Bahas Buku Riset Smamio, Dikejutkan Jalan Tol Bernyanyi adalah catatan perjalanan kontributor Sayyidah Nuriyah ke Ponorogo bersama tim riset Smamio.
PWMU.CO – Kamis (23/9/2021) sekitar pukul 07.00 WIB, rombongan tim riset Smamio bertolak dari Gresik menuju Ponorogo. Perjalanan sejauh kurang-lebih 200 kilometer kami tempuh untuk bertemu sosok pendamping Sekolah Riset Smamio secara langsung. Yaitu Ketua Majelis Dikdasmen PWM Jatim Dr Arbaiyah Yusuf MA di rumahnya.
Ini kali pertama konsultasi berlangsung tatap muka. Sebelumnya, sejak April 2021, Bu Ar—sapaan akrabnya—mendampingi secara daring melalui Zoom. Pertemuan penting ini bertujuan menggenapkan draft “Buku Sekolah Riset SMA Muhammadiyah 10 GKB (Smamio) Gresik” sebagai buku panduan sekolah riset.
Adapun rombongan asal Smamio itu terdiri dari Kepala Smamio Hari Widianto MPd, Wakil Kepala bidang Pengembangan Pendidikan Ulyatun Nikmah SPd, serta Koordinator Bidang Literasi dan Riset Nanik Rahmawati Fuadah MSi.
Selain itu, dalam mobil Toyota Innova Silver berlogo Smamio itu, turut serta penghantar networking Koordinator Networking Aulia Ulfi MSi dan saya, Sayyidah Nuriyah SPsi.
Dalam perjalanan panjang kali ini, sebagian rombongan menemukan hal-hal unik yang baru pertama kami temui. Berikut dua di antara hal unik yang para musafir Kota Pudak temui.
Jalan Tol Bernada
Lama tak melakukan perjalanan jauh sejak pandemi, sebagian rombongan tertidur ketika melintasi jalan Tol Trans-Jawa. Tepatnya, di jalur Ngawi-Kertosono-Kediri, rute Madiun-Solo.
Sebagian lagi masih terjaga, termasuk saya. Di sisi kiri jalan, sekitar KM 644, tampak rambu Jalan Bernada. Saya hanya mengernyit dan membatin saat membacanya, “Mungkin nama jalan tolnya.”
Beberapa saat kemudian, terdengar suara keras bernada tinggi seiring geronjalan jalan yang kami lewati. Sontak guncangan itu berhasil membangunkan para penumpang yang tidur dan mengagetkan seisi mobil.
“Ada apa Pak Fir?” tanya Bu Ulfi kepada sopir Smamio Firdaus dengan berteriak. Begitu pula Bu Nanik dan Bu Ulya juga saling bersahutan berusaha, mereka memahami yang baru saja terjadi. Mereka kira telah terjadi sesuatu berbahaya.
Dari kaca spion depan, tampak Pak Firdaus tersenyum menampilkan giginya. Di bawah langit berawan pagi itu, dia iseng melintaskan mobil di jalan bernada. Saya juga hanya bisa menjelaskan baru lewat jalan bernada.
Dilansir dari Kompas.com, diberi nama jalan bernada (singing road) karena saat pengendara melewati jalan tol tersebut akan mengeluarkan nada. Nada tersebut dihasilkan dari marka jalan berupa rumble strip yang dipasang PT Jasamarga Ngawi Kertosono Kediri (JNK).
Mengutip kompas.com, ternyata pembaruan ini sudah dipasang sejak Desember 2019. Ketika kendaraan melintasi singing road minimal 80 kpj, maka terdengar alunan nada lagu Happy Birthday, katanya. Tapi yang kami dengar hanya nada tinggi yang sumbang. “Nada sopran ta apa itu?” celetuk Bu Ulfi sambil tertawa, diikuti gelak tawa seisi mobil.
Pecel Asli Madiun
Sekitar sejam usai keluar jalan tol Caruban, rombongan akhirnya tiba di Kota Madiun. Karena diskusi santai tapi serius mengemuka di sepanjang perjalanan sekitar 180 kilometer itu, rasa lapar mulai menggelayuti mayoritas anggota rombongan.
Beruntung, kami segera menemukan depot makanan khas Kota Pendekar (dulunya dijuluki Kota Pecel). Kami menyempatkan ‘sarapan’ sekitar pukul 10.30 WIB di Depot Pecel Madiun 99, Jalan Cokroaminoto No 99, Madiun.
Tidak ada antrean saat itu. Sementara itu, setengah kursi pengunjung yang tersedia sudah padat. Barangkali memang diatur demikian, mengingat masih dalam suasana pandemi. Penasaran, kami lantas memesan.
Melihat foto yang terpampang di dindingnya, Presiden Indonesia ke-6 Jenderal TNI (Purn) Susilo Bambang Yudhoyono dan sederet tokoh penting lainnya pernah makan di sana, kami semakin antusias mencoba sepincuk nasi pecel.
Karena Nanik—panggilan Nanik Rahmawati Fuadah—berasal dari Kediri, kami sempat membandingkan pecel Madiun dan Pecel Kediri. Perbedaan mencolok, kami tidak menemukan sambal Tumpang olahan tempe bosok di pecel Madiun ini. Bumbunya juga tidak terlalu pedas dan aroma jeruknya sangat kuat.
Uniknya, nasi pecel tidak tersaji di piring. Penjual meraciknya di atas daun pisang (pincuk). Aneka sayuran rebus dengan taburan mlandingan dan kemangi, dilengkapi pilihan lauk yang bisa dipilih sendiri, sukses menjadi paket komplit.
Uniknya lagi, penjual memberi kerupuk puli dalam paket itu. Padahal, kami terbiasa makan nasi pecel dengan rempeyek. Akhirnya, sebungkus rempeyek kami beli ekstra agar lebih nikmat.
Tinggal beberapa suap, sepasang penyanyi dan pemain organ duduk di belakang kami. Alhasil, kami menikmati nasi pecel dengan iringan live show lantunan lagu lawas. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni