PWMU.CO – Soal moderasi, saya haqqul yaqin kalau Muhammadiyah itu tidak perlu diceramahi. Di NU juga saya pikir ada persamaan, tapi tidak ada salahnya kalau persoalan moderasi ini terus kita pahamkan kepada yang lain.
Hal tersebut disampaikan Ketua Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Jawa Timur Drs H A Hamid Syarif MH pada Kegiatan Silaturrahim bersama Ketua FKUB Jatim yang digelar Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jatim, Jum’at (22/10/2021)
Hamid Syarif mengatakan, sekarang ini, gerakan moderasi agama secara masif disosialisaikan agar tidak terjadi paham agama yang salah di kalangan masyarakat.
“Saya bersama pengurus, keliling Jawa Timur. Sudah ada 5 Bakorwil, ada Jember, Malang, Banyuwangi dan lain-lain, untuk melakukan sosialisasi moderasi beragama,” katanya.
Hamid Syarif menambahkan, di lintas perempuan, FKUB Jatim juga melakukan kegiatan ini, baik di agama Kristen, Budha, Hindu maupun yang lain.
“Karena secara moral, kita bertanggung jawab bagaimana moderasi bergama di Jatim ini dapat berjalan dengan baik dan harmoni,” ucapnya.
Hamid Syarif mengatakan, terminologi moderasi baru sekarang ini masif diperbincangkan karena menurutnya bangsa ini belum selesai dengan misinya.
“Sekarang ada apa dengan Indonesia? Kenapa moderasi ini baru sekarang masif? Mungkin jawabannya ya debatble. Namun dalam pandangan saya, kalau saya kutip pidato Bung Karno, misi kita ini belum selesai. Bangsa kita belum selesai. Apalagi 30 tahun di orde lama dan orde baru kita tidak bisa berdemokrasi,” tuturnya.
Tugas Bersama Agar Damai dalam Beragama
Kalau di Eropa, imbuh Syarif, nation itu lebih dulu ada dari pada nasionalisme, “Sedangkan kalau kita, nasionalisme lebih dulu ada, semangat nasionalisme itu sudah muncul, tapi baru merdeka di Tahun 1945,” ucapnya.
“Logika saya, bangsa ini belum selesai membangun dirinya, maka ini tugas kita bersama, apalagi kita ini menjadi bagian bangsa dunia yang sering disebut bangsa globalisasi,” paparnya.
Syarif menuturkan, saat ini kita masuk dalam era globalisasi, dan Indonesia adalah negara demokrasi. Jadi kalau sekarang ini banyak aliran, madzhab atau ideologi di Indonesia, itu karena kondisinya memungkinkan.
“Sisi lain, kita tidak bisa memungkiri madzhab luar akan masuk di negara kita, karena semua punya sasaran untuk menyebarkan ideologinya. Yang pasti masuk ini adalah kapitalisme dan demokratisasi. Hal ini harus disikapi secara bijak, agar kita ke depan dapat melakukan wise (kebijaksaan) antara agama dengan pendekatan kultural kepada semua pihak,” tandasnya.
Saat ini, menurut Syarif, yang banyak menjadi persoalan adalah pembangunan rumah ibadah, karena memang regulasi yang ada tidak bisa mengakomodir antar umat beragama yang sejatinya memerlukan rumah ibadah.
“Di Kabupaten/Kota, bisa jadi 90 penganut itu susah, kalaupun ada itu secara geografis pasti bepencar. Regulasinya tidak memungkinkan, tapi mereka butuh tempat ibadah. Ini problem kita dan perlu kita kritisi terkait ini,” katanya.
Maka Syarif berharap kepada PWM, Pimpinan Wilayah Nahdhatul Ulama (PWNU) serta agama lain untuk saling mendekat, saling bersilaturahmi.
“Mudah-mudahan Jatim menjadi provinsi yang aman, damai dalam beragama. Dan kami akan selalu berdialog dengan semua pihak. Kalau persoalan moderasi, Muhammadiyah tidak perlu diceramahi. Tapi tidak ada salahnya kalau persoalan moderasi ini terus kita pahamkan. Karena kalau pahamnya salah, apapun yang kita sampaikan akan ditolak,” ujarnya. (*)
Penulis Nely Izzatul Editor Mohammad Nurfatoni