Salah Kaprah Moderasi Beragama oleh M Rizal Fadillah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.
PWMU.CO– Diksi moderasi beragama menjadi aktual dan memasyarakat. Dipahamkan bahwa moderasi adalah lawan dari radikalisasi dan intoleransi. Sebagian mengkhawatirkan jalan tengah ini sebagai sikap mengambang dalam beragama.
Lebih parah jika moderasi dimaknai dengan ambivalensi. Hilang konsistensi. Lebih-lebih yang bicara orang-orang sekuler yang tak paham agama ikut memakai istilah itu. Menjadi salah kaprah.
Kemendikbud tengah merancang kurikulum moderasi beragama tujuannya untuk melawan sikap intoleransi. Ada bau amis dari rancangan ini. Yaitu tendensi untuk melemahkan keyakinan beragama demi berhala toleransi.
Apalagi Kemendikbud di bawah Nadiem Makarim pernah menggoreskan cacat ideologi dengan membuat road map pendidikan dengan membuang narasi agama. Indikasi bahwa kiri sedang mengatur negeri dengan menunggangi moderasi.
Moderasi berangkat dari kalimat atau ayat ummatan wasathan yaitu umat pertengahan sebagaimana termaktub dalam surat al-Baqarah: 143. Lengkapnya
Dan demikian Kami menjadikan kamu ummat wasathan agar kamu menjadi saksi atas umat manusia dan agar Rasul menjadi saksi atasmu.
Wasath
Wasath artinya tengah. Ummatan wasathan adalah umat pertengahan yang seimbang, adil, dan tentu juga unggul.
Al Zubaidi memaknai wasath itu paling utama (afdhal). Fairuz Zabadi menerangkan wasath berarti paling adil (a’daluhu). Ketika menafsirkan ayat ummatan wasathan, at Thobari menegaskan sebagai umat yang al khiyar wa al ajwad, umat pilihan dan yang terbaik.
Basis pemaknaan ummatan wasathan tidak menunjukkan sikap lemah, tidak ke sana ke sini, atau munafik (ambivalen). Bahkan sama sekali tidak berhubungan dengan toleran atau tidak toleran.
Tengah itu sentral yang menjadi penentu. Makna konstruktifnya adalah umat yang menjadi nucleus atau inti dari berbagai konfigurasi budaya, ekonomi, ataupun politik.
Makna komprehensifnya yakni umat yang beribadah, bermuamalah, dan berjihad fi sabilillah. Umat yang menempatkan agama bukan sebagai bagian kecil dari kehidupan tetapi menjadi nilai fundamental dan instrumental untuk suatu keyakinan bahwa agama adalah nilai utuh penyelamat hidup di dunia dan akhirat.
Moderasi sebagai sikap dan cara pandang untuk memperlemah keyakinan agama jelas salah. Terlebih jika dimaknai kehilangan konsistensi atau penyebab ambivalensi atau berwatak bunglon. Berganti-ganti warna yang tergantung situasi, berganti-ganti jilatan tergantung majikan.
Moderasi, wasathan, menurut al-Quran, adalah membangun keunggulan. Keunggulan kompetitif dengan berlomba dalam kebaikan fastabiqul khairat. Dua kalimah penting agar kamu menjadi saksi atas umat manusia dan agar Rasul menjadi saksi atasmu.
Saksi itu bukan bermakna toleransi tetapi berposisi sebagai penanggung jawab, pemimpin, sekaligus pembukti dari kerja kolektif. Di sanalah Nabi dan umatnya itu berada. Adapun toleransi adalah sikap yang sudah melekat dengan ajaran agama sebagai konsekuensi dari pengakuan atas kemajemukan.
Nah, moderasi tidak boleh dijadikan upaya untuk menipiskan keyakinan beragama apalagi membuangnya. Jika arahnya ke sana bukan saja umat akan menolak tapi wajar untuk lebih mewaspadai dan mengonsolidasikan diri dalam melawan kekuasaan kriminal yang mencoba untuk meminggirkan agama. (*)
Bandung, 8 Oktober 2021
Editor Sugeng Purwanto