G30S, Ujian Konstitusi Berdarah oleh Prima Mari Kristanto, aktivis Muhammadiyah di Lamongan.
PWMU.CO – Tiap 30 September bangsa ini diingatkan tragedi berdarah. Film berdurasi 3 jam, Penumpasan Pengkhianatan G30S PKI, selalu diputar sejak diproduksi tahun 1984.
Kritik terhadap film itu bermunculan. Dikatakan tak sesuai sejarah sebenarnya, propaganda Orde Baru. Zaman reformasi sempat dihentikan pemutarannya di TV. Tapi kesaksian anak-anak para jenderal yang terbunuh maupun aktor Amoroso Katamsi yang berperan sebagai Soeharto, film itu sesuai dengan fakta yang dilihat dan dengar pada tahun itu.
Sebenarnya peristiwa G30S/PKI adalah ujian bagi konsistensi menjalankan konstitusi UUD 1945 sesuai kesepakatan para pendiri negara. Penyimpangan menjalankan konstitusi dalam periode sejarah berikutnya selalu menimbulkan tragedi.
UUD 1945 memang konstitusi yang dibuat dalam kondisi darurat. Tidak diniatkan untuk selamanya. Bahkan pernah digantikan oleh UUD RIS 1949. Kemudian diberlakukan UUD Sementara 1950 ketika RIS bubar.
Konstituante hasil Pemilihan Umum 1955 yang berhasil menyusun UUD baru ternyata anggotanya tak sepakat bulat untuk memberlakukan karena perbedaan asas Islam dan nasionalis. Akibatnya Presiden Soekarno mengeluarkan Dekret 5 Juli 1959 untuk kembali ke UUD 1945.
Setelah itu terjadi lagi penyimpangan terhadap konstitusi. Muncul Demokrasi Terpimpin yang membuat Wakil Presiden Drs Mohammad Hatta muncur tahun 1956. Lalu pengangkatan presiden seumur hidup. Lantas muncul beragam pemberontakan daerah.
Ambisi kekuasaan Bung Karno yang selalu didukung Partai Komunis Indonesia (PKI) melahirkan pemerintah tiga kaki Nasakom. Oposisi yang menentang ide Bung Karno dituduh anti revolusi, anti Pancasila dan UUD 1945.
Kaum opisisi ini berasal dari partai Islam seperti Masyumi yang dibubarkan tahun 1960. Para pemimpin Masyumi dipenjara tanpa pengadilan seperti Buya Hamka. Jenderal-jenderal Angkatan Darat pun ada yang mengkritik presiden lantas dituduh antek Amerika.
Memanfaatkan kedekatan dengan Bung Karno, orang-orang PKI mulai bertindak sewenang-wenang. Menduduki tanah-tanah yang dituduh sebagai setan desa atau kapbir alias kapitalis birokrat. Tanah haji kaya raya, tanah pondok pesantren dirampas untuk dibagi-bagi kepada anggota BTI (Barisan Tani Indonesia).
Merasa kuat akhirnya PKI merancang kudeta dengan sandi G30S (Gerakan 30 September). Kudeta yang direncanakan matang itu ternyata gagal. G30S adalah puncak ujian konstitusi yang berdarah-darah. Bersyukur kedeta PKI itu gagal. Seandainya kudeta berhasil, PKI bakal membantai semua musuh-musuhnya hingga banjir darah seperti kudeta komunis di negeri lain.
Nafsu Berkuasa
Orde Lama tumbang, lahir Orde Baru dipimpin Mayjen Soeharto. Di masa Orde Baru juga terjadi ujian konstitusi karena membuat tafsir untuk melanggengkan kekuasaan. Muncul politik asas tunggal, dwi fungsi ABRI, monoloyalitas pegawai negeri, sentralisasi kekuasaan, DPR dibikin mandul harus mendukung pemerintah.
Kalau di masa Orde Lama, Presiden Soekarno berkuasa 22 tahun (1945-1967), di masa Orde Baru Presiden Soeharto berkuasa selama 31 tahun (1967-1998). Berlakulah jargon kekuasaan cenderung korup. Apalagi yang dipegang terlalu lama. Maka pecahlah gerakan reformasi menumbangkan Soeharto dan Orde Baru.
Era reformasi dalam periode yang sangat singkat antara tahun 1998 sampai 2004 dilalui dengan pergantian empat presiden yaitu Habibie, Gus Dur, Megawati, dan Susilo Bambang Yudhoyono.
Menghindari kekuasaan presiden yang tak tergantikan, maka dilakukan amandemen UUD 1945 tentang pembatasan masa presiden hanya dua periode dan presiden dipilih langsung dalam Pemilu. Konsekuensinya presiden bukan lagi mandataris MPR sebagai lembaga yang mewakili kedaulatan rakyat.
Di masa periode kedua Presiden Joko Widodo mulai terjadi hegemoni kekuasaan eksekutif menguasai legislatif. Mayoritas fraksi DPR sudah menjadi pendukung pemerintah. Nyaris tak ada lagi oposisi.
Mendekati Pemilu 2024 muncul isu amandemen UUD 1945 lagi untuk masa jabatan presiden tiga periode. Kalau terbukti benar terjadi amandemen masa jabatan dalam sidang MPR maka terjadi lagi ujian konstitusi. Bisa-bisa amandemen itu menjadi blunder bagi penguasa. Hancur seperti Orde Lama dan Orde Baru.
Bola di tangan para politikus dan penguasa. Mereka dipilih rakyat untuk menjalankan amanat untuk menciptakan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Bukan berkuasa untuk bertahan lama demi kemakmuran diri dan anteknya. Jangan sampai ujian konstitusi berdarah terulang lagi. (*)
Editor Sugeng Purwanto