PWMU.CO – Hindari 8 Mental Orangtua Ini Agar Anak Bermental Juara! Demikian Agita Desi Dwijaning Ayu SPd mengungkapnya di Obrolan Parenting Kekinian (Opak) Ke-2, SD Muhmmadiyah 2 GKB (Berlian School) Gresik, Jumat (17/9/21) siang.
Dengan mengenakan setelan baju dan kerudung merah, Executive Committe (Exco) Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI) Kabupaten Gresik itu membuka materi dengan semangat pagi khasnya.
Gita–sapaan akrabnya—memahami, ada anak yang lebih aktif dari anak lainnya. Di kelas, anak itu biasanya tidak bisa duduk diam, sehingga orangtua malu karena dipanggil gurunya ke sekolah.
Dia menegaskan, dari 9 kecerdasan, olahraga itu salah satu kecerdasan kinestetik. “Jangan takut, gelisah, atau malu. Karena olahraga ini juga termasuk kecerdasan,” ujarnya.
Di Atas Rata-Rata
Gita mengungkap, mitosnya, ada anggapan prestasi hanya dapat diukir anak-anak yang punya kelebihan di bidang akademik. “Bayangkan kalau semua orangtua malu, anakku gak pintar matematika, tapi kok bisanya main bola saja,” ucapnya.
Padahal, lanjutnya, anak-anak berprestasi di non akademik punya kecerdasan di atas rata-rata. “Seorang pemain sepak bola kalau tidak pintar, tidak punya teknik, taktik, fisik, dan strategi, tidak akan mungkin terjadi gol!” ungkap ibu dari Nyanara Rizky Audinta Ayomi 1 Al-Aziz itu.
Ketika menggiring bola, seorang pemain juga berpikir. Hal inilah, kata dia, belum tentu semua orang bisa melakukannya. “Kalau anak pintar matematika, dia duduk (dan) berpikir. Anak olahraga, dengan bergerak, dia harus memikirkan strategi,” terangnya.
Delapan Mental Orangtua
Gita sangat menekankan pentingnya menata dan menyiapkan mental orangtua, karena orangtua pendidikan pertama sedangkan sekolah pendidikan yang kedua. “Terutama ibu, meskipun ibunya seorang pekerja,” tutur dia.
Perempuan yang menangani Komite Usia Muda dan Sepakbola Wanita itu lantas memaparkan 8 mental orangtua dari hasil surveinya di lapangan. Dia mengimbau, ini bisa jadi referensi, agar peserta yang hadir punya pandangan untuk tidak melakukannya.
Pertama, merasa gengsi anaknya tidak punya kelebihan di akademik. Gengsi di komunitasnya ini biasa terjadi di kalangan ekonomi menengah ke atas. “Kalau menengah ke bawah berkonsentrasi bekerja, ‘yang terpenting anakku sekolah’,” terangnya.
Kedua, malu. Sering dipanggil gurunya karena anak tidak bisa diam. Tapi Gita menekankan, ini berbeda kasus dengan anak berkebutuhan khusus. “Lain kalau inklusif lho,” ujar exco yang menaungi 36 sekolah sepak bola (SSB) se-Kabupaten Gresik itu.
Ambisi Ikuti Jejak Orangtua
Ketiga, ambisi berlebihan agar anak ikut jejak orangtua. Dia mencontohkan, orangtua memaksa anaknya menjadi atlet juga seperti keluarganya. Contoh lainnya, “Ibunya guru matematika, tapi anaknya tidak pandai matematika, (lalu ibu memaksanya ahli di bidang matematika), itu juga ambisi!”
Maka, pemerintahan kini menggalakkan merdeka belajar supaya anak menemukan, memahami, dan mengembangkan potensi dirinya. “Kita sebagai orangtua hanya mengarahkan sejak usia dini,” imbuhnya.
Keempat, terburu-buru atau tidak sabar ingin anak segera berprestasi. “Gak enak diajari bu itu, anakku nggak pintar-pintar,” contoh dia.
Tidak Sportif
Selanjutnya, tidak sportif. Dalam klub sepak bola, contohnya, ada titip pemain. “Yang ingin anaknya sukses lebih cepat, salam tempel ke pelatih, tolong anak saya diloloskan,” ungkapnya.
Padahal, anak usia dini (kurang dari 12 tahun) masih dalam fase kegembiraan, masa berlatih yang tidak menuntut berprestasi. “Jangan berharap prestasi, kalau juara itu bonus karena sering latihan dan disiplin dalam segalanya,” terang Gita.
Masa pengembangan, anak telah memahami teknik, biasanya berusia 13-15 tahun. Di usia 15 tahun ke atas, lanjutnya, anak bisa memanen prestasi di cabang olahraga yang dia tekuni.
Kelima, gampang menyalahkan pelatih. Dengan adanya pandemi, kata dia, ada hikmah di mana orangtua bisa Introspeksi. “Orangtua tahu bagaimana guru mendidik, tidak hanya satu orang tapi banyak anak, kalau orangtua satu anak dengan satu karakter,” terangnya.
Memanjakan Berlebihan
Keenam, orangtua dari menengah ke atas memanjakan berlebihan. Akibatnya, muncul pemikiran negatif yang membuat anak semena-mena, “Gampang, orangtuaku mampu!”
Misal, ikut menunggu anak latihan di SSB. “Kalau ada yang tidak berkenan, maka dia jadi pelatih kedua di dalam lapangan,” ungkap Guru olahraga UPT SD Negeri 49 Gresik (dulu SDN Sukomulyo 2) itu.
Selain itu, orangtua masih membantu anak memakai sepatu dan menyuapi. Padahal, SSB melatih anak mandiri dan pelatih sigap membantu jika anak memang kesulitan.
Terpengaruh Komunitas
Kemudian, gampang terpengaruh komunitas yang mengarahkan negatif. Misal, ada teman yang melarang anaknya masuk di SSB tertentu.
“Padahal semua SSB itu sama, mereka punya materi dan kurikulum dasar yang sama. Pelatihnya ya sekolah dan berlisensi,” ujar pemegang 8 sertifikat cabang olahraga itu.
Kenapa di setiap kecamatan ada SSB-nya? Gita menekankan, untuk menampung anak yang berminat di setiap kecamatannya, agar tidak perlu jauh-jauh. Ini juga berlaku di cabang olahraga lainnya.
Terakhir, berpikir negatif kepada pelatih. Dia meluruskan, semua pelatih tentu membimbing dan mengarahkan sepenuhnya, tidak mungkin menjerumuskan.
Justru, lanjutnya, orangtua bisa konsultasi ke pelatih dalam mengarahkan harus ke mana anak nantinya. Mengingat, kata dia, anak berhak memilih kegemaran mereka. Tapi orangtua juga harus mengarahkan.
“Pada dasarnya, pendidikan yang baik dan dapat meraih puncak prestasi di mulai dari usia dini,” imbuhnya di ruang Zoom yang digelar Berlian School itu.
Mental Juara
Kalaupun nantinya ketika sudah memilih cabang olahraga tertentu anak tidak juga meraih prestasi, maka dia mengimbau orangtua berpikir positif dan menanamkan keyakinan, “Kegagalan adalah keberhasilan yang tertunda. Kita tidak tahu rencana Tuhan.”
Paling tidak, kata dia, niatnya bisa bermanfaat untuk masyarakat, bangsa, negara, dan agama. Nantinya, prestasi akan mengikuti seiring doa orangtua, usaha anak, dan koordinasi dengan pelatih.
Sebab, sudah melatih anak lebih tekun, disiplin, mandiri, dan percaya diri sebagai bekal masa depannya. Itulah yang dia tekankan bisa mengantarkan anak bermental juara. “Karena kehidupan anak masih panjang,” ujarnya. (*)
Penulis Sayyidah Nuriyah Editor Mohammad Nurfatoni