Hamka tentang Bencana Komunis, oleh M. Anwar Djaelani, penulis buku “Jejak Kisah Pengukir Sejarah”
PWMU.CO – Kekejaman dan bahaya dari komunis, kapanpun tak boleh kita lupakan. Misal, terutama di setiap September, tetap perlu kita ungkit pengkhianatan komunis saat memberontak pada 1948 dan 1965. Terkait ini, menarik jika kita antara lain membaca ulang catatan Hamka di seputar “rahasia” mengapa bangsa ini selamat dari berbagai bencana termasuk di saat menghadapi komunis.
Hamka (1908-1981) tak tamat SD, tapi dari dirinya lahir lebih dari seratus buku. Kecuali itu, banyak predikat yang bisa disandangkan kepadanya: Ulama, mufassir, intelektual, pendidik, sejarawan, sastrawan, politisi, penulis, jurnalis, dan lain-lain. Selanjutnya, atas performa yang luar biasa itu, dua universitas berkelas tak ragu memberi Hamka gelar Doktor Honoris Causa. Hamka juga dianugerahi gelar Pahlawan Nasional pada 8 November 2011 oleh Pemerintah Indonesia. Maka, dari sekadar sekilas riwayat itu, kita bisa membayangkan betapa sangat banyak peran positif yang telah dilakukannya.
Sekarang, kita buka lagi sebagian sejarah kelam aksi komunis di negeri ini. Hal ini, insya Allah adalah bagian dari ketaatan kita atas perintah Allah. Pelajari sejarah, seperti petunjuk ayat ini: “Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal” (Yusuf [ 111).
Kelam di 1948
Pada 18 September 1948 sekitar pukul 02.00, api pemberontakan PKI (Partai Komunis Indonesia) mulai berkobar. Terjadilah berbagai kekejaman. Banyak yang dibunuh secara sadis termasuk dengan menyembelih. Cara lainnya, disiksa, dicincang, disayat-sayat, ditembak jarak dekat, atau bentuk penganiayaan lainnya.
Siapa korbannya? Mereka adalah orang-orang yang tidak sehaluan dengan PKI seperti para kiai, guru-guru pesantren, tokoh-tokoh Masyumi, Tentara Pelajar, pegawai yang setia kepada pemerintah pusat, dan sebagainya. Aksi pengrusakan juga dilakukan PKI. Ratusan rumah dan beberapa gedung di Madiun dibakar. Sejumlah jembatan, rel kereta api, dan jalan raya dihancurkan.
Tak hanya di Madiun sejarah kelam itu tertoreh. Di Ngawi, berton-ton bibit padi dimusnahkan. Sementara, di Kediri, ribuan hektar hutan jati dan lebih dari seratus ribu ton kayu dibakar.
Kita bersyukur, pemberontakan itu cepat dapat dipatahkan. Hanya dalam beberapa hari kita bisa lepas dari situasi yang oleh M. Natsir disebut sebagai “Noda paling besar dalam hikayat Indonesia”.
Gelap di 1965
Dalam perjalanan selanjutnya, Indonesia sampai ke periode yang juga tak kalah pahit. Pada 1959-1965, penguasa Orde Lama menerapkan konsepsi politik Nasakom (Nasionalisme, Agama, Komunisme).
Atas hal di atas, mari cermati catatan Hamka: “Ketika cita-cita Soekarno bergabung dengan cita-cita komunis dan mereka mulai menguasai bersama Negara ini, Soekarno telah mencoba tafsir di luar manthik bahwa kalau diperas Pancasila itu, akhirnya ia menjadi gotong-royong sehingga Tuhan jadi habis. Kemudian, ia menafsirkan lagi bahwa Pancasila itu adalah identik, tak dapat dipisahkan, dengan Nasakom.
Padahal, dalam tubuh Nasakom sendiri telah terdapat kontradiksi yang sangat mengacaukan pikiran yaitu bahwa beragama dengan tidak beragama mesti disatukan, nasionalisme dengan internasionalisme bisa dipadukan. Namun, dengan gagal totalnya rencana Orde Lama bersama komunis dengan Gerakan 30 September PKI-nya menyebabkan indoktrinasi gila itu berhenti dengan sendirinya” (“Dari Hati ke Hati”, 2016: 251-252).
Hamka juga mengungkapkan, seperti disebut sebuah sumber, bahwa bertahun-tahun lamanya masa kemesraan dengan komunis itu berlangsung di negara kita. Dalam indoktrinasi, lewat pidato-pidato, Nasakom dipuji-puji sebagai ajaran paling tinggi di dunia. Sementara, ulama yang dipandang kontra-revolusi dan telah memutuskan komunis sebagai paham kafir yang harus diperangi, dihina di setiap pidato dan tulisan. Meskipun sang ulama sudah meringkuk dalam tahanan, namun namanya tetap terus dicela sebagai orang paling jahat karena anti-Soekarno dan antikomunis.
Di periode ini terjadilah berbagai tragedi, baik yang berskala pribadi maupun negeri. Untuk skala pribadi, lihatlah–misalnya-apa yang dialami Hamka. Ulama Besar yang dihormati masyarakat ini, pada 1964 ditahan selama dua tahun empat bulan di pinggiran Sukabumi atas tuduhan makar. Tuduhan itu tak pernah bisa dibuktikan sampai dia dibebaskan. Tuduhan itu sebentuk kezaliman.
Ceritanya, oleh penguasa Orde Lama yang saat itu sedang berkonfrontasi dengan Malaysa, Hamka dituduh pro-Malaysia. Maka, Hamka dijemput paksa untuk langsung dijebloskan ke penjara tanpa proses pengadilan. Hamka hanya bertawakkal kepada Allah.
“Selama dua tahun empat bulan saya ditahan, saya merasa semua itu anugerah dari Allah kepada saya. Sehingga, saya dapat menyelesaikan Kitab Tafsir Al-Quran 30 Juz. Bila bukan dalam tahanan, tidak mungkin ada waktu saya untuk mengerjakan dan menyelesaikan pekerjaan itu”.
Selanjutnya, mari ikuti ulasan Hamka di buku yang telah disebut di atas – “Dari Hati ke Hati”. Bahwa, gagal di 1948, komunis berusaha lagi pada 1965 yaitu hendak menghapus dan membasmi pengaruh Laa ilaaha illallaah – Allahu Akbar dengan mengadakan Gerakan 30 September.
Enam jenderal mereka bunuh secara keji, Istana mereka kuasai, dan tempat-tempat penting mereka duduki. Namun, saat kelam itu tak berlangsung lama. Mereka berkuasa sejak pukul 03.00 tapi pada pukul 15.00 pada 1 Oktober 1965 gerakan mereka telah dipatahkan (2016: 239).
Sebuah Kepastian
Apa sumber semangat dan kekuatan dari bangsa ini dalam menjalankan amanah (seperti merebut dan memertahankan kemerdekaan serta menumpas komunis)? Tentang ini, Hamka menulis: “Dengan iman Laa ilaaha illallaah, Sultan Agung Honyokrokusumo mendirikan Kerajaan Mataram, Sultan Hasanuddin mendirikan Kerajaan Banten, Sultan Iskandar Muda Mahkota Alam mendirikan Kerajaan Aceh. allahu Aabar. Dengan kekuatan Laa ilaaha illallaah, allahu akbar inilah kita mempertahankan Proklamasi 17 Agustus 1945. Laa ilaaha illallaah, allahu akbar itulah yang membangkitkan jiwa pahlawan 10 November 1945 di Surabaya” (2016: 238-239).
Untuk apa mengenang masa gelap “bersama komunis”? Agar kita bisa mendapat pelajaran: Bahwa dorongan “Kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang telah tersimpul dalam kalimat Laa ilaaha illallaah – Allahu Akbar“ harus menjadi hal paling pokok dalam usaha menyelesaikan semua masalah yang kita hadapi. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni