Puji Tuhan Vs Alhamdulillah? Kolom bahasa oleh Mohammad Nurfatoni, Pemimpin Redaksi PWMU.CO
PWMU.CO – Seorang teman terkejut, saat saya membalas pesan pendeknya dengan kalimat ‘puji Tuhan’. Saat itu saya tidak memakai kalimat ‘alhamdulillah’ seperti biasanya, sebagai bentuk ungkapan syukur.
Saya sengaja memakai idiom itu. Dan seperti saya duga, dia kaget. Lalu dia membalas, “Kamu sudah murtad tah?”
Istri saya juga pernah protes saat kami mengkhitankan tiga putra kami secara berbarengan, 17 Juli 2005. Saat itu saya pakai tagline: “Khitan, Baligh, dan Kudus”. Kata kudus dianggapnya berkonotasi Nasrani. Akhirnya tagline-nya jadi: Khitan, Baligh, dan Suci. Kata kudus terpaksa disingkirkan.
Memang, selama ini puji Tuhan selalu identik dengan kaum Nasrani sebagai padanan alhamdulillah yang khas Islam. Karena itu frasa puji Tuhan menjadi asing di mata dan telinga seorang Muslim. Demikian juga kata kudus yang bermakna suci atau murni.
Jika dia membaca itu, seolah penulisnya adalah seorang kristiani. Atau jika mendengarkannya, maka yang mengucapkannya dianggap bukan Muslim.
Pertanyaannya, mengapa puji Tuhan kemudian jadi brand Nasrani? Padahal sebenarnya dua kata itu adalah terjemahan singkat alhamdulillah, yakni: segala puji bagi Tuhan. Bukankah itu sangat islami?
Tapi, seperti puji Tuhan, frasa kasih Tuhan pun asing bagi telinga dan mata kebanyakan Muslim.
Kasih Tuhan
Hal yang sama terjadi pada ‘nasib’ frasa kasih Tuhan sebagai arti dari ar-Rahman, yaitu sifat Allah yang Maha Pengasih. Jadi, jika kita menyebut kasih Tuhan sebenarnya kita sedang melafalkan asma al-husnah.
Tapi, seperti puji Tuhan, frasa kasih Tuhan pun asing bagi telinga dan mata kebanyakan Muslim. Itu dianggap idiom Nasrani. Sehingga jika ada yang mengucapkan kasih Tuhan maka persepsinya langsung tertuju pada ucapan sang pendeta atau pastor.
Allah dan Tuhan
Salah satu faktor yang membuat frasa puji Tuhan atau kasih Tuhan itu asing bagi mata dan telinga Muslim—menurut saya—adalah karena penyebutan kata Tuhan itu sendiri.
Orang Islam menganggap bahwa penyebutan kata Tuhan kurang islami, karena bersifat umum. Oleh sebab itu yang lazim digunakan adalah Allah—hasil transliterasi dari kata atau kalimat bahasa Arab: اَللهُ
Tapi perlu diingat, kata Allah juga dipakai oleh Bibel dalam terjemahan bahasa Indonesia. Bedanya ada di kebiasaan pelafalannya. Orang Islam menyebut Allah memakai kaidah Arab, Aw-woh; sedangkan orang Kristen dengan logat Indonesia: Al-lah.
Soal Allah atau Tuhan ini pernah menjadi perdebatan kala intelektual Muslim Indonesia, Nurcholish Madjid, menerjemahkan kalimat syahadat tauhid la ilaha illallah (لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ) dengan “Tiada tuhan selain Tuhan”.
Cak Nur, sapaan akrab almarhum, membedakan tuhan palsu (berhala) dengan Tuhan sejati (Allah) dari penulisannya: t (kecil) untuk berhala, sedangkan T (besar) untuk Allah.
Terjemahan yang hanya membedakan huruf ‘t’ seperti itu membuat Cak Nur dicap sebagai sekuler. Sama seperti saat dia memopulerkan semboyan ‘Islam yes politik no’. Dia dianggap memisahkan urusan dunia (politik) dari ajaran Islam.
Tuhan Palsu dan Tuhan Sejati
Tapi jika kita memahami logika bahasanya–juga membaca pemikiran Cak Nur secara utuh—penerjemahan ‘tiada tuhan selain Tuhan’ itu masih bisa diterima. Artinya dalam kalimat itu semua tuhan (ilah, dengan t kecil sebagai nakirah [umum]) harus ditiadakan (dinegasikan). Apakah itu berupa berhala konkret (patung, manusia, hewan, tumbuhan, makhluk halus, fenomena alam, dan sebagainya) atau berhala abstrak seperti hawa nafsu.
Semua itu adalah tuhan palsu. Dan karena itu harus dienyahkan dari kehidupan kita sambil menetapkan Tuhan (Allah, dengan T besar sebagai kata makrifat [dikenal]) menjadi satu-satunya Tuhan—yang patut disembah, ditakuti, diikuti, ditaati, dan sebagainya).
Jadi, jika kita menyebut Tuhan, maka itu otomatis merujuk pada Allah seperti yang Tuhan sendiri sampaikan di Surat Thaha 14: “Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada tuhan selain Aku, maka sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku.”
Mohammad Nurfatoni
“Walhasil, kita tidak perlu lagi alergi, kaget, tabu, atau bahkan pingsan jika mendapat ucapan puji Tuhan, kasih Tuhan, kudus, dan sebagainya, dari teman Muslim.”
Rebut Kembali
Nah, sebenarnya penyebutan Tuhan sebagai Allah dalam bahasa Indonesia secara tidak langsung sudah sama-sama kita mafhumi dalam penggunaan kata ganti Allah. Seperti dalam terjemahan ayat di atas. Aku dalam konteks itu adalah Allah atau Tuhan. Demikian juga jika kita menulis kata ganti Engkau, Dia atau Nya.
Penggunaan huruf besar pada Aku, Engkau, dan Dia atau Nya, berarti merujuk pada Allah. Justru dalam bahasa Arab hal seperti itu tidak ada. Ana (Aku), anta (Engkau), dan huwa (Dia) tetap ditulis dengan huruf kecil (memang ada huruf kecil dan besar dalam tulisan Arab? He-he-he).
Walhasil, kita tidak perlu lagi alergi, kaget, tabu, atau bahkan pingsan jika mendapat ucapan puji Tuhan, kasih Tuhan, kudus, dan sebagainya, dari teman Muslim. Itu sebenarnya idiom Islam yang sudah lama ‘dicuri’ orang lain. Oleh karena itu mari kita ‘rebut’ kembali dengan memakainya dalam percakapan atau penulisan sehari-hari.
Toh, idiom-idiom yang menurut kita khas Islam, juga telah lama dipakai oleh kaum lain. Seperti Allah, assalamualaikum, jamaah (jadi jemaat), khotbah, atau amen. Bahkan jangan kaget jika Netflix menerjemahkan ungkapan ‘ya Allah’ dalam percakapan film Timur Tengah dengan ‘astaga’.
Mungkin kita perlu lebih banyak mendengar bagaimana orang Arab non-Islam menggunakan idiom-idiom yang kita anggap islami. (*)