Rumah Peradaban, Saksi Tim Riset Smamio Rumuskan Core Values, catatan perjalanan kontributor PWMU.CO Sayyidah Nuriyah.
PWMU.CO – Usai menempuh perjalanan Gresik-Ponorogo sejauh 200 kilometer selama lima jam, tim Riset Smamio akhirnya tiba di rumah Ketua Majelis Dikdasmen PWM Jatim Dr Arbaiyah Yusuf MA, Kamis (23/9/21).
Pada siang yang mendung itu, rombongan SMA Muhammadiyah 10 GKB Gresik (Smamio) mereguk kesejukan suasana khas pedesaan. Tanah lapang berumput hijau terhampar luas. Jajaran pohon pisang, pepaya, dan mangga di sepanjang tepinya menambah kesan asri.
Dengan masih memakai mukenah, Bu Ar—panggilan akrab pendamping Sekolah Riset Smamio—menyambut di depan pintu rumahnya. Senyuman lebar menghiasi wajah perempuan kelahiran Ponorogo tahun 1964 itu. Tak kalah ramah, sang suami Zaenal Arifin juga menyambut dengan senyumannya.
Tidak hanya konsultasi tatap muka—untuk menyempurnakan “Buku Sekolah Riset SMA Muhammadiyah 10 GKB Gresik”—yang pertama selama pandemi Covid-19, tapi juga ini kali pertama Tim Riset Smamio mengunjungi Rumah Peradaban Bu Ar.
Kompleks Rumah Peradaban
Di area timur laut, berdiri bangunan rumah adat berbentuk joglo. Ternyata itu bukan rumah biasa, melainkan “Rumah Peradaban” yang dibangun atas iktikad baik pemiliknya untuk mendukung dan memfasilitasi tempat pertemuan peradaban semua umat, baik Muslim maupun non-Muslim.
“Hari ini juga ada yang pakai, Ikatan Keluarga Pondok Modern (IKPM) Gontor Ponorogo dan Jakarta,” tambah Bu Ar, Jumat (24/9/21) pagi.
Pada sisi barat laut, ada calon bangunan masjid yang baru dibangun. Di antara keduanya, tepat pada sisi utara, ada “Warung Gratis” untuk siapa pun yang membutuhkan. Di sana tersedia kopi, teh, gula, dan mi. “Orang nyari rumput, mampir ke situ, bikin (minuman atau mi), lalu pergi lagi,” ujar Pak Zaenal.
Berdasarkan penuturan Zaenal Arifin, yang akrab dipanggil Pak Zaenal, penyebaran informasi dari mulut ke mulut membuat warung itu sudah dikenal masyarakat di sana. Kompleks bangunan ini berlokasi di Jalan Jawa, Desa Siwalan, Kecamatan Mlarak, Kabupaten Ponorogo, Jawa Timur.
Di luar dugaan, Bu Ar sendiri yang melayani para tamunya dengan mengambilkan piring. “Dulu saya juga dilayani profesor saya seperti ini,” ucapnya.
Jamuan Luar Biasa
Bu Ar dan suaminya superbaik dalam menjamu rombongan asal Kota Industri itu. Usai meneguk minuman kunyit asam dan mencicipi kesegaran dawet jabung khas Ponorogo, rombongan perempuan dan laki-laki diarahkan beristirahat dan shalat di kamar terpisah.
Yang termasuk rombongan perempuan: Wakil Kepala Bidang Pengembangan Pendidikan Ulyatun Nikmah SPd, Koordinator Bidang Literasi dan Riset Nanik Rahmawati Fuadah MSi, Koordinator Networking Aulia Ulfi MSi dan PWMU.CO.
Karena Tim Riset Smamio sangat antusias ingin menyimak review calon buku panduan sekolah riset dari sang konsultan pendidikan, mereka langsung shalat, tanpa beristirahat.
Sambil menunggu tamunya selesai shalat, Bu Ar, dibantu anak asuh dan keponakannya, menyiapkan jamuan makan siang. Aneka hidangan tersaji di meja kayu panjang. Di antaranya, sayur krawu (urapan), garang asem, dan soto khas Ponorogo.
Di luar dugaan, Bu Ar sendiri yang melayani para tamunya dengan mengambilkan piring. “Dulu saya juga dilayani profesor saya seperti ini,” ucap dia dengan rendah hati.
Sore harinya, Bu Ar juga menawarkan untuk mandi dan beristirahat dulu. Tapi mengingat jauhnya jarak Ponorogo-Gresik, maka para rombongan putri memutuskan hanya shalat.
Mengetahui para tamunya tidak ada yang mandi, Bu Ar sampai menawarkan untuk mandi air hangat. “Mau saya rebuskan air (untuk mandi)?” ucapnya. Mereka langsung menolak dengan mengucap terima kasih atas jamuannya yang luar biasa.
Review, Diskusi, Brain Storming
Makan siang istimewa itu dilanjutkan dengan menyimak pemaparan review Bu Ar dan diskusi interaktif. Perempuan lulusan McGill University Montreal Canada yang pernah menjadi konsultan Bank Pembangunan Islami (IDB) dan Bank Dunia itu memaparkan beragam konsep yang bisa Tim Riset Smamio terapkan.
“Konsultan itu harus membuat instrumen dan lain-lain, bukan hanya konsultasi. Konsep-konsep yang dibuat itu yang bikin konsultan. Lalu sekolah membuat berdasarkan yang diberikan konsultan,” tutur Bu Ar.
Satu jam berikutnya, Tim Riset Smamio melakukan brain storming untuk merumuskan core values. “Dibuat semampunya di sini,” ujar Kepala Smamio Hari Widianto MPd.
Setiap orang mengusulkan beberapa nilai yang dianggap relevan dan penting. Bu Ulya menuliskan usulan nilai-nilai di papan tulis. Kemudian, mereka menyeleksi dan mengelompokkan daftar nilai yang terkumpul menjadi nilai-nilai utama.
Metode peta konsep pohon mereka terapkan sebagaimana penuturan Bu Ar sebelumnya. Dari 17 nilai yang ada, mereka sukses merumuskan dua nilai utama.
Tidak mudah merumuskannya. Tim itu menerapkan strategi menggunakan istilah bahasa Inggris untuk memudahkan klasifikasi. “Nilai-nilai sekolah itu yang akan dijalankan guru dan siswa,” ungkap Hari.
Bu Ar yang tadinya berencana shalat Ashar, ketika mendengar tim merumuskan core values sebagai bagian dari sekolah riset, akhirnya ikut bergabung. Dengan mengenakan mukenah, dia duduk dan kembali mengarahkan diskusi sore itu.
Bu Ar menambahkan, “My school values bisa 25 (values). Tapi itu tidak jadi ikatan yang begitu kuat.” Tapi setidaknya, lanjutnya, warga sekolah mengetahui nilai-nilai itu.
Beberapa menit kemudian, Nanik membacakan kesimpulan yang segera disepakati seluruh pihak, termasuk Bu Ar. “Oke sip!” komentarnya.
“Di sini memang begitu, orang-orang kan pada ke sawah, jadi adzannya menyesuaikan jadwal pulang kerja dari sawah.”
Zaenal Arifin
Adzan Ashar Tiga Kali
Bu Ar lantas berpamitan kembali menunaikan niat shalat Asharnya. Tak lama setelah itu, sekitar pukul 16.00 WIB, terdengar kumandang adzan Ashar. Mereka saling berpandangan dan bertanya-tanya adzan apa saat itu.
Seingat mereka, sejam yang lalu sudah mendengar adzan Ashar. Bu Ar juga sedang mendirikan shalat Ashar. Beberapa di antara mereka segera mengecek jam, barangkali jamnya yang salah.
Pak Zaenal lantas menjelaskan jika khusus adzan Ashar bisa berkali-kali. Sebab, ada muadzin yang baru pulang dari sawah. Alhasil, di setiap mushala, bisa mengemuka adzan lagi.
“Di sini memang begitu, orang-orang kan pada ke sawah, jadi adzannya menyesuaikan jadwal pulang kerja dari sawah,” terangnya.
Setengah jam kemudian, ketika adzan kembali berkumandang, anggota rombongan hanya saling berpandangan heran. Mereka menyatakan ini kali pertama mendengar adzan Ashar berulang-kali. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni