban diuji dalam tata kelola politik, sosial, budaya mewujudkan pertumbuhan dan pemerataan ekonomi lebih baik dari sistem sebelumnya.
Semua berharap syariat Islam bukan sekadar parade ayat-ayat atau bacaan hadits dan kitab-kitab klasik. Tapi bisa bisa diterapkan mengatasi problem kemiskinan dan kebodohan.
Taliban Indonesia
Kemenangan Taliban dan pemerintah baru Afghanistan tak perlu dikhawatirkan. Justru perlu dikhawatirkan campur tangan asing yang memusuhi. Ini bisa memicu perang baru.
Kelompok islamofobia di Indonesia yang menghembuskan kelompok radikal teroris bakal bangkit akibat kemenangan Taliban perlu dibungkam dengan fakta situasi politik dan sosial yang berbeda. Gerakan radikal Mujahidin dan Taliban muncul sebagai perlawanan invasi negara asing Sovyet dan AS.
Fenomena serupa Taliban sebenarnya pernah muncul di Indonesia masa perang kemerdekaan tahun 1945-1949. Zaman agresi militer Belanda setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945.
Para santri dan pelajar berhimpun dalam laskar-laskar Hizbullah, Sabilillah, Tentara Republik Indonesia Pelajar (TRIP), Tentara Genie Pelajar (TGP) sebagai embrio corps zeni TNI. Milisi rakyat ini bergabung dalam Tentara Keamanan Rakyat dipimpin Pak Guru Panglima Besar Jenderal Sudirman.
Situasi perang mendorong kelompok rakyat melawan invasi negara asing demi mempertahankan kemerdekaan. Gejala seperti ini muncul di manapun.
Setelah menang, kelompok santri dan pelajar ini kembali ke pesantren dan sekolah melanjutkan studinya. Urusan negara dipercaya kepada elite pemimpin untuk mengusahakan kemakmuran bagi rakyat. Mereka menjadi kader pemimpin di masa depan.
Kita berharap pemerintah Taliban pimpinan PM Mullah Hassan Akund bisa melewati masa kritis negaranya. Usai perang para thalib kembali ke pesantren menamatkan pendidikannya. Mereka menjadi generasi baru yang memimpin negara kemudian. Pemimpin yang berkuasa sekarang semoga mampu membuktikan syariat Islam bisa menyejahterakan rakyat dan mewarnai ekonomi global. Bukan lagi negaranya menjadi pasar. Bukan bangsa kuli. Wallahu’alam bishawab. (*)
Editor Sugeng Purwanto